PAUDPEDIA === Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Muti, baru-baru ini menyampaikan bahwa Sekolah Rakyat akan menerapkan pendekatan Multi-Entry Multi-Exit (MEME).
Sistem ini digadang-gadang memberi fleksibilitas bagi murid untuk memulai dan menyelesaikan studi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Materi pelajaran akan dikemas dalam bentuk modul, bukan kurikulum linier seperti sekolah formal, sehingga murid bisa menempuh jalur belajar berbeda satu sama lain.
Secara teoritis, gagasan ini memang sejalan dengan tren global pendidikan fleksibel dan personalized learning. Anak tidak dipaksa menuntaskan pelajaran secara seragam, melainkan diberi ruang untuk maju sesuai kapasitas. Namun, jika ditelaah lebih jauh, kebijakan ini menyimpan sejumlah persoalan fundamental.
Pendekatan MEME berpotensi memperlebar jurang kesenjangan antar siswa. Murid dengan dukungan keluarga dan lingkungan yang baik bisa lebih cepat menyelesaikan modul, sementara mereka yang berasal dari keluarga miskin atau minim fasilitas akan tertinggal jauh. Alih-alih memperluas akses belajar, sistem ini justru bisa melanggengkan ketidaksetaraan.
Dalam acara pembekalan guru dan kepala Sekolah Rakyat di Jakarta, Jumat (22/8), Mendikdasmen menyebut bahwa 970 guru dan 55 kepala sekolah sedang dipersiapkan untuk menjalankan sistem baru ini. Namun, beban yang mereka hadapi akan berlipat ganda. Guru dituntut merancang pembelajaran berbeda bagi setiap murid, melakukan asesmen personal, dan memastikan ketercapaian modul. Pertanyaannya: apakah kapasitas guru di lapangan siap menghadapi model pembelajaran sekompleks itu, sementara pelatihan baru sebatas formalitas?
Salah satu fungsi sekolah adalah membangun kebersamaan dalam belajar, menumbuhkan disiplin, serta solidaritas antar siswa. Jika sistem MEME terlalu ditekankan pada individualitas, maka ruang interaksi kolektif berkurang. Anak bisa kehilangan kesempatan belajar bersama, berdiskusi, atau berkompetisi sehat dengan teman sebaya. Pendidikan pun bisa terjebak dalam logika pasar: yang cepat menang, yang lambat semakin tertinggal.
Sekolah Rakyat diklaim mengadopsi kurikulum formal, tetapi disajikan dalam bentuk modul. Dalam praktiknya, modularisasi seringkali membuat pelajaran lebih dangkal, sekadar memenuhi unit-unit kecil, tanpa keterhubungan mendalam antar mata pelajaran. Padahal, salah satu kritik terbesar terhadap pendidikan Indonesia saat ini adalah rendahnya keterpaduan pengetahuan.
Pendekatan MEME sejatinya masih baru di Indonesia. Menggunakannya langsung dalam skala besar pada Sekolah Rakyat berisiko menjadikan ribuan anak sebagai kelinci percobaan kebijakan. Tanpa riset mendalam, simulasi terbatas, dan evaluasi komprehensif, kebijakan ini rentan gagal di lapangan.
Lebih lanjut, Mendikdasmen menjelaskan bahwa kurikulum Sekolah Rakyat dirancang untuk memberikan kemampuan praktis dan keahlian yang disesuaikan dengan kondisi sosial maupun lingkungan tempat tinggal murid. Selain itu, para murid dapat mengasah kemampuan yang memungkinkan mereka melanjutkan studi atau langsung bekerja setelah lulus.
Abdul Muti juga menekankan pentingnya hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi yang hadir melalui pengalaman belajar sehari-hari di lingkungan sekolah.
Hidden curriculum bermakna bahwa semua pengalaman yang diperoleh selama murid belajar di Sekolah Rakyat adalah bagian tak terpisahkan dari kurikulum, katanya.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengapresiasi langkah Kemendikdasmen yang dinilai tepat waktu dalam menyiapkan kurikulum serta menyeleksi kepala sekolah dan guru. Ia menilai kolaborasi lintas sektor menjadi kunci agar program Sekolah Rakyat berjalan dengan baik.
Ketua Tim Formatur Sekolah Rakyat, Muhammad Nuh, menambahkan bahwa keberhasilan Sekolah Rakyat sangat dipengaruhi oleh pemetaan talenta murid, guru, dan kepala sekolah.
Ada korelasi yang sangat kuat antara gaya belajar, guru, dan murid. Ada juga korelasi dengan latar belakang pendidikan. Ini menjadikan kita optimis untuk mengantarkan Sekolah Rakyat jauh lebih sukses lagi, ujarnya.
Di sisi lapangan, para guru pun menyuarakan pandangannya. Guru Bimbingan dan Konseling SRMP 27 Banjarnegara, Fiatul Huuriyyah, menuturkan bahwa kesiapan mental menjadi bekal utama dalam menghadapi anak-anak dengan latar belakang beragam.
Harapannya, Sekolah Rakyat ke depannya tepat sasaran untuk membantu anak-anak dari keluarga miskin menempuh pendidikan yang layak, katanya.
Senada, Guru Bahasa Inggris SRMP 27 Banjarnegara, Amelya Baiti Nuraini, berharap program ini benar-benar sesuai dengan tujuannya. Kami berharap Sekolah Rakyat mampu mengentaskan kemiskinan melalui pendidikan, ungkapnya.
Meski sarat apresiasi, pendekatan MEME dalam Sekolah Rakyat menyimpan problem mendasar:
-
Risiko Ketidakmerataan Mutu Belajar Murid dengan dukungan lebih baik akan melaju cepat, sementara yang miskin fasilitas berisiko tertinggal.
-
Beban Berat bagi Guru Guru dituntut menyesuaikan pembelajaran bagi setiap murid. Pertanyaannya: apakah pelatihan singkat cukup membekali mereka?
-
Ancaman pada Kohesi Sosial Fokus berlebih pada individualitas bisa mengikis pengalaman belajar kolektif yang esensial di sekolah.
-
Potensi Dangkalnya Kurikulum Modularisasi sering membuat pembelajaran terfragmentasi, tanpa kedalaman konsep dan keterpaduan antar mata pelajaran.
-
Uji Coba Kebijakan Mengimplementasikan MEME secara luas tanpa pilot project bisa menjadikan ribuan anak sebagai ââ¬Åkelinci percobaanââ¬Â kebijakan.
Sekolah Rakyat dengan pendekatan MEME jelas menawarkan inovasi, tetapi antara idealisme dan realitas lapangan terdapat jurang besar. Jika pemerintah tidak hati-hati, kebijakan ini justru berpotensi menambah kesenjangan pendidikan.
Meskipun Mendikdasmen, Mensos, hingga tim formatur menaruh harapan besar, yang paling penting adalah mengawal kebijakan ini dengan riset, evaluasi, dan pendampingan nyata bagi guru serta murid. Tanpa itu, Sekolah Rakyat bisa berakhir hanya sebagai proyek ambisius yang lebih banyak meninggalkan masalah daripada solusi.
Penerapan MEME di Sekolah Rakyat memang terdengar progresif di permukaan, tetapi di baliknya tersimpan banyak tantangan. Pemerintah perlu menjawab pertanyaan mendasar: apakah tujuan utama kebijakan ini benar-benar untuk pemerataan akses pendidikan, atau sekadar inovasi kosmetik yang tampak modern namun sulit dijalankan?
Daripada terburu-buru, lebih baik pemerintah mengawalinya dengan pilot project kecil, disertai evaluasi berbasis data dan suara dari guru, murid, serta orang tua. Pendidikan tidak boleh hanya menjadi arena eksperimen kebijakan, melainkan harus sungguh-sungguh menjamin masa depan anak bangsa.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar