Cari

Ketika Perguruan Tinggi Swasta Alami Paceklik Mahasiswa Baru


Krisis Senyap Kampus Swasta: Dosen Korban Ekspansi Negeri

Schoolmedia News == Fenomena menurunnya populasi mahasiswa di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) bukan lagi sekadar fluktuasi data. Ini adalah gempa yang mengguncang fundamental pendidikan tinggi di Indonesia, membayangi ribuan dosen swasta dengan ancaman pengangguran dan matinya mimbar akademik.

Jargon Kampus Berdampak kini terasa getir di lidah para pengelola Perguruan Tinggi Swasta. Di balik hingar-bingar promosi, banyak kampus kini bergulat dengan realitas paling pahit: kursi-kursi kuliah yang kosong dan ruang-ruang dosen yang hening. Krisis ini, yang telah lama menjadi desas-desus, kini meledak menjadi tragedi statistik.

Data dari GoodStats (2024) menggarisbawahi kegentingan ini. Dalam satu tahun saja, jumlah mahasiswa di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi menyusut hampir 91.000, dari 4,67 juta pada 2023 menjadi 4,58 juta pada 2024. Penurunan ini bak lubang hitam yang menyedot vitalitas PTS. Jika mahasiswa adalah jantung kampus, banyak PTS kini menderita gagal jantung akut.

Nyawa Dosen di Ujung Tanduk

Dampak paling telak terasa di ruang-ruang dosen. Mereka yang seharusnya menjadi pilar pendidikan, kini harus menghadapi ancaman kehilangan masa depan profesional. Dalam periode yang sama dengan anjloknya populasi mahasiswa, jumlah dosen di PTS juga berkurang sekitar 8 persen. Angka ini bukan sekadar pemutusan hubungan kerja, melainkan fragmentasi kehidupan akademik.

"Setiap tahun, kami harus merampingkan jumlah mata kuliah dan, jujur saja, jam mengajar. Gaji kami sepenuhnya bergantung pada jam tersebut. Ketika mahasiswa tidak ada, masa depan kami pun lenyap," tutur Dr. Bima Santoso (nama samaran), seorang dosen Ilmu Komunikasi di sebuah PTS di Jawa Tengah yang kini harus merangkap kerja sebagai konsultan paruh waktu demi menafkahi keluarga.

Inilah wajah buram krisis tersebut. Dosen swasta, yang seringkali bekerja dengan upah pas-pasan dan tanpa jaminan pensiun yang memadai, kini menjadi korban pertama dari gejolak pasar pendidikan. Mereka adalah para penjaga mimbar akademik yang kini terancam kehilangan panggungnya.

Badai Penutupan dan Ekspansi 'Rakus' PTN

Situasi diperparah oleh ancaman penutupan kampus yang membayangi. Data dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) dan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) menyebutkan bahwa lebih dari 80 PTS kini berada di jurang kehancuran. Mereka gagal memenuhi standar akreditasi, kekurangan dosen tetap, atau yang paling krusial, tidak mampu menjaring mahasiswa baru yang cukup.

Dampak riilnya sudah terlihat. Sepanjang 2023–2024, 23 PTS telah resmi dicabut izin operasionalnya. Ini bukan hanya penutupan institusi, tetapi kematian bagi ekosistem pendidikan lokal dan hilangnya pekerjaan bagi ratusan dosen dan staf administrasi.

Penyebab utama dari "kegagalan sistemik" PTS ini menunjuk satu arah: ekspansi masif Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui jalur mandiri.

PTN, yang secara historis memiliki mandat untuk menyediakan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau, kini dituding "berperilaku layaknya PTS" dengan membuka kuota jalur mandiri yang sangat besar. Jalur ini, dengan biaya Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) yang melambung tinggi, menjadi daya tarik magnetis bagi calon mahasiswa yang mengejar 'prestise' nama PTN, tak peduli mahalnya.

"PTN mengambil kue mahasiswa secara besar-besaran, terutama yang berasal dari keluarga mampu, melalui pintu belakang jalur mandiri. Akibatnya, PTS, yang secara historis melayani segmen menengah ke bawah, kehilangan pasokan utamanya," jelas seorang pengamat pendidikan tinggi dari Jakarta. "Ini bukan lagi kompetisi sehat, ini adalah kanibalisasi yang dilegalkan negara."

Ekspansi PTN ini menciptakan distorsi pasar. Dengan dana operasional dari negara, PTN dapat menawarkan fasilitas, promosi, dan nama besar yang tak tertandingi oleh PTS, yang harus beroperasi murni dari iuran mahasiswa.

Perlu 'Intervensi' Negara dan Transformasi PTS

Krisis ini menuntut intervensi serius. APTISI telah berulang kali menyuarakan agar pemerintah meregulasi ketat kuota jalur mandiri PTN, membatasi 'rakusnya' PTN dalam menjaring mahasiswa yang seharusnya menjadi ceruk pasar PTS.

Namun, selain regulasi, PTS juga harus melakukan introspeksi mendalam. Jargon "Kampus Berdampak" harus diterjemahkan menjadi program studi yang relevan, dosen dengan riset yang kuat, dan manajemen kampus yang transparan. PTS tidak bisa lagi hanya menjual ijazah. Mereka harus menawarkan nilai tambah yang tidak dimiliki PTN—fleksibilitas, kedekatan dengan industri lokal, atau program vokasi yang spesifik.

Jika tidak, krisis 91.000 mahasiswa ini hanyalah awal. Tanpa aksi cepat dan terstruktur dari pemerintah dan reformasi internal PTS, gelombang penutupan akan terus bergulir, memadamkan ribuan lampu akademik dan meninggalkan ribuan dosen swasta tanpa masa depan. Sebuah tragedi yang tak boleh disembunyikan lagi.

TiM Schoolmedia 

Berita Sebelumnya
Garuda Indonesia Beri Beasiswa untuk Lulusan SMA Taruna Nusantara

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar