Wawancara Imaginer Tiga Presiden, Ir Sukarno, Prof Dr BJ Habibie dan KH Abdurrahman Wahid Meluruskan Ingatan Mei 1998 dalam Narasi Sejarah
Jakarta, 15 Juli == Sebuah wawancara imaginer yang mendalam dengan tiga tokoh besar Indonesia: Presiden Soekarno, Presiden B.J. Habibie, dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), membahas isu sensitif mengenai penulisan ulang sejarah yang mengabaikan peristiwa Mei 1998, khususnya kerusuhan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa.
Pewawancara: Selamat malam para Bapak Bangsa yang kami muliakan. Sebuah kehormatan besar dapat berbincang dengan Bapak-Bapak dalam kesempatan imaginer ini. Topik kita malam ini sangat krusial: penulisan ulang sejarah bangsa yang belakangan ini disinyalir mengabaikan atau bahkan menghilangkan peristiwa kelam Mei 1998, terutama kerusuhan dan pemerkosaan massal terhadap etnis Tionghoa.
Bagaimana pandangan Bapak-Bapak mengenai hal ini?
Bung Karno (dengan suara berapi-api namun bijaksana): Saudara-saudari sekalian, sejarah itu adalah cermin. Cermin yang harus jujur memantulkan setiap lekuk wajah bangsa, baik yang indah maupun yang luka. Mengapa kita harus menutup-nutupi luka? Luka itu bagian dari perjalanan kita. Peristiwa Mei 1998, dengan segala kebiadabannya, terutama terhadap saudara-saudari kita Tionghoa, adalah sebuah aib yang harus kita kenang, bukan untuk meratapi, tetapi untuk memastikan never again!
Bangsa yang melupakan lukanya adalah bangsa yang berisiko mengulangi kesalahannya. Ini soal integritas dan kebenaran. Jangan sekali-kali mencoba memutarbalikkan fakta, apalagi menghilangkan fakta! Sejarah adalah guru yang paling kejam jika kita tak mau belajar darinya.
Pewawancara: Sebuah penegasan yang kuat, Bung Karno. Sekarang, mari kita dengar dari Bapak B.J. Habibie, yang saat itu berada di pusat pusaran sejarah. Bagaimana Bapak melihat upaya menghilangkan peristiwa ini dari narasi sejarah resmi?
B.J. Habibie (dengan tenang namun tegas, menghela napas): (Mata beliau tampak menerawang, seolah kembali ke masa itu) Peristiwa Mei 1998 adalah salah satu ujian terberat bagi kemanusiaan dan kebangsaan kita.
Sebagai orang yang menerima mandat di tengah badai itu, saya menyaksikan langsung betapa rapuhnya kebersamaan kita saat itu. Saya masih ingat betul, bagaimana laporan-laporan tentang kekejaman, penjarahan, dan terutama laporan tentang kekerasan seksual, menancap dalam benak saya.
Mengapa ada upaya untuk menghilangkan ini dari sejarah? Ini bisa jadi karena rasa malu, atau mungkin karena ada pihak-pihak yang ingin menutupi jejak masa lalu mereka. Namun, saya ingin tegaskan: sejarah tidak bisa dipalsukan. Kebenaran akan selalu mencari jalannya.
Peristiwa Mei 1998, dengan semua penderitaan yang dialami, khususnya oleh saudara-saudari kita etnis Tionghoa, adalah fakta yang tak terbantahkan. Saya sendiri membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan memerintahkan investigasi. Laporan TGPF, meskipun dengan segala keterbatasannya, telah mengonfirmasi adanya tindak kekerasan seksual massal.
Penulisan sejarah yang jujur adalah fondasi bagi rekonsiliasi dan pembangunan karakter bangsa. Jika kita menutup mata pada kebenaman, kita membiarkan luka itu bernanah dan berpotensi membusuk. Kita harus berani menghadapi kebenaran, seberapa pahit pun itu, agar kita bisa belajar, memohon maaf, dan bergerak maju sebagai bangsa yang lebih kuat dan beradab.
Jangan biarkan generasi mendatang mengira bahwa sejarah kita bersih dari noda ini.
Pewawancara: Sangat menyentuh, Bapak Habibie. Kini, mari kita dengar dari K.H. Abdurrahman Wahid, Gus Dur, seorang pejuang kemanusiaan dan pluralisme. Bagaimana Gus Dur melihat dampak etis dan moral dari penghilangan peristiwa ini dari sejarah?
Gus Dur (tersenyum tipis, matanya memancarkan kedalaman): (Menghela napas pelan) Hah, ini lagi-lagi soal kebodohan. Orang pintar itu tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Melupakan sejarah itu sama saja dengan membiarkan kita mengulang kesalahan yang sama. Dalam Islam, kita diajarkan untuk tidak mendzalimi siapa pun.
Apa yang terjadi pada Mei 1998, terutama pemerkosaan massal itu, adalah puncak kedzaliman, puncak kebiadaban. Bagaimana mungkin kita bisa menghapus aib sebesar itu dari ingatan kolektif kita?
Peristiwa Mei itu bukan hanya tentang ekonomi atau politik, tapi tentang kemanusiaan. Ketika satu kelompok masyarakat diserang, dipersekusi, bahkan dinodai martabatnya hanya karena identitas etnisnya, itu adalah kegagalan kita sebagai sebuah bangsa. Dan kegagalan itu harus diakui. Kita tidak boleh menjadi bangsa yang amnesia.
Mengenai etnis Tionghoa, mereka adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa ini. Mereka punya hak yang sama. Menghilangkan bagian sejarah ini adalah bentuk diskriminasi lanjutan, dan itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan nilai-nilai Pancasila. Bangsa ini dibangun di atas keberagaman, bukan di atas penyeragaman atau penutupan mata.
Penting bagi kita untuk terus berbicara, terus mengingatkan, dan memastikan bahwa peristiwa ini tidak akan pernah hilang dari ingatan sejarah kita. Generasi muda harus tahu. Hanya dengan begitu kita bisa membangun Indonesia yang adil, beradab, dan benar-benar menjunjung tinggi martabat setiap manusia.
Kalau ada yang mau menghapus, itu berarti mereka takut pada kebenaran. Dan kebenaran itu, seperti cahaya, pasti akan menembus kegelapan.
Pewawancara: Sungguh mendalam dan mencerahkan. Apa pesan terakhir Bapak-Bapak kepada masyarakat Indonesia, khususnya para pembuat kebijakan dan penentu kurikulum sejarah, terkait pentingnya meluruskan narasi ini?
Bung Karno: Jangan pernah menyerah pada penindasan kebenaran! Lawanlah dengan pena, dengan suara, dengan hati nurani. Sejarah itu tanggung jawab kita bersama. Jujurlah pada dirimu sendiri, jujurlah pada bangsamu. Bangunlah ingatan kolektif yang kuat agar kita tidak mudah dipecah belah dan tidak mudah diadu domba.
B.J. Habibie: Saya memohon kepada generasi muda, carilah kebenaran itu sendiri. Jangan telan mentah-mentah apa yang disajikan. Bacalah, diskusikanlah, tanyakanlah pada saksi-saksi sejarah yang masih ada. Ingatlah penderitaan yang terjadi, agar hal serupa tidak pernah terulang lagi. Ini adalah warisan yang harus kita jaga, bukan untuk dendam, tapi untuk kebijaksanaan.
Gus Dur: Ya, ini kan soal kejujuran, ya. Jangan takut mengatakan yang benar, meskipun itu pahit. Sejarah itu bukan milik penguasa, tapi milik rakyat. Biarkan kebenaran yang bicara. Tugas kita, para pendahulu, dan kalian yang meneruskan, adalah menjaga agar bangsa ini tetap waras, tidak amnesia. Kalau tidak waras, ya gampang dibodohi.
Pewawancara: Terima kasih banyak, Bapak-Bapak Presiden, atas pencerahan dan ketegasan moral yang luar biasa ini. Semoga diskusi ini menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya menjaga kejujuran sejarah demi masa depan bangsa yang lebih baik.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar