Cari

Pesantren Award 2025: Dari Khofifah hingga Santri Lamongan, Ikhtiar Menguatkan Ekosistem Pendidikan Islam


Schoolmedia Surabaya == Suasana ruang pertemuan di Kementerian Agama, Jakarta, awal pekan ini terasa hangat dan penuh semangat. Para kepala daerah, pimpinan pesantren, dan santri terpilih berkumpul dengan balutan busana khas pesantren: sarung, peci, dan gamis putih. Tak sekadar seremoni, acara itu menandai langkah penting dalam pengakuan negara terhadap peran pesantren dalam membangun karakter bangsa.

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama menetapkan para penerima Pesantren Award Tahun 2025—penghargaan tahunan yang diberikan kepada tokoh, lembaga, dan santri yang dinilai berkontribusi besar terhadap penguatan serta transformasi dunia pesantren di Indonesia.

“Pesantren adalah institusi pendidikan yang paling tahan banting dalam sejarah bangsa ini,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Islam, dalam sambutannya. “Mereka tidak hanya mendidik, tapi juga menjadi benteng moral, sosial, dan bahkan ekonomi di tingkat akar rumput.”

Penghargaan tahun ini dibagi ke dalam empat kategori: Gubernur, Bupati, Pesantren Transformatif, dan Santri Inspiratif.

Di tingkat provinsi, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa kembali menunjukkan kepemimpinan inklusifnya di bidang keagamaan. Pemerintahannya dinilai konsisten mendorong kebijakan afirmatif untuk pesantren, mulai dari pemberian dana hibah hingga penguatan kurikulum kewirausahaan berbasis santri.

Selain Khofifah, penghargaan juga diberikan kepada Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf. Kedua kepala daerah itu dinilai berhasil menjaga sinergi antara pesantren dan pemerintah daerah dalam membangun masyarakat religius yang terbuka terhadap modernitas.

Untuk kategori bupati, penghargaan jatuh kepada Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir, Bupati Kendal Dyah Kartika Permanasari, dan Bupati Bantaeng Fathul Fauzy Nurdin. Mereka dianggap berhasil menjadikan pesantren sebagai mitra strategis pembangunan daerah, bukan sekadar lembaga pendidikan tradisional.

Di Sumedang, misalnya, Dony mendorong pesantren menjadi pusat inovasi pertanian organik dan ekonomi kreatif. Sementara di Kendal, Dyah Kartika meluncurkan program Pesantren Digital yang memperkenalkan literasi teknologi bagi santri. Adapun di Bantaeng, Fathul Fauzy mengembangkan model pesantren hijau yang memadukan pendidikan agama dengan pelestarian lingkungan.

Dari ratusan nominasi yang diajukan, tiga pesantren terpilih sebagai lembaga paling transformatif: Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo (Situbondo), Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (Sleman), dan Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah (Garut).

Ketiganya dinilai berhasil melakukan modernisasi sistem pendidikan tanpa kehilangan identitas keislaman khas pesantren. Sukorejo, misalnya, sejak lama dikenal sebagai pesantren besar yang memadukan tradisi kitab kuning dengan pengajaran sains dan kewirausahaan. Sunan Pandanaran aktif melahirkan kader da’i moderat, sementara Darul Arqam Muhammadiyah menjadi pionir pengembangan kurikulum berbasis riset dan teknologi.

“Transformasi pesantren bukan berarti meninggalkan tradisi, melainkan memaknainya ulang sesuai kebutuhan zaman,” ujar salah satu juri Pesantren Award, seorang akademisi dari UIN Syarif Hidayatullah.

Proses seleksi untuk kategori ini tidak sederhana. Penilaian dilakukan melalui tahap administrasi, presentasi, dan wawancara mendalam di Jakarta. Panel juri yang terdiri dari akademisi, praktisi pendidikan, dan tokoh pesantren menilai aspek manajerial, inovasi kurikulum, hingga dampak sosial pesantren terhadap masyarakat sekitar.

Sementara itu, dalam kategori Santri Inspiratif, penghargaan diberikan kepada tiga sosok muda yang dinilai membawa semangat baru bagi dunia pesantren dan masyarakat luas: Khoirul Adib dari Pesantren Darul Ilmi, Meteseh, Semarang; Qotrotun Nadia dari Pesantren Fadlun Minalloh, Bantul; dan Tsuroyyah Hamidah dari Pesantren Sunan Drajat, Lamongan.

Khoirul dikenal karena inisiatifnya membangun platform digital SantriHub, yang menghubungkan produk usaha kecil berbasis pesantren dengan pasar daring. Qotrotun aktif mengampanyekan kesetaraan pendidikan bagi santriwati melalui program Perempuan Mengaji Digital, sementara Tsuroyyah menggerakkan gerakan literasi kitab klasik di kalangan remaja pesantren.

“Menjadi santri tidak berarti hanya belajar agama. Kami juga harus siap berkontribusi untuk masyarakat dengan cara yang relevan dengan zaman,” kata Tsuroyyah Hamidah, saat ditemui usai acara penganugerahan.

Dari Hari Santri ke Transformasi Nasional

Penetapan penerima Pesantren Award 2025 merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Santri Nasional 2025, yang jatuh pada 22 Oktober lalu. Tahun ini, tema besar Hari Santri adalah “Santri Berkarya untuk Negeri,” menegaskan bahwa pesantren bukan entitas terpisah, tetapi bagian integral dari pembangunan nasional.

Menteri Agama dalam pernyataannya menegaskan, penghargaan ini bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi bentuk policy recognition terhadap ekosistem pendidikan Islam yang telah lama menopang kehidupan sosial Indonesia.

“Negara punya utang sejarah pada pesantren,” ujarnya. “Lewat penghargaan ini, kita ingin menunjukkan bahwa kontribusi santri dan kiai tidak berhenti pada masa lalu. Mereka kini menjadi motor perubahan.”

Sinergi dan Tantangan 

Melalui Pesantren Award, Ditjen Pendis berupaya mendorong sinergi antara pemerintah daerah, pesantren, dan masyarakat sipil. Tujuannya adalah memperkuat ekosistem pendidikan Islam yang unggul, moderat, dan adaptif terhadap tantangan zaman—dari arus digitalisasi, isu keberlanjutan, hingga pluralitas sosial yang semakin kompleks.

Namun tantangannya tidak kecil. Banyak pesantren di pelosok daerah masih bergulat dengan keterbatasan fasilitas dan akses pendanaan. Modernisasi belum sepenuhnya merata. Di sinilah pentingnya kolaborasi lintas sektor, sebagaimana dicontohkan oleh para penerima penghargaan tahun ini.

“Pesantren tidak boleh berjalan sendiri,” kata seorang pejabat Ditjen Pendis. “Kita butuh dukungan pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat agar pesantren bisa menjadi pusat pemberdayaan, bukan sekadar lembaga pendidikan.”

Dengan penghargaan ini, Kementerian Agama berharap muncul inspirasi baru—bahwa pesantren bukan hanya benteng moral, tetapi juga laboratorium sosial yang mampu melahirkan inovasi, menumbuhkan toleransi, dan memperkuat fondasi kebangsaan.

Dan sebagaimana kata pepatah di kalangan santri: “al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”—memelihara tradisi lama yang baik, sambil mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Pesantren Award 2025 seolah menjadi cermin dari semangat itu: tradisi yang hidup, bergerak, dan terus menyalakan cahaya perubahan di tengah zaman yang terus berubah.

Proses penilaian dilakukan melalui tahapan presentasi dan wawancara yang berlangsung di Jakarta.

Penerima Pesantren Award 2025

Kategori Gubernur

  1. Gubernur Jawa Timur : Khofifah Indar Parawansa

  2. Gubernur Sumatera Selatan : Herman Deru

  3. Gubernur Aceh : Muzakir Manaf

Kategori Bupati

  1. Bupati Sumedang : Dony Ahmad Munir

  2. Bupati Kendal : Dyah Kartika Permanasari

  3. Bupati Bantaeng : Fathul Fauzy Nurdin

Kategori Pesantren Transformatif

  1. Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur

  2. Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, DIY

  3. Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Garut, Jawa Barat

Kategori Santri Inspiratif

  1. Khoirul Adib, santri Pondok Pesantren Darul Ilmi, Meteseh, Semarang

  2. Qotrotun Nadia, santriwati Pondok Pesantren Fadlun Minalloh, Bantul

  3. Tsuroyyah Hamidah, santriwati Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan

Penetapan penerima Pesantren Award 2025 menjadi bagian dari rangkaian peringatan Hari Santri Nasional Tahun 2025. Program ini merupakan bentuk komitmen Kementerian Agama dalam mengapresiasi kiprah pesantren, tokoh daerah, dan santri yang berperan aktif dalam pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.

Melalui penghargaan ini, Ditjen Pendis mendorong sinergi antara pemerintah daerah, pesantren, dan masyarakat untuk memperkuat ekosistem pendidikan Islam yang unggul, moderat, dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Tim Schoolmedia 

Lipsus Selanjutnya
Ruang Demokrasi Menyempit, Forum ASEAN–Uni Eropa Desak Perlindungan Masyarakat Sipil
Lipsus Sebelumnya
Wamendikdasmen Atip Tinjau Progress Pembangunan Unit Sekolah Baru TK dan SMA di Kota Serang

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar