
Schoolmedia News Jakarta == Peringatan Hari Guru Nasional 2025 di lingkungan Kementerian Agama berlangsung hangat dan penuh makna. Ratusan guru lintas iman memenuhi halaman kantor Kemenag untuk mengikuti kegiatan Gowes Onthel bersama Menteri Agama Nasaruddin Umar, Ahad (23/11/2025). Acara yang tampak meriah itu diwarnai pesan reflektif dan filosofi mendalam mengenai perjalanan panjang dunia pendidikan, perjuangan guru, dan komitmen ekologis.
Dalam sambutannya, Menteri Agama mengajak para peserta menengok kembali jejak berat yang pernah dilewati guru-guru terdahulu. Ia menuturkan kisah ayahnya yang pada era 1960-an mengajar tanpa gaji, menempuh perjalanan hingga 40 kilometer dengan sepeda onthel untuk menerima upah, bahkan pernah merantau selama tujuh bulan demi mempertahankan kehidupan keluarga ketika sekolah tempatnya mengajar nyaris tidak lagi beroperasi.
âBapak saya pernah mengajar sendirian dengan lebih dari 100 murid tanpa gaji selama dua tahun. Itulah potret guru kita dulu,â ucap Menag. Ia menegaskan bahwa kemajuan pendidikan Indonesia hari ini berdiri di atas keteguhan dan pengorbanan generasi pendidik sebelumnya.
Selain nostalgia, kegiatan gowes ini juga menjadi penanda kuat akan semangat kebangsaan dan keberagaman. Kehadiran guru dari berbagai agama menunjukkan bahwa pendidikan adalah ruang yang mempersatukan, bukan memisahkan. âKita semua adalah keluarga guru,â ujar Menag, menekankan bahwa profesi pendidik melampaui sekat keyakinan dan mendorong harmoni sosial.
Sikap inklusif ini turut diperkuat oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, yang menilai bahwa bersepeda onthel bukan sekadar aktivitas simbolik. Ia menafsirkan kegiatan tersebut sebagai implementasi ekoteologiâajaran Kemenag tentang kepedulian lingkungan dan keseimbangan hidup.
Menurut Dirjen, sepeda onthel mengandung tiga filosofi yang relevan bagi pendidik. Pertama, keseimbangan, yang hanya dapat dicapai ketika spiritualitas, pengetahuan, dan etika berjalan serasi. Kedua, kemandirian, yang tercermin dalam gerakan mengayuh sebagai simbol daya juang guru di tengah perubahan. Ketiga, kesederhanaan, nilai moral yang menegaskan bahwa kehormatan sering tumbuh dari hal yang tampak sederhana.
âBersepeda adalah gambaran kepedulian lingkungan. Tetapi lebih dari itu, onthel mengajarkan cara hidup yang elok bagi pendidik kita,â ujarnya.
Dirjen juga menyoroti kolaborasi lintas direktorat bimasâdari Buddha, Hindu, Katolik, hingga Kristenâyang hadir dalam kegiatan tersebut. Menurutnya, solidaritas antaragama yang tampak dalam perayaan Hari Guru adalah modal sosial penting untuk memperkuat pendidikan agama yang ekologis, inklusif, dan berkarakter.
Menutup kegiatan, Menag Nasaruddin Umar mengajak seluruh peserta mendoakan para guru yang telah wafat dari semua agama. Ia menegaskan bahwa ilmu yang pernah mereka ajarkan akan terus menjadi amal jariah yang mengalir tanpa henti.
Gowes onthel yang digelar Kemenag tahun ini akhirnya menjadi lebih dari sekadar rangkaian peringatan. Ia menjadi ruang refleksi, pengakuan terhadap ekosistem pendidikan, serta simbol perjalanan panjang yang harus ditempuh bersamaâbahwa mencerdaskan bangsa adalah kerja mulia yang dibangun oleh banyak tangan, dari guru hingga tenaga kebersihan, dari penyuluh hingga administrator, semuanya dalam satu kayuhan yang sama.
Dirjen Pendis menegaskan bahwa tradisi bersepeda merupakan simbol komitmen Kemenag terhadap praktik ekoteologi. Menurutnya, pesan ekoteologi dari Menteri Agama harus diterjemahkan dalam langkah nyata, bukan hanya wacana konseptual.
âBersepeda adalah cerminan kepedulian lingkungan. Tetapi lebih dari itu, sepeda untel mengajarkan filosofi hidup yang relevan bagi pendidik kita,â ujar Amien Suyitno di Jakarta pada Ahad (23/11/2025).
Ia menjelaskan tiga filosofi utama dari sepeda untel. Pertama, keseimbangan, sebuah nilai yang hanya bisa dijaga ketika seseorang mampu memadukan aspek spiritual, intelektual, dan etika. âGuru adalah penjaga keseimbangan itu. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi pembimbing kehidupan,â tegasnya.
Kedua, kemandirian, yang tercermin dari gerakan mengayuh. Menurut Amien, kemampuan untuk bergerak maju dengan usaha sendiri merupakan karakter penting bagi guru di era perubahan. âSetiap kayuhan adalah simbol daya juang. Guru-guru kita telah membuktikan itu,â katanya.
Ketiga, kesederhanaan, yang ia sebut sebagai kekuatan moral seorang pendidik. âKesederhanaan bukan kelemahan, tetapi identitas kehormatan. Sepeda untel mengingatkan kita bahwa nilai luhur sering lahir dari hal yang tampak sederhana,â lanjutnya.
Dalam suasana keakraban, Dirjen juga menyampaikan apresiasi kepada para pejabat yang hadir. Kehadiran lintas direktorat bimasâdari Buddha, Hindu, Katolik, hingga Kristenâmenunjukkan bahwa Hari Guru menjadi momentum penguatan persatuan dan kolaborasi dalam keberagaman.
Ia menambahkan bahwa filosofi sepeda onthel diharapkan menjadi pedoman bersama dalam memperkuat pendidikan agama yang ekologis, inklusif, dan berkarakter. âHari Guru bukan hanya perayaan, tetapi refleksi. Filosofi untel ini adalah arah baru bagi kita semua,â ujarnya.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar