Cari

Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Gelar Acara Tandingan SEANF 2025, Tolak Kehadiran Junta Myanmar

YLBHI dan Koalisi Gelar Acara Tandingan SEANF 2025, Tolak Kehadiran Junta Myanmar

Jakarta — Di tengah berlangsungnya pertemuan South East Asia National Human Rights Forum (SEANF) 2025 yang digelar di Jakarta pada 18–19 November, jaringan masyarakat sipil Indonesia dan Asia Tenggara mengirimkan pesan tegas: pelanggar hak asasi manusia tidak boleh diberi ruang dalam forum yang mengatasnamakan perlindungan HAM. Pesan itu disuarakan melalui acara tandingan bertajuk “Regional Solidarity and Human Rights Action at SEANF 2025” yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), International Labor Union, serta sejumlah organisasi masyarakat sipil.

Acara tandingan ini berlangsung paralel dengan pertemuan resmi SEANF, yang tahun ini menuai kritik karena tetap mengundang perwakilan Junta Myanmar. Undangan tersebut dianggap mencederai nilai dasar forum yang selalu menempatkan isu perlindungan hak asasi manusia sebagai prioritas.

Suara Keras dari Masyarakat Sipil

Kegiatan dibuka oleh Ketua Umum YLBHI, Muhamad Isnur, yang dalam pidatonya menggambarkan kondisi masyarakat sipil Myanmar yang masih berada dalam tekanan rezim militer. Sejak kudeta 2021, pembungkaman terhadap aktivis, akademisi, dan kelompok etnis minoritas kian meluas. Banyak lembaga masyarakat sipil dibubarkan, sementara ruang demokrasi terus menyempit.

Isnur menekankan bahwa solidaritas regional perlu diperkuat, terlebih ketika negara-negara ASEAN belum menunjukkan langkah signifikan dalam menekan Junta Myanmar untuk menghentikan kekerasan. Menurut dia, masyarakat sipil harus tetap menjadi kekuatan utama dalam menyuarakan ketidakadilan tersebut.

“Situasi di Indonesia mungkin tidak seburuk saudara-saudara kita di Myanmar, tetapi kita harus belajar dari apa yang terjadi. Demokrasi bisa runtuh sewaktu-waktu ketika kebebasan sipil dilemahkan. Ini adalah peringatan bagi kita semua,” ujar Isnur dalam sambutan pembukaan. Ia mengingatkan bahwa membela demokrasi Myanmar berarti juga melindungi masa depan demokrasi di kawasan.

Para peserta yang hadir—termasuk perwakilan buruh, akademisi, dan aktivis dari berbagai negara ASEAN—menggarisbawahi bahwa menghadirkan Junta Myanmar dalam forum HAM adalah bentuk kontradiksi yang sulit diterima. Kehadiran rezim yang telah berulang kali dilaporkan melakukan pembunuhan, penyiksaan, dan penahanan sewenang-wenang dianggap memberi legitimasi politik yang tidak seharusnya.

Mengurai Kebuntuan Lima Poin Konsensus

Salah satu sesi utama dalam acara tandingan adalah panel bertema “Meningkatkan Lima Poin Konsensus ASEAN – Kebuntuan Politik Menuju Aksi Regional.” Dalam panel tersebut, YLBHI dan mitra organisasi memaparkan analisis mengenai mandeknya implementasi Lima Poin Konsensus (5PC), yang sejak disepakati pada 2021 belum menunjukkan hasil signifikan.

Panelis menilai bahwa kebuntuan ASEAN dalam merespons krisis Myanmar terutama dipengaruhi oleh absennya komitmen politik yang kuat dari negara-negara anggota. Meskipun 5PC mencakup penghentian kekerasan, dialog konstruktif, dan akses kemanusiaan, tidak satu pun poin tersebut berjalan efektif.

YLBHI menekankan pentingnya menggunakan 5PC tidak sekadar sebagai dokumen kebijakan, tetapi sebagai alat advokasi yang dapat menekan negara-negara ASEAN untuk memegang tanggung jawab lebih besar. Salah satu aspek yang disorot adalah perlindungan buruh Myanmar, baik yang bekerja di dalam negeri maupun sebagai pekerja migran di negara-negara ASEAN.

Dengan memanfaatkan 5PC sebagai kerangka acuan, masyarakat sipil berharap ASEAN dapat dipaksa untuk mengambil langkah-langkah tegas, seperti menolak legitimasi politik Junta, memperkuat mekanisme perlindungan HAM regional, serta memperkuat kerja sama membantu masyarakat sipil Myanmar yang terdampak perang.

Aksi di Depan Lokasi SEANF

Rangkaian kegiatan solidaritas ini mencapai puncaknya pada 19 November 2025, ketika peserta acara tandingan menggelar aksi protes di depan Hotel Le Meridien, Jakarta, lokasi penyelenggaraan SEANF 2025. Sejak pukul pagi, puluhan aktivis mulai berkumpul membawa spanduk bertuliskan “No Seat for Myanmar Junta” dan “ASEAN Must Stand with the People,” menuntut agar forum resmi SEANF tidak mengakomodasi rezim militer.

Aksi berlangsung damai dan tertib, diwarnai orasi dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Mereka menyerukan agar forum HAM tidak berubah menjadi ruang legitimasi bagi pelanggar HAM. Dalam aksi itu, koalisi juga menyerahkan surat dan pernyataan bersama kepada penyelenggara SEANF. Dokumen tersebut berisi penolakan atas kehadiran Junta Myanmar dan desakan agar negara-negara peserta SEANF mengambil posisi yang konsisten dengan prinsip HAM.

Koalisi menilai bahwa memberi ruang kepada Junta dalam forum seperti SEANF sama saja dengan mengabaikan penderitaan ribuan warga Myanmar yang menjadi korban kekerasan militer. Mereka juga menilai bahwa partisipasi rezim militer merusak kredibilitas SEANF sebagai forum yang seharusnya memperjuangkan hak asasi manusia secara lintas negara.

Beberapa peserta aksi juga menyinggung bahwa selama bertahun-tahun, upaya masyarakat sipil Myanmar untuk menghadirkan suara mereka dalam forum regional selalu terhambat oleh ketatnya kontrol Junta. Karena itu, ketika SEANF membuka pintu bagi rezim militer tetapi menutup ruang bagi masyarakat sipil Myanmar, ketimpangan itu dianggap semakin mencolok.

Seruan untuk ASEAN

Melalui serangkaian acara dan aksi tersebut, YLBHI dan jaringan organisasinya menyuarakan seruan agar ASEAN kembali pada prinsip dasarnya: menghormati hak asasi manusia, demokrasi, dan perdamaian. Mereka menekankan bahwa krisis Myanmar bukan sekadar urusan domestik, melainkan ancaman bagi stabilitas politik dan keamanan kawasan.


Schoolmedia News Jakarta = Koalisi masyarakat sipil juga menyerukan agar negara-negara ASEAN mengembangkan mekanisme baru yang lebih kuat dalam menangani pelanggaran HAM berat. Hal ini mencakup peningkatan peran Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR), pembentukan mekanisme investigasi independen, serta memperkuat peran organisasi masyarakat sipil dalam perumusan kebijakan regional.

Solidaritas, kata para peserta, harus menjadi fondasi dalam menghadapi krisis Myanmar. Mereka menegaskan bahwa perjuangan rakyat Myanmar adalah bagian dari perjuangan seluruh masyarakat Asia Tenggara untuk mempertahankan ruang demokrasi dan memastikan hak dasar warga negara dihormati.

Dengan acara tandingan dan aksi protes tersebut, masyarakat sipil di Indonesia dan kawasan ingin menunjukkan bahwa mereka tidak tinggal diam. Di tengah stagnasi politik ASEAN, suara masyarakat sipil tetap menjadi kekuatan penting untuk menjaga agar isu pelanggaran HAM Myanmar tidak menghilang dari perhatian publik dan pembuat kebijakan.

Tim Schoolmedia

Lipsus Sebelumnya
Keadilan Akses Pendidikan Harus Diperjuangkan Lewat Gerakan Anak Rentan Putus Sekolah

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar