
Schoolmedia News Jakarta == Di tengah jeritan kerugian dan riwayat kelam kasus korupsi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukannya diperkuat dengan profesionalisme, melainkan kian dibanjiri oleh aroma politik balas jasa. Temuan terbaru dari Transparency International Indonesia (TI Indonesia) membongkar praktik sistematis di balik penunjukan komisaris, yang mengancam tata kelola dan integritas perusahaan pelat merah.
Fakta tak terbantahkan: Hingga 30 September 2025, tercatat 33 Wakil Menteri aktif merangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai BUMN. Praktik ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap etika publik dan merupakan konflik kepentingan institusional yang mengaburkan batas antara regulator (pemerintah) dan yang diawasi (BUMN).
"Putusan MK tak digubris, etika dikesampingkan. Rangkap jabatan ini bukan lagi soal efisiensi, tapi soal 'bagi-bagi kursi' kekuasaan yang membuat pengawasan internal BUMN mati suri," demikian kesimpulan tajam dari TI Indonesia.
BUMN: Dari Lokomotif Ekonomi Menjadi Lahan Konsolidasi Politik
Riset TI Indonesia terhadap 119 perusahaan BUMN (induk dan anak usaha) mengungkap bahwa total 562 jabatan komisaris didominasi oleh Politically Exposed Persons (PEPs). Mayoritas (60%) kursi pengawasan strategis ini diisi oleh birokrat dan politisi.
Secara spesifik, 165 kursi komisaris saat ini diduduki oleh orang-orang berlatar belakang Politisiââ¬âmeliputi kader partai politik dan kelompok relawan. Komposisi ini adalah bukti kuat bahwa kursi komisaris telah disulap menjadi area akomodasi politik, jauh dari prinsip meritokrasi.
Di antara para politisi tersebut, 109 orang adalah anggota/kader partai politik. Yang paling mencolok adalah dominasi dari partai yang menaungi Presiden saat ini, di mana Partai Gerindra menduduki 53 kursi komisaris, sebuah angka yang secara telanjang menunjukkan kuatnya intervensi politik pasca-pemilu.
Intervensi ini semakin runcing di Sektor Energi, di mana kelompok politisi menduduki 40,5% kursi komisaris, jauh melampaui kelompok profesional (13,8%). Di tangan para politisi ini, keputusan investasi, kebijakan harga, dan proyek-proyek strategis BUMN sangat rentan disubordinasi di bawah kepentingan jangka pendek atau kepentingan politik elektoral.
Ancaman Nyata: Gaji Ganda dan Potensi Undue Influence
Meskipun TI Indonesia tidak merinci nominalnya, praktik rangkap jabatan yang melibatkan pejabat tinggi seperti wakil menteri secara otomatis menghasilkan gaji ganda dan fasilitas yang fantastis. Seorang pejabat negara menerima pendapatan utamanya dari pos kementerian, ditambah dengan penghasilan tambahan yang signifikan dari pos komisaris BUMN.
Kondisi ini menciptakan motivasi yang berorientasi pada keuntungan pribadi (by greed), bukan pada pengabdian. Lebih berbahaya lagi, kehadiran para PEPs ini tanpa cooling off period (masa jeda) membuka celah bagi undue influenceââ¬âpenggunaan pengaruh politik yang tidak semestinyaââ¬âyang dapat merusak proses bisnis dan memicu konflik kepentingan yang berujung pada kerugian negara.
TI Indonesia mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menarik rem darurat, menghentikan praktik penunjukan komisaris yang didasarkan pada loyalitas politik, dan mengembalikan BUMN pada rel profesionalisme. Kegagalan melakukan reformasi tata kelola BUMN saat ini berarti membiarkan aset bangsa terus tergerus oleh kepentingan kekuasaan.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar