Schoolmedia News Jakarta == Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) kembali menggelar acara berskala nasional bertajuk Sinergi Temu Komunitas Nasional untuk Penguatan Pendidikan Karakter pada 21 - 22 Agustus 2025 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.
Acara yang dihadiri 50 perwakilan organisasi lintas agama, profesi, dan komunitas ini diklaim sebagai wujud komitmen pemerintah dalam memperkuat pendidikan karakter demi menyongsong Indonesia Emas 2045.
Kepala Puspeka, Rusprita Putri Utami, menegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan cita-cita besar yang membutuhkan dukungan Catur Pusat Pendidikan: keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan media. Senada, Staf Khusus Mendikdasmen Bidang Pembelajaran dan Sekolah Unggul, Arif Jamali, menyebut pendidikan karakter sebagai perjuangan panjang dan jalan sunyi yang tidak bisa ditangani kementerian seorang diri.
Namun, di balik jargon dan optimisme itu, pertanyaan kritis muncul: sejauh mana kegiatan seremonial semacam ini benar-benar berdampak pada murid, guru, dan orang tua di akar rumput?
Pendidikan karakter memang penting, tetapi publik masih sering menemukan kesenjangan antara narasi besar pemerintah dan praktik nyata di lapangan. Program-program seperti Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat atau Program Pagi Ceria terdengar ideal, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada konsistensi pelaksanaan, terutama peran orang tua dan masyarakat. Di sinilah letak persoalan tanpa sistem pendukung yang jelas, kebijakan hanya berhenti sebagai slogan.
Pendidikan karakter tidak bisa digerakkan hanya lewat forum hotel berbintang. Anak-anak membutuhkan teladan, pendampingan nyata, dan lingkungan yang mendukung setiap hari, ujar seorang pemerhati pendidikan yang hadir sebagai undangan.
Kritik juga diarahkan pada pemilihan lokasi dan pola acara yang cenderung eksklusif. Menggelar kegiatan di hotel mewah dengan jumlah peserta terbatas menimbulkan kesan bahwa penguatan karakter masih menjadi proyek elitis. Padahal, ribuan sekolah masih bergulat dengan masalah mendasar: kekurangan guru, minimnya fasilitas sanitasi, hingga rendahnya literasi digital.
Ironisnya, pesan tentang kesederhanaan, gotong royong, dan kebersamaan justru disampaikan di ruang-ruang rapat yang jauh dari keseharian mayoritas sekolah di pelosok.
Puspeka juga meluncurkan platform Siap Bersama untuk mendorong tata kelola kolaborasi yang lebih transparan. Namun, belum ada jaminan bahwa platform ini akan digunakan secara efektif oleh sekolah dan komunitas di daerah. Banyak inisiatif digital pemerintah sebelumnya terbukti berhenti sebagai etalase tanpa partisipasi berarti dari pengguna.
Selain itu, gagasan menjadikan pendidikan karakter sebagai prasyarat menuju Indonesia Emas 2045 terdengar mulia, tetapi tanpa indikator capaian yang terukur, publik sulit menilai apakah ada kemajuan nyata atau sekadar pengulangan retorika.
Temu Komunitas Nasional ini tentu memiliki nilai positif sebagai ruang dialog. Namun, yang dibutuhkan pendidikan Indonesia bukan sekadar ruang wacana, melainkan langkah konkret yang dirasakan langsung oleh guru, siswa, dan orang tua. Jika tidak, pendidikan karakter akan terus menjadi jalan sunyi bukan karena keseriusan, tetapi karena terasing dari realitas kehidupan sehari-hari.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar