Cari

Rakyat Menggugat Negara Dari Rempang ke Merauke, Luka di Balik Proyek Strategis Nasional


Schoolmedia News Jakarta == Di bawah payung pembangunan, ruang hidup rakyat kian menyempit. Dari pesisir Rempang hingga rawa-rawa Merauke, kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) meninggalkan jejak penggusuran, kekerasan, dan perampasan hak. Kini, suara mereka mengetuk pintu Mahkamah Konstitusi.

Melalui gugatan konstitusional, Gerakan Rakyat Menggugat Proyek Strategis Nasional (GERAM PSN) menantang dasar hukum kebijakan yang dianggap melegalkan perampasan ruang hidup rakyat.

“Menjaga lingkungan hidup sama artinya dengan menjaga hak asasi manusia dan konstitusi,” tegas Boy Jerry Even Sembiring dengan nada penuh penekanan di halaman Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Senin siang.

Pernyataan itu menggema di tengah langkah-langkah tegas Koalisi Gerakan Rakyat Menggugat Proyek Strategis Nasional (GERAM PSN) yang baru saja menyerahkan dokumen kesimpulan akhir perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025.

Mereka menantang dasar hukum “kemudahan dan percepatan” Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang dinilai menjadi alat legalisasi untuk menyingkirkan hak-hak masyarakat atas tanah dan lingkungan hidup. Gugatan ini, bagi mereka, bukan sekadar perkara hukum — tetapi perlawanan moral rakyat terhadap kekuasaan ekonomi yang kian menggerus ruang hidup.

GERAM PSN, yang terdiri dari puluhan organisasi masyarakat sipil, menghadirkan 165 bukti surat, 6 kesaksian korban, dan 10 ahli dari berbagai bidang hukum, lingkungan, dan ekonomi politik. Mereka juga membawa keterangan dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan, serta 20 surat amicus curiae — dukungan moral dari akademisi dan tokoh publik yang disebut “sahabat peradilan”.

Semua itu adalah upaya membuktikan satu hal: bahwa masalah PSN bukan semata praktik di lapangan, tapi cacat di tingkat norma hukum.

“Dari seluruh rangkaian sidang, kami sudah membuktikan bahwa pasal-pasal yang kami uji memang bermasalah sejak dari norma, bukan hanya soal implementasi,” ujar Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang menjadi motor utama gugatan ini.

Bagi Isnur, norma-norma PSN dalam UU Cipta Kerja telah menciptakan rezim hukum baru yang menempatkan efisiensi ekonomi di atas keadilan ekologis dan hak asasi manusia. Pemerintah, lewat dalih percepatan investasi, memperoleh kewenangan luas untuk mengambil alih wilayah masyarakat tanpa mekanisme persetujuan yang bermakna.

Dalam catatan GERAM PSN, cerita-cerita tragis terus muncul di balik proyek-proyek berlabel PSN.
Di Merauke, seorang warga bernama Vincent Kwipalo dianiaya karena menolak menjual tanah ulayat marganya untuk proyek food estate. Di Rempang, ribuan warga tergusur secara paksa oleh aparat demi pembangunan kawasan industri dan pariwisata.

“Bagi kami, kebijakan yang melegalkan kerusakan lingkungan itu sama saja dengan menghapus hak konstitusional warga,” lanjut Boy Jerry. “Negara tidak boleh memperlemah perlindungan lingkungan hidup atas nama pembangunan.”

Kedua kasus itu, menurut koalisi, menjadi contoh bagaimana PSN membuka jalan bagi pelanggaran HAM berat. Pengambilalihan lahan secara sistematis, disertai kekerasan aparat, telah menimbulkan trauma sosial dan ekologis yang panjang.

“Norma PSN membuat pelanggaran HAM dan hak lingkungan hidup menjadi kebal hukum,” tegas Isnur. “Ini bukan pembangunan, tapi peminggiran sistematis terhadap rakyat.”

Tak hanya di kota-kota besar, dampak PSN juga terasa hingga ke wilayah gambut di Sumatra dan Kalimantan.
“Rakyat di daerah sudah kehilangan ruang hidupnya,” ujar Romes Irawan Putra dari jaringan Pantau Gambut. “Wilayah gambut yang telah terdegradasi habis kini menjadi arena proyek industri, sementara warga harus menanggung ancaman banjir dan kehilangan sumber penghidupan.”

Romes berharap hakim MK berani memutus dengan nurani yang berpihak pada rakyat. “Putusan MK nanti akan menjadi penentu: apakah konstitusi masih berpihak pada manusia dan alam, atau hanya pada modal dan investasi.”

Bagi Busyro Muqoddas, akademisi dan Ketua PP Muhammadiyah Bidang HAM, Hukum, dan Kebijakan Publik, gugatan GERAM PSN adalah ujian besar bagi Mahkamah Konstitusi.
“Kami sangat berharap para hakim memperoleh petunjuk dari Yang Maha Kuasa,” ujar Busyro. “Putusan mereka harus benar-benar pro rakyat Indonesia. Kami yang di lapangan melihat langsung derita mereka — di Rempang, Wadas, Morowali, Ternate, Merauke, dan banyak tempat lain.”

Busyro menilai, PSN telah menjadi simbol otoritarianisme eksekutif, di mana negara memaksakan kehendak pembangunan tanpa melibatkan rakyat. Proses yang seharusnya partisipatif berubah menjadi penetapan sepihak.

Hal senada disampaikan Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia.
“Ini bukan hanya gugatan organisasi sipil atau individu,” katanya. “Ini adalah permohonan rakyat Indonesia untuk menuntut keadilan atas praktik otoriter yang mengabaikan hak-hak dasar warga negara.”

Sejak diperkenalkan pada 2016, konsep Proyek Strategis Nasional dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan investasi. Namun, di balik jargon “kemudahan” dan “percepatan”, GERAM PSN melihat adanya konsentrasi kekuasaan pada pemerintah pusat.

PSN memungkinkan pengambilalihan lahan secara cepat, dengan berbagai pengecualian dari aturan normal, termasuk izin lingkungan, konsultasi publik, dan persetujuan masyarakat adat.

“Norma PSN telah menyimpang dari prinsip negara hukum,” kata Isnur. “Ia menimbulkan ketimpangan struktural antara warga dan korporasi. Hukum tidak boleh menjadi alat legitimasi perampasan ruang hidup.”

Kini, perjuangan GERAM PSN tak berhenti di ruang sidang. Mereka mengajak publik luas untuk ikut bersolidaritas. Sebuah petisi daring dibuka melalui platform Change.org, dengan tautan https://chng.it/zDbTtmjvc , sebagai bentuk dukungan moral terhadap gugatan konstitusional ini.

“Perjuangan hukum tidak akan berarti tanpa dukungan rakyat,” ujar Edy K., anggota tim hukum YLBHI yang menjadi narahubung GERAM PSN. “Petisi ini adalah cara rakyat menegaskan bahwa pembangunan sejati adalah yang memuliakan manusia dan alam.”

Mahkamah Konstitusi kini menjadi panggung terakhir bagi rakyat yang merasa tersisih dari proyek-proyek besar. Putusan perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 akan menentukan arah kebijakan pembangunan Indonesia ke depan — apakah tetap berorientasi pada percepatan ekonomi, atau kembali pada prinsip keadilan sosial dan ekologis sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Bagi GERAM PSN, apapun hasilnya nanti, perjuangan ini bukan sekadar menggugat undang-undang. Ini adalah perlawanan untuk mengembalikan martabat rakyat, hak atas tanah, dan hak untuk hidup di lingkungan yang sehat.

“Negara seharusnya hadir untuk melindungi, bukan menggusur,” kata Boy Jerry di akhir wawancara. “Kami hanya ingin mengingatkan: pembangunan tanpa keadilan adalah perusakan yang dilegalkan.”

Dari luar gedung Mahkamah Konstitusi, puluhan aktivis dari berbagai daerah berdiri sambil membawa poster bertuliskan “Rakyat Bukan Penghalang Pembangunan” dan “Lingkungan Bukan Korban Investasi.”

Di balik spanduk-spanduk itu, ada wajah-wajah yang kehilangan tanah, rumah, dan masa depan. Tapi di mata mereka juga menyala harapan — bahwa hukum, setidaknya sekali saja, akan berpihak pada rakyat kecil.

“Jika MK mendengar suara kami,” ujar seorang warga Rempang yang hadir diam-diam di antara massa, “maka mungkin masih ada arti dari kata ‘keadilan’ di negeri ini.”

Tim Schoolmedia

Lipsus Selanjutnya
Tamparan Konstitusional untuk Pemerintah, MK Pulihkan Pengawasan Independen ASN
Lipsus Sebelumnya
Mengubah Ruang Kelas PAUD Dari Pasif Menjadi Interaktif Sebuah Niscayaan

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar