Cari

GEMAS Kecam Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhie: Tindakan Amoral dan Ahistoris


Schoolmedia News Jakarta == Puluhan aktivis Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) mengecam keras keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, H. M. Soeharto, dan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo.

Depan Komplek Kantor Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknnologi, Selasa (11/11) mereka memprotes keputusan Menteri Kebudayaan memberikan penghargaan kepada Soeharto sebagai pahlawan nasional.

Keduanya termasuk dalam sepuluh tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang diumumkan pada Senin, 10 November 2025, di Istana Negara.

Dalam keterangan resminya, GEMAS menyebut keputusan tersebut sebagai tindakan “cacat moral dan ahistoris” yang mengabaikan jejak panjang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan praktik korupsi yang terjadi di masa pemerintahan Soeharto.

“Pemberian gelar ini bukan hanya simbol penghargaan, tetapi bentuk legitimasi terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru,” tulis pernyataan GEMAS yang diterima redaksi, Selasa (11/11).

GEMAS menilai, penganugerahan gelar kepada Soeharto menambah daftar panjang tindakan negara yang memuliakan figur-figur yang terlibat dalam pelanggaran berat HAM. Sebelumnya, nama-nama seperti Eurico Guterres, Prabowo Subianto, Sjafrie Sjamsoeddin, Wiranto, A. M. Hendropriyono, Abilio Jose Osorio Soares, dan Zacky Anwar Makarim juga pernah menerima penghargaan kenegaraan meski rekam jejaknya bermasalah.

“Pemberian gelar kepada Soeharto merupakan puncak dari praktik impunitas yang dibiarkan terus hidup di tubuh negara,” tegas GEMAS.

Menurut GEMAS, Soeharto bertanggung jawab atas berbagai kejahatan kemanusiaan, korupsi, serta kebijakan diskriminatif selama berkuasa. Mereka menyoroti pembantaian massal 1965–1966 yang menewaskan ratusan ribu orang yang dituduh komunis, penindasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas Tionghoa, hingga penerapan Asas Tunggal Pancasila yang menekan kebebasan beragama dan berpikir kritis.

“Di bawah komandonya, negara menjadi alat represi. Jutaan nyawa melayang, kebebasan dibungkam, dan sumber daya alam dijarah atas nama pembangunan,” lanjut pernyataan itu.

Sarwo Edhie dan Jejak 1965

Selain Soeharto, GEMAS juga menyoroti pemberian gelar kepada Sarwo Edhie Wibowo, yang disebut memiliki keterlibatan langsung dalam pembantaian 1965–1966. Sejumlah penelitian, seperti karya John Roosa dan Robert Cribb, menyebut Sarwo Edhie sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang memimpin operasi penumpasan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui penyelidikan pro-yustisia berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga telah menyatakan bahwa peristiwa 1965–1966 termasuk pelanggaran berat HAM. “Dengan memberikan gelar pahlawan kepada mereka, negara secara terang-terangan melanggengkan impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM,” ujar GEMAS.

GEMAS menegaskan bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Pasal 25 UU itu mensyaratkan keteladanan dan integritas moral bagi penerima gelar, sementara rekam jejak Soeharto, menurut GEMAS, justru bertolak belakang dengan prinsip tersebut.

“Langkah ini juga menyalahi asas keterbukaan dan keadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 UU GTK. Presiden memang memiliki hak prerogatif, tetapi bukan hak mutlak yang meniadakan partisipasi publik,” kata mereka.

GEMAS juga mengingatkan bahwa TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 telah menegaskan bahwa Soeharto dan kroni-kroninya tidak boleh dikecualikan dari proses hukum atas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mahkamah Agung bahkan pernah memutuskan Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar ganti rugi ratusan juta dolar AS kepada negara.

Pemutihan Dosa Rezim Orde Baru

Dalam pandangan GEMAS, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto merupakan bagian dari upaya sistematis negara untuk “memutihkan dosa-dosa Orde Baru”. Mereka menilai pemerintah saat ini tengah berusaha menulis ulang sejarah dengan menutupi kekejaman masa lalu.

“Upaya ini terlihat dari pernyataan sejumlah pejabat yang berusaha menolak fakta sejarah pelanggaran HAM, termasuk tragedi Mei 1998. Kini, dengan pemberian gelar ini, negara seolah sedang menghapus memori kolektif bangsa terhadap luka masa lalu,” tulis GEMAS.

GEMAS menilai keputusan ini menunjukkan keberpihakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kepada figur-figur bermasalah. “Langkah ini mencerminkan standar moral yang rendah dalam penyelenggaraan negara,” tegas mereka.

Menurut GEMAS, tindakan pemerintah tersebut “mengkhianati semangat reformasi” dan menjadi bentuk penghinaan terhadap para korban serta keluarga korban pelanggaran HAM yang masih memperjuangkan keadilan hingga kini.

Atas dasar itu, GEMAS mendesak pemerintah untuk mencabut penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo. Mereka menilai, keputusan ini bukan hanya melukai nurani bangsa, tetapi juga bertentangan dengan prinsip hukum dan keadilan.

“Kami berdiri bersama para korban, penyintas, dan keluarga korban pelanggaran HAM. Pemberian gelar ini adalah bentuk penyangkalan terhadap kebenaran dan pengkhianatan terhadap upaya penegakan HAM di Indonesia,” tegas GEMAS menutup pernyataannya.

Lipsus Selanjutnya
Melangkah ke Panggung Global: "Rumah Pendidikan" Indonesia Jadi Sorotan di EduTech Asia 2025
Lipsus Sebelumnya
Kemenko PMK Lakukan Peluncuran Kick Off Kampanye TOSS TBC di 8 Provinsi

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar