Cari

Konsolidasi yang Lebih Mirip Konser Akbar dan Kegiatan Parpol, Saatnya Badan Gizi Nasional Kembali ke Esensi Gizi



Schoolmedia News Jakarta  — Dari kejauhan, lantunan musik semangat dan sorak sorai para peserta menggema di ruang utama Sentul International Convention Centre (SICC). Panggung besar dengan tata cahaya dinamis menampilkan tulisan “Konsolidasi Regional untuk Peningkatan Tata Kelola Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten”.

Namun bagi sebagian peserta yang datang dengan harapan untuk berdiskusi serius soal perbaikan tata kelola gizi, suasananya terasa janggal — lebih mirip konser akbar kementerian daripada forum ilmiah nasional.

Padahal, tema yang diangkat begitu krusial: memperkuat sinergi dan menyatukan langkah dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis di tingkat daerah. Di tengah tantangan stunting, ketimpangan akses pangan, serta ketidakmerataan distribusi bantuan gizi di berbagai wilayah Indonesia, forum seperti ini semestinya menjadi ruang refleksi dan perumusan solusi, bukan ajang perayaan.

Kegiatan yang dihadiri oleh Kepala BGN Dadan Hindayana, Wakil Kepala BGN Brigjen Pol. Sony Sonjaya, Nanik S. Deyang, Mayjen TNI (Purn) Lodewyk Pusung, serta Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola Dr. Ir. Tigor Pangaribuan, berlangsung megah.

Hadir pula Gubernur Banten Andra Soni, perwakilan Pemprov DKI Jakarta, serta Wakil Gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan, bersama para bupati, wali kota, kepala Satuan Pelayanan Pangan dan Gizi (SPPG), ahli gizi, mitra, dan relawan.

Kepala BGN dalam arahannya menegaskan pentingnya peran pemerintah daerah. â€œSaya mengimbau seluruh Kepala SPPG untuk membuka pintu selebar-lebarnya bagi pemerintah daerah. Di wilayah aglomerasi, pemda memiliki tanggung jawab mengawasi dan mengevaluasi, sedangkan di wilayah terpencil, pemda bertanggung jawab menentukan titik lokasi dapur,” ujar Dadan.

Ia juga memuji para pelaksana lapangan sebagai “pahlawan negara” karena turut membantu terwujudnya program Makan Bergizi Gratis. Ucapan itu disambut tepuk tangan panjang, sementara di layar besar terpampang video profil kisah sukses dapur SPPG dari beberapa daerah.

Namun, di luar suasana heroik yang dibangun, tidak banyak sesi yang membedah tantangan teknis: bagaimana mengatasi keterlambatan bahan baku, perbedaan standar gizi antar daerah, atau mekanisme pengawasan anggaran di lapangan.

“Rasanya seperti datang ke konser motivasi,” ujar seorang ahli gizi peserta acara yang meminta namanya disamarkan. “Kami menunggu sesi diskusi teknis, tapi waktu lebih banyak tersita untuk sambutan dan penghargaan.”

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu proyek sosial terbesar dalam sejarah pembangunan gizi di Indonesia. Dengan alokasi anggaran mencapai Rp268 triliun hingga 2026, BGN diharapkan mampu memperkuat fondasi ketahanan gizi nasional.

Dadan Hindayana menyebut bahwa Indonesia kini menjadi negara dengan pertumbuhan SPPG tercepat di dunia, dengan lebih dari 30.000 mitra terdaftar dan sekitar 11.504 di antaranya telah lolos verifikasi. Setiap harinya, kata dia, ada 150–200 SPPG baru yang siap beroperasi.

Namun di balik data yang tampak impresif, masih banyak persoalan di akar rumput. Laporan sejumlah pemerintah daerah menyebut adanya ketimpangan distribusi bantuan bahan pangan, serta minimnya tenaga ahli gizi di lapangan. Di beberapa daerah, dapur SPPG bahkan belum memiliki peralatan dasar yang memadai.

“Masalahnya bukan hanya jumlah, tapi kualitas,” ujar seorang kepala SPPG dari Banten. “Kami kekurangan panduan teknis yang baku, apalagi untuk wilayah terpencil. Kalau semua energi habis untuk acara besar, kapan kita bahas solusi lapangan?”

Forum Kehilangan Semangat Ilmiah 

Secara konseptual, konsolidasi regional seharusnya menjadi wadah koordinasi lintas daerah untuk menyatukan data, menyusun rencana aksi, dan mengevaluasi hasil. Sayangnya, kegiatan di Sentul lebih menonjolkan simbolisme ketimbang substansi.

Sebagian peserta menyayangkan tidak adanya sesi kelompok kerja (workshop) yang memungkinkan tukar pengalaman langsung antar-Satuan Pelayanan. “Padahal, yang kami butuhkan adalah sharing praktik terbaik dan evaluasi program berbasis bukti,” ujar seorang ahli gizi dari Jakarta Timur.

Ketiadaan ruang diskusi kritis ini memperlihatkan kecenderungan birokrasi yang lebih sibuk menampilkan pencapaian ketimbang membedah tantangan. Padahal, di lapangan, lebih dari 60 persen anak Indonesia masih belum memiliki akses rutin terhadap makanan bergizi akibat keterbatasan ekonomi keluarga.

Jika masalah sebesar itu tidak dibahas secara mendalam di forum strategis seperti ini, kapan lagi negara belajar dari data dan pengalaman lapangan?

Kritik terhadap gaya penyelenggaraan kegiatan seperti ini bukanlah untuk menihilkan semangat kerja para pelaksana di lapangan, tetapi untuk mengingatkan BGN agar tidak kehilangan arah. Dengan anggaran yang begitu besar, tanggung jawab lembaga ini bukan sekadar menjaga semangat, tetapi memastikan efektivitas kebijakan publik.

Badan Gizi Nasional harus kembali ke meja kerja, bukan terus berada di panggung gemerlap.

Salah satu kelemahan mendasar adalah belum adanya peta gizi daerah yang komprehensif. Banyak daerah melaksanakan MBG tanpa data mikro tentang kebutuhan gizi anak, status ekonomi keluarga, atau akses pangan lokal. Akibatnya, program cenderung seragam dan tidak kontekstual.

Selain itu, sistem pengawasan program masih lemah. Mekanisme pelaporan SPPG kerap terhambat karena tidak tersedianya infrastruktur digital di daerah. Evaluasi berbasis data waktu nyata (real-time monitoring) belum berjalan optimal, sehingga sulit mengukur dampak program secara langsung.

Tiga Rekomendasi 

Dalam konteks ini, redaksi menilai bahwa BGN perlu melakukan perubahan arah pendekatan yang lebih substansial. Terdapat tiga rekomendasi utama yang sebaiknya segera dijalankan:

1. Ubah pola konsolidasi menjadi forum teknokratis berbasis data.

Alih-alih menggelar acara berskala besar di gedung konvensi, BGN sebaiknya memusatkan kegiatan dalam forum terbatas yang menghadirkan kepala daerah, akademisi, dan praktisi gizi. Hasil riset daerah, evaluasi program, dan rekomendasi teknis harus menjadi bahan utama diskusi.
Konsolidasi bukan tempat menampilkan semangat, tetapi menajamkan kebijakan.

2. Bangun sistem transparansi dan pengawasan publik.

Dengan dana ratusan triliun rupiah, publik berhak mengetahui bagaimana anggaran MBG digunakan. BGN harus meluncurkan dashboard publik daring yang menampilkan data real-time jumlah SPPG, penerima manfaat, distribusi bahan pangan, serta hasil audit kualitas gizi.
Transparansi bukan sekadar formalitas, tapi alat membangun kepercayaan masyarakat.

3. Libatkan perguruan tinggi dan lembaga riset independen.

Program sebesar MBG memerlukan landasan ilmiah yang kuat dan berkelanjutan. Universitas dan lembaga penelitian harus dilibatkan untuk menilai efektivitas program, meneliti pola konsumsi anak, serta mengembangkan inovasi dapur bergizi berbasis bahan lokal.
Pendekatan ilmiah akan memperkaya kebijakan yang kini terlalu birokratis.

Di penghujung acara, seluruh peserta membacakan komitmen bersama untuk menjaga kualitas program dan memperkuat sinergi lintas sektor. Pernyataan itu tentu baik, tapi janji di atas panggung tidak akan berarti tanpa mekanisme tindak lanjut yang jelas.

Program Makan Bergizi Gratis sejatinya bukan proyek pencitraan, melainkan investasi negara untuk membangun generasi emas Indonesia. Jika dikelola dengan tepat, ia dapat menjadi tonggak perubahan struktur sosial: memperbaiki status gizi anak, meningkatkan daya pikir pelajar, dan menekan angka stunting secara signifikan.

Namun, jika dijalankan tanpa refleksi kritis dan akuntabilitas yang kuat, program ini berpotensi menjadi contoh klasik “pembangunan yang sibuk menghias kulit, lupa memperkuat isi”.

Kegiatan di Sentul seharusnya menjadi pengingat: membangun ketahanan gizi bukan tentang seberapa megah acaranya, melainkan seberapa besar manfaat yang sampai ke meja makan anak-anak Indonesia.

Kita tidak membutuhkan panggung besar untuk membuktikan komitmen, tetapi sistem yang bekerja diam-diam dan efektif setiap hari — di dapur-dapur sederhana, di sekolah-sekolah pelosok, dan di ruang makan keluarga miskin yang kini menunggu jatah makan bergizi mereka.

Karena sesungguhnya, keberhasilan BGN bukan diukur dari jumlah tepuk tangan di ruangan berlampu terang, tetapi dari berapa banyak anak Indonesia yang benar-benar tidak lagi pergi sekolah dengan perut kosong.

Tim Schoolmedia 

Berita Selanjutnya
Kejar Pemerataan Dokter, Pemerintah Luncurkan Standar Prosedur Operasional Uji Kompetensi Nasional
Berita Sebelumnya
Bangganya Murid SLB Islam Qothrunnada Bantul Segera Miliki Ruang Kelas Baru Dari Revitalisasi Sekolah

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar