Cari

Gen Z Peduli Krisis Iklim Dunia Namun Kecewa Dengan Kebijakan Pemerintah Menangani



Puluhan mahasiswa mengikuti aksi simpatik krisis iklim dan percepatan transisi energi di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat. Aksi oleh mahasiswa dari berbagai daerah tersebut meminta kepada Pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi bersih, mendorong energi terbarukan di kalangan komunitas dan menghentikan ketergantungan terhadap energi kotor.

Schoolmedia News Jakarta — Ketika suhu udara kian tak menentu dan hujan datang tanpa pola, banyak anak muda Indonesia tak lagi menganggap perubahan iklim sebagai sekadar topik diskusi di sekolah atau media sosial. Bagi Generasi Z, krisis iklim adalah kenyataan yang mereka rasakan setiap hari — di udara yang makin panas, di banjir yang kian sering datang, di langit yang tak lagi biru.

Namun, di balik meningkatnya kesadaran ini, tumbuh pula rasa kecewa dan frustrasi terhadap cara pemerintah menangani krisis iklim. Sebagian besar anak muda menilai, pelibatan mereka selama ini hanya sebatas seremonial, tanpa ruang untuk benar-benar didengar.

Sebuah riset terbaru yang dirilis Katadata Insight Center (KIC) mengungkap, Generasi Z memiliki tingkat kesadaran paling tinggi terhadap isu krisis iklim dibanding kelompok usia lainnya. Mereka sadar bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja.

Namun, pemahaman mereka masih cenderung sempit, umumnya sebatas pada cuaca ekstrem, seperti gelombang panas, hujan tak menentu, dan banjir yang kerap melanda kota besar. Padahal, krisis iklim mencakup persoalan jauh lebih luas — dari degradasi tanah, deforestasi, hingga ketimpangan energi yang memengaruhi kehidupan jutaan orang.

“Banyak anak muda tahu bahwa cuaca berubah karena iklim, tapi belum memahami bagaimana sistem ekonomi dan kebijakan energi ikut memperparah situasi,” tulis laporan itu.

Di luar isu perubahan iklim, pengelolaan sampah yang buruk dan kerusakan lingkungan akibat pertambangan menjadi dua topik lain yang paling banyak disorot oleh Generasi Z.

Mereka melihat langsung tumpukan sampah plastik yang menutup sungai, atau debu tambang yang mencemari udara di sekitar tempat tinggal. Isu-isu itu bukan lagi abstrak, melainkan dekat dan kasatmata.

“Setiap kali hujan deras, banjir datang bukan cuma karena air, tapi karena plastik,” kata Rani (21 tahun), mahasiswi asal Bandung yang aktif di komunitas lingkungan lokal. “Kami tahu masalahnya, tapi kebijakan yang ada terasa tidak cukup kuat.”

Kekecewaan terbesar anak muda adalah pada minimnya pelibatan yang bermakna dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim.

Bagi mereka, undangan mengikuti forum atau kegiatan pemerintah sering kali hanya bersifat simbolik — tokenisme. Mereka diminta hadir untuk “mengisi kursi muda”, bukan untuk memberi suara yang benar-benar didengar.

Padahal, mereka adalah generasi yang akan hidup paling lama dengan konsekuensi dari keputusan hari ini.

“Kami lelah jadi peserta seremonial. Kami ingin terlibat dalam proses nyata — dari perumusan kebijakan hingga pengawasan implementasi,” ujar Dimas (23 tahun), aktivis muda dari Yogyakarta.

Kesadaran yang tumbuh ini perlahan berubah menjadi aktivisme iklim. Gerakan anak muda kini semakin lantang menuntut kebijakan berkeadilan iklim — kebijakan yang tidak hanya menekan emisi, tapi juga memastikan kelompok rentan tidak tertinggal.

Mereka juga menolak “solusi palsu” seperti proyek hijau yang hanya mempercantik citra, tanpa menyentuh akar masalah: ketergantungan pada energi fosil, deforestasi masif, dan ketimpangan ekonomi dalam transisi energi.

Tuntutan mereka jelas: transisi energi yang adil, cepat, dan berpihak pada rakyat.

Bagi Generasi Z, masa depan tidak lagi bisa ditunda. Mereka hidup di tengah krisis yang diciptakan generasi sebelumnya — dan menolak untuk diam.

Di media sosial, di jalanan, di kampus, hingga di forum internasional, mereka menyuarakan hal yang sama: keadilan iklim bukan pilihan, tapi kebutuhan.

“Kalau kami tidak bersuara sekarang,” kata Rani pelan, “kami mungkin tak punya bumi untuk bersuara nanti.”

Tim Schoolmedia

Lipsus Sebelumnya
Gelombang Penipuan Online Rugikan Warga Rp 7 Triliun: Cermin Gelap Dunia Digital Indonesia

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar