Cari

Gim Indonesia Mendunia: Dari “DreadOut” hingga “Coral Island”, Bukti Kreativitas Anak Bangsa Menembus Pasar Global



Schoolmedia News Jakarta == Ratusan wajah muda bersemangat memenuhi aula The Stones Hotel, Bali. Di tangan mereka, laptop dan harapan—bahwa karya digital dari negeri kepulauan ini bisa mendunia. Di luar ruangan, spanduk besar bertuliskan “Indonesia Game Developer eXchange (IGDX) 2025” berkibar tertiup angin laut. Suasana itu seperti pameran masa depan: ruang tempat ide, seni, dan teknologi berpadu menciptakan peradaban baru yang disebut game industry.

“Gim kini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi jembatan yang menghubungkan karya generasi muda Indonesia ke pasar global,” ujar Meutya, mewakili pemerintah dalam sambutan pembukaan IGDX.
Kata “jembatan” itu terasa pas. Sebab selama bertahun-tahun, industri gim Indonesia seperti berdiri di dua tepi jurang—antara potensi besar dan keterbatasan pasar. Namun kini, jembatan itu mulai terbentang.


Babak Baru dari Nusantara Digital

Ketika gim horor DreadOut diluncurkan pada 2014 oleh Digital Happiness, tak banyak yang menduga bahwa proyek lokal ini akan menarik perhatian dunia. Dengan kamera ponsel sebagai senjata dan hantu-hantu khas Indonesia sebagai musuh, DreadOut menawarkan sesuatu yang tak dimiliki gim barat: atmosfer lokal yang autentik.

“Orang luar kagum karena hantu kita bukan zombie atau vampir, tapi pocong dan kuntilanak,” kenang Rachmad Imron, pendiri Digital Happiness, dalam salah satu sesi diskusi IGDX. “Itu menunjukkan bahwa lokalitas bisa jadi kekuatan global.”

Sepuluh tahun berselang, Coral Island—karya Stairway Games dari Bandung—mewakili babak baru. Gim simulasi bertani dan bersosialisasi ini mengusung semangat ekologi dan budaya tropis Indonesia. Dalam waktu singkat, Coral Island menjadi fenomena internasional di platform Steam dan Xbox, dimainkan jutaan orang di seluruh dunia.

“Banyak pemain asing baru sadar bahwa desain rumah, tanaman, dan pantainya terinspirasi dari Indonesia,” ujar Jeremy Decerle, salah satu co-founder Stairway Games. “Kami ingin dunia mengenal Indonesia bukan hanya lewat berita, tapi lewat keindahan digital.”


Gelombang Kedua: Talenta Muda dan Demokratisasi Kreativitas

Jika DreadOut dan Coral Island adalah tonggak sejarah, maka IGDX 2025 adalah panggung bagi gelombang kedua—para pengembang muda yang lahir dari dunia serba digital.

Salah satunya Adelia Misha, siswi SMP asal Malang yang datang ke Bali menumpang bus selama 14 jam. Ia membawa laptop, segepok catatan sketsa karakter, dan semangat luar biasa. Di usia 13 tahun, Misha telah menciptakan tiga gim. Terbaru, ia memperkenalkan Mocchi Mitten Bubble Revenge—gim kasual penuh warna tentang seekor kucing pembuat gelembung yang menumpas kejahatan dengan balon.

“Aku suka menggambar dan bermain gim, jadi aku pikir: kenapa tidak buat sendiri?” kata Misha polos.
Karya Misha dipamerkan di stan kecil, tapi pengunjungnya membludak. Beberapa investor asing bahkan meminta kontak ayahnya untuk mendiskusikan potensi lisensi.
“Dia contoh nyata bahwa kreativitas tidak mengenal usia,” ujar Shafiq Husein, Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI). “Kalau anak SMP sudah bisa bikin gim sendiri, kita tidak perlu lagi ragu soal masa depan industri ini.”


Dari Bali Menuju Dunia

Di IGDX 2025, pemandangan kolaborasi lintas generasi begitu kuat. Di satu sudut, para veteran seperti Digital Happiness dan Agate Studio berbagi pengalaman dengan pengembang muda. Di sudut lain, investor dari Jepang, Kanada, dan Singapura mencari mitra lokal.
Di atas panggung, para juri internasional mempresentasikan pemenang kompetisi “Pitching for the Future”—ajang pencarian ide gim paling inovatif tahun ini. Dari lima kategori, tiga di antaranya dimenangkan oleh tim asal Indonesia.

“Kualitas pengembang lokal sudah bisa bersaing di pasar Asia Tenggara, bahkan dunia,” ujar Shafiq bangga. “Yang kita butuhkan tinggal dorongan dari ekosistem: modal, mentoring, dan keberanian mengambil risiko.”


Garuda Spark: Infrastruktur Baru untuk Kreativitas

Dorongan itu kini datang lewat Garuda Spark Innovation Hub, platform baru yang diluncurkan pemerintah bersama pelaku industri digital di Bandung dan Jakarta.
Tujuannya sederhana tapi strategis: membangun “ekosistem kolaboratif” yang mempertemukan pengembang, investor, mentor, dan akademisi dalam satu wadah.

“Kami ingin agar ide-ide hebat dari berbagai daerah bisa terwujud menjadi produk nyata,” kata Meutya.
Garuda Spark menyediakan pelatihan, pendampingan bisnis, hingga akses ke pasar global. Program ini juga membuka inkubasi untuk pelajar dan mahasiswa yang tertarik masuk ke dunia game development.

Modelnya mirip creative hub di Seoul dan Tokyo—tapi dengan cita rasa Indonesia. Tiap ruang kerja di Garuda Spark dihiasi mural bertema lokal: dari karakter wayang hingga monster laut Nusantara.
“Ini bukan sekadar kantor, tapi rumah bagi para pencipta digital,” kata salah satu kuratornya.


Antara Budaya dan Teknologi

Industri gim Indonesia tidak hanya soal teknologi, tapi juga budaya. Banyak pengembang kini mulai menjelajahi cerita-cerita rakyat, mitologi, dan nilai-nilai lokal untuk dijadikan narasi digital.
Gim seperti A Space for the Unbound (Mojiken Studio) menghadirkan nostalgia masa SMA di kota kecil Indonesia dengan sentuhan fantasi. Lokapala, karya Anantarupa Studios, menjadi MOBA pertama buatan Indonesia yang mengangkat kisah pahlawan Nusantara.

“Dulu orang bilang kita cuma bisa jadi pemain, bukan pembuat,” ujar Dimas Novan, penulis naskah di Mojiken. “Sekarang dunia yang main gim kita.”

Cerita-cerita lokal itu menjadi kekuatan unik. Saat banyak gim global berlomba-lomba menampilkan dunia futuristik, gim Indonesia menghadirkan kehangatan budaya, aroma tanah air, dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.


Tantangan: Antara Ekosistem dan Ekspektasi

Meski geliatnya kuat, industri gim Indonesia belum sepenuhnya lepas dari tantangan.
Masalah klasik seperti akses pendanaan, keterbatasan sumber daya manusia, dan minimnya riset pasar masih menghantui.
Banyak pengembang bertahan dengan modal pribadi atau crowdfunding daring. Beberapa gagal di tengah jalan karena tidak punya dukungan bisnis yang cukup.

“Industri gim bukan sekadar ide kreatif. Ia juga butuh manajemen, marketing, dan keberlanjutan,” jelas Shafiq Husein dari AGI.
Karena itu, AGI kini menggandeng Kementerian Komunikasi dan Digital untuk membangun program mentorship dan inkubasi terpadu.
“Kami ingin memastikan tidak ada ide yang mati di tengah jalan hanya karena kurang dukungan,” tambahnya.


Gen Z dan Masa Depan Ekonomi Kreatif

Menurut data AGI, ada lebih dari 3.000 pengembang gim aktif di Indonesia, mayoritas berusia di bawah 30 tahun.
Generasi muda ini tumbuh di era internet, terbiasa belajar otodidak lewat YouTube, dan bekerja lintas negara tanpa batas.
“Kalau dulu cita-cita anak muda jadi dokter atau insinyur, sekarang banyak yang ingin jadi game designer, animator, atau streamer,” kata Meutya sambil tersenyum.

Ia menilai, Gen Z adalah motor utama kebangkitan ekonomi kreatif digital Indonesia.
“Kita ingin Indonesia dikenal bukan hanya karena pasarnya besar, tapi karena karyanya.”

Pemerintah menargetkan kontribusi industri gim terhadap PDB ekonomi kreatif meningkat dua kali lipat dalam lima tahun ke depan.
IGDX dan Garuda Spark menjadi katalis, tempat lahirnya generasi baru pencipta digital yang tak takut menantang dunia.


Jejak Kreativitas dari Timur ke Barat

Tak hanya di Jawa, geliat industri gim mulai merata di berbagai daerah. Di Makassar, komunitas GameDevID Sulsel melatih pelajar membuat gim edukatif tentang budaya Bugis.
Di Yogyakarta, kampus-kampus seperti UGM dan ISI membuka program khusus game art dan interactive storytelling.
Sementara di Bali—tempat IGDX berlangsung—banyak studio baru bermunculan karena dukungan ekosistem pariwisata digital.

“Kita sedang menyaksikan peta baru industri kreatif,” ujar pengamat digital Rizky Darmawan. “Dulu semua terpusat di Jakarta dan Bandung. Sekarang, talenta bisa datang dari mana saja—bahkan dari desa terpencil, asal punya koneksi internet.”


Ketika Dunia Menyapa

Tak hanya pemain Asia, kini penerbit dari Amerika dan Eropa mulai melirik Indonesia.
Beberapa di antaranya menandatangani nota kerja sama di IGDX 2025 untuk proyek co-production.
Salah satu studio asal Swedia bahkan mengumumkan akan membuka cabang di Jakarta untuk mengembangkan gim berbasis cerita rakyat lokal.

“Pasar gim global sedang mencari sesuatu yang segar dan autentik,” kata James Huang, perwakilan investor asal Singapura. “Dan Indonesia punya itu—cerita, budaya, dan kreativitas yang belum banyak dieksplorasi.”


Epilog: Dari Bali, Dunia Melihat ke Arah Kita

Saat matahari Bali mulai tenggelam di ufuk barat, peserta IGDX satu per satu meninggalkan aula.
Di antara mereka, Misha kecil menggenggam piala kecil penghargaan “Young Innovator Award”. Ia memeluk ayahnya erat, sementara di layar belakang panggung terpampang slogan besar: “From Indonesia to the World.”

Di luar, angin laut membawa aroma garam dan suara ombak, seolah mengiringi langkah generasi baru pencipta digital Nusantara.
Dari DreadOut hingga Coral Island, dari studio kecil hingga panggung global—kisah industri gim Indonesia kini bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan yang terus tumbuh.

Dan siapa tahu, di masa depan, saat pemain di New York, Tokyo, atau Berlin menekan tombol “Start Game”, yang muncul di layar mereka adalah karya anak bangsa.

Tim Schoolmedia

Berita Sebelumnya
Batas Penggunaan AI di Kampus, SDM Unggul Jadi Kunci Masa Depan Indonesia

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar