Cari

Ruang Demokrasi Menyempit, Forum ASEAN–Uni Eropa Desak Perlindungan Masyarakat Sipil



Schoolmedia News Kuala Lumpur == Forum Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) ASEAN–Uni Eropa menyerukan peringatan keras: demokrasi di kedua kawasan berada dalam ancaman serius. Ruang kebebasan publik kian menyempit, hukum dijadikan alat represi, dan aktivis—terutama perempuan serta pembela lingkungan—hadapi risiko yang makin berat.

Seruan itu disampaikan dalam ASEAN–EU Civil Society Organisations Forum keempat yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 13–14 Oktober 2025, bersamaan dengan ASEAN–EU Policy Dialogue on Human Rights ke-6. Sebanyak 52 organisasi masyarakat sipil dari Asia Tenggara dan Eropa hadir dalam forum ini, menyerukan agar ASEAN dan Uni Eropa tidak hanya berbicara soal kerja sama ekonomi, tapi juga menegakkan hak asasi manusia dan demokrasi yang mulai rapuh.

Dalam pernyataan bersama, para peserta forum menilai situasi di dua kawasan memasuki masa genting. Hukum yang kian ketat, pengawasan digital, disinformasi, serta impunitas terhadap pelanggaran HAM mempersempit partisipasi publik. Di saat bersamaan, kebangkitan gerakan sayap kanan dan populisme ekstrem memperburuk ancaman terhadap kebebasan sipil dan aktivisme lintas negara.

“Civic space di kedua kawasan terus menurun. Human rights defenders menghadapi risiko yang semakin tinggi,” tulis pernyataan forum.

Kondisi itu membuat banyak organisasi masyarakat sipil hanya menjadi pelengkap, bukan mitra sejajar dalam pembuatan kebijakan. Forum menegaskan, CSO harus diakui sebagai aktor strategis yang berperan penting menjaga demokrasi, hukum, dan keberlanjutan sosial.

Meski situasi memburuk, peserta forum menilai masih ada peluang memperkuat kerja sama berbasis hak asasi manusia. Di antaranya melalui ASEAN Vision 2045, EU Corporate Sustainability Due Diligence Directive, serta rencana Deklarasi ASEAN tentang Hak Lingkungan. Forum menilai dokumen-dokumen tersebut bisa menjadi pintu masuk untuk menanamkan nilai-nilai HAM dalam kerja sama ekonomi dan investasi antar kawasan.

Namun tanpa kemauan politik, peluang itu bisa menjadi jargon belaka. Forum mengingatkan agar ASEAN dan Uni Eropa tidak terjebak pada diplomasi simbolik. “Kerja sama yang sejati menuntut ruang kebebasan yang dijamin, bukan dibatasi,” kata salah satu perwakilan forum dari Malaysia.

Tiga Agenda Mendesak 

Forum tahun ini menyoroti tiga isu utama:

  1. Penyusutan ruang sipil dan krisis demokrasi;

  2. Keterkaitan antara perubahan iklim, hak asasi, dan hak lingkungan;

  3. Akses terhadap keadilan dan pemulihan bagi korban pelanggaran.

Ketiganya dianggap sebagai “perjuangan bersama yang membutuhkan solusi bersama.” Para peserta mendorong ASEAN dan Uni Eropa melembagakan forum CSO sebagai mekanisme tetap untuk memantau dan menilai implementasi komitmen hak asasi manusia dan keberlanjutan.

Forum juga menekankan perlindungan terhadap kelompok rentan—terutama perempuan, penyandang disabilitas, pekerja migran, dan masyarakat adat—yang sering menghadapi hambatan berlapis dalam memperoleh kesetaraan hukum dan partisipasi politik.

Rekomendasi forum mencakup langkah konkret untuk menjamin partisipasi bermakna masyarakat sipil, antara lain:

  • Menetapkan forum ASEAN–EU CSO sebagai mekanisme permanen untuk konsultasi dan pemantauan HAM;

  • Memasukkan indikator HAM ke dalam program kerja sama dan pendanaan ASEAN–Uni Eropa;

  • Menghapus hambatan hukum dan birokrasi yang membatasi akses organisasi akar rumput terhadap sumber daya;

  • Mewajibkan penerapan Human Rights and Environmental Due Diligence bagi korporasi untuk memastikan bisnis yang bertanggung jawab;

  • Menetapkan kebijakan Just Energy Transition yang melindungi masyarakat adat, pembela HAM, dan kelompok rentan.

Di bidang keadilan, forum menyerukan pembentukan mekanisme pengaduan yang transparan di ASEAN dan Uni Eropa agar korban pelanggaran dapat memperoleh pemulihan. Forum juga mendesak kedua kawasan menegakkan independensi peradilan dan memperkuat kerja sama antarlembaga HAM regional.

Sebagai penegasan moral, forum meminta ASEAN dan Uni Eropa menetapkan moratorium resmi terhadap hukuman mati sebagai langkah awal menuju penghapusannya secara penuh.

“Setiap orang berhak atas hidup, kebebasan, dan perlindungan hukum,” tegas pernyataan penutup forum.

Sementara para pejabat ASEAN berbicara tentang visi 2045 dan pembangunan berkelanjutan, masyarakat sipil di lapangan terus berjuang mempertahankan hak-hak dasar yang makin terdesak. Forum ini menjadi pengingat bahwa tanpa ruang kebebasan, demokrasi di kawasan hanya akan menjadi slogan tanpa substansi.

Tim Schoolmedia 

Lipsus Sebelumnya
Pesantren Award 2025: Dari Khofifah hingga Santri Lamongan, Ikhtiar Menguatkan Ekosistem Pendidikan Islam

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar