Cari

Empat Bulan Sekolah Rakyat: Menembus Putaran Data, Merawat Harapan Anak-Anak dari Keluarga Termiskin


Schoolmedia News Jakarta = Empat bulan setelah diluncurkan, Sekolah Rakyat—program pendidikan alternatif yang dirancang Kementerian Sosial (Kemensos) untuk menjangkau anak-anak dari keluarga miskin ekstrem—mulai menunjukkan bentuknya. Program yang sempat menuai penolakan pada masa awal itu kini berjalan lebih teratur, meski sejumlah catatan kritis masih membayang dan perlu segera dijawab agar gagasan besar ini tidak sekadar menjadi proyek jangka pendek.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul), ketika menerima audiensi wartawan Tempo di kantor Kemensos, Kamis (27/11/2025), menyampaikan hasil evaluasi tahap pertama. “Secara umum berjalan baik. Awalnya ada tantangan karena guru dan siswa sama-sama baru,” ujarnya, mengenang kembali masa-masa sulit ketika banyak pihak meragukan kesiapan kurikulum, tenaga pendidik, hingga model operasional sekolah yang tidak mengikuti pola pendidikan formal.

Audiensi yang dihadiri enam jurnalis Tempo—Friski Riana, Yosea Arga, Erwan Hermawan, Francisca, Martin, dan Egi—menjadi ruang bagi Kemensos menjelaskan perkembangan, hambatan, dan rencana perluasan program. Dari penjelasan tersebut, tergambar bagaimana Sekolah Rakyat tidak hanya soal membuka kelas, tetapi juga tentang membenahi fondasi data sosial Indonesia.

Belum Menjangkau Siswa Berbakat Tersembunyi

Sejak awal, Sekolah Rakyat dirancang untuk menjangkau kelompok yang selama ini tertinggal: anak-anak dari rumah tangga Desil 1—kelompok penduduk dengan kondisi sosial ekonomi terendah. Banyak di antara mereka belum pernah tersentuh pendidikan formal, bahkan tak muncul dalam berbagai basis data pemerintah.

“Rata-rata siswa berasal dari keluarga kurang mampu, dan banyak yang sebelumnya tidak pernah terdeteksi dalam data,” kata Gus Ipul. Di sinilah program ini mengambil peran ganda: membuka akses pendidikan sekaligus memperbaiki visibility kelompok rentan dalam sistem data nasional.

Semua proses seleksi merujuk pada Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), yang kini menjadi fondasi seluruh skema bantuan sosial. “Sekarang semua harus di DTSEN. Tidak boleh lagi kementerian atau lembaga punya data sendiri,” tegasnya.

Untuk mengimbangi sifat data sosial yang dinamis, Kemensos menyediakan berbagai jalur partisipasi publik—mulai dari aplikasi DTSEN, Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial Next Generation (SIKS-NG), hingga call center 24 jam. Skema ini memungkinkan warga melaporkan kasus salah sasaran, mengusulkan data baru, atau memperbarui informasi keluarga miskin.

Data dan Fakta Lapangan 

Dalam pertemuan tersebut, Gus Ipul mengurai sejumlah temuan lapangan yang membuktikan pentingnya pemutakhiran data. Ada penerima bantuan sosial (bansos) yang masih tercatat meski sudah meninggal, penerima yang memiliki kendaraan bermotor, hingga rekening penerima yang digunakan untuk aktivitas judi online.

“Kami terbuka. Kalau ada yang tidak tepat sasaran, silakan sampaikan lengkap dengan alamat dan bukti. Kita tidak main-main soal ini,” tegasnya.

Pembersihan data yang dilakukan beberapa bulan terakhir menghasilkan dampak tak terduga: sebagian penerima yang tidak berhak mengundurkan diri secara sukarela. Fenomena ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran sekaligus efektivitas verifikasi berbasis lapangan yang ditempuh Kemensos.

Akurasi data menjadi penting karena Sekolah Rakyat akan diperluas ke rumah tangga Desil 2, yang juga menjadi kelompok prioritas bantuan sosial. “Ini sudah mulai kita susun. Targetnya jelas, dan semuanya berbasis data,” ujarnya.

Pada periode awal, Sekolah Rakyat menghadapi resistensi—baik dari lingkungan sekitar maupun dari sebagian calon guru. Model pembelajarannya dianggap tidak jelas, dan statusnya sebagai program intervensi sosial menimbulkan kekhawatiran bahwa sekolah ini kelak tidak mendapat pengakuan memadai. Namun, menurut Gus Ipul, situasi itu berubah seiring konsolidasi Kemensos dengan pemerintah daerah, lembaga swasta, serta kelompok masyarakat.

Di sejumlah lokasi, Sekolah Rakyat bahkan mulai menjadi ruang aman bagi anak-anak yang sebelumnya bekerja membantu orang tua, berjualan, atau menjadi pengasuh adik. Model pendidikannya yang fleksibel, dengan pendekatan kontekstual dan berbasis kearifan lokal, disebut berhasil menarik minat siswa yang kesulitan mengikuti ritme pendidikan formal.

Namun, catatan kritis tetap muncul. Tantangan terbesar adalah kualitas guru. Banyak tenaga pengajar belum memiliki latar belakang pedagogi yang kuat. Mereka dibekali pelatihan singkat, tetapi belum cukup untuk menangani siswa dengan kerentanan tinggi—misalnya yang mengalami keterlambatan belajar, trauma sosial, atau tidak memiliki pengalaman sekolah sama sekali.

Jaga Mimpi Besar Anak Indonesia

Empat bulan perjalanan memang terlalu singkat untuk menyimpulkan keberhasilan. Program ini memikul ambisi besar: memotong rantai kemiskinan ekstrem melalui pendidikan. Namun, tiga hal krusial masih harus menjadi perhatian pemerintah:

  1. Kurikulum yang solid dan berkelanjutan
    Agar tidak terjebak sebagai program karitatif, Sekolah Rakyat memerlukan kurikulum yang mampu menjembatani anak-anak menuju pendidikan formal atau pelatihan kejuruan. Saat ini, beberapa lokasi masih meraba-raba metode pembelajaran.

  2. Kualitas guru dan dukungan psikososial
    Guru harus lebih dari sekadar pengajar. Mereka perlu dibekali keterampilan pendampingan sosial, manajemen kelas berisiko tinggi, dan kemampuan mendeteksi hambatan belajar. Tanpa peningkatan kapasitas yang serius, beban terberat program justru jatuh pada para pendidik.

  3. Akurasi data sebagai fondasi
    DTSEN memberi dasar kuat, namun risiko eksklusi dan inklusi keliru masih tinggi. Warga “tidak terdata” dapat kembali terlewat bila pemutakhiran tidak dilakukan rutin. Pengawasan independent watchdog dan keterlibatan masyarakat harus terus diperkuat.

Sekolah Rakyat adalah salah satu upaya strategis melawan kemiskinan ekstrem—sebuah problem yang tidak cukup diselesaikan dengan bansos semata. Pendidikan memberi peluang keluar dari kemiskinan, dan dalam banyak kasus, menjadi penyelamat terakhir bagi anak-anak yang hidup di lingkaran kerja sejak kecil.

Program ini masih muda, rapuh, dan penuh koreksi. Namun jika dikelola dengan baik dan berbasis data yang akurat, Sekolah Rakyat dapat menjadi model pendidikan komunitas yang tidak hanya memberi akses, tetapi juga membuka harapan baru.

Gus Ipul menutup pertemuan dengan pesan yang menegaskan apa yang sebetulnya menjadi inti dari seluruh upaya ini: “Kalau datanya tidak benar, bantuan pasti tidak tepat sasaran. Karena itu kita terus melakukan pembenahan.”

Empat bulan berjalan, Sekolah Rakyat masih terus bertumbuh—mencoba membuktikan bahwa di tengah kompleksitas kemiskinan, pendidikan tetap punya ruang untuk menjadi titik balik.

Tim Schoolmedia

Lipsus Sebelumnya
13 Kabupaten Korban Banjir dan LOngsor, “Jalan Lumpuh, Laut Jadi Jalan: Tim BASARNAS Turun ke Medan Evakuasi Aceh–Sumut”

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar