Salah satu kreativitas siswa SMK bidang Tata Busana dalam ajang Lomba Kompetensi Siswa (LKS) SMK tahun 2019 di Yogyakarta, Foto: Kemdikbud
SCHOOLMEDIA NEWS, Yogyakarta - Fashion Technology atau Teknologi Tata Busana menjadi salah satu bidang lomba favorit dalam Lomba Kompetensi Siswa (LKS) SMK. Sejak tahun 2006, Indonesia bahkan selalu meraih medali emas untuk Fashion Technology dalam ajang keterampilan internasional, World Skills Competition (WSC).
Juri LKS 2019, Nathanael Suryadi, menyatakan keyakinannya akan potensi anak-anak Indonesia di bidang Fashion Technology. Ia menjelaskan, keterampilan para siswa SMK dalam LKS dari tahun ke tahun sangat berkembang dengan ragam kreativitas mereka masing-masing.
"Alhamdulillah anak-anak banyak sekali yang bisa mengerjakan. Ini bukti bahwa perkembangan sistem pendidikan di bidang tata busana di seluruh SMK di Indonesia mulai membuahkan hasil. Menurut saya apa yang didapat oleh anak-anak ini di luar ekspektasi kami juga. Ternyata hasilnya luar biasa. Jadi saya sangat berterima kasih kepada guru-guru seluruh Indonesia. Mereka bekerja keras untuk perjuangan di LKS," ujar Nathanael di Jogja Expo Center, Yogyakarta, Rabu, 10 Juli 2019.
Baca juga: Ajang Kompetensi Siswa SMK Jadi Magnet Pelajar di Yogyakarta
Menurutnya, ajang LKS berhasil menunjukkan kemajuan para siswa SMK di bidang tata busana. Iaa yakin siswa SMK ini akan memeriahkan dunia tata busana nasional ke depannya.
"Saya mempunyai keyakinan bahwa anak-anak inilah nanti pemain-pemain di dalam bisnis atau perkembangan usaha di industri fesyen di Tanah Air," katanya.
Dalam LKS 2019 bidang lomba Fashion Technology, peserta diberikan tugas untuk menyelesaikan lima modul dengan tema baju muslim untuk bekerja di kantor.
Modul pertama membuat pola, modul kedua membuat desain, dan modul ketiga mengerjakan draping untuk membuat jilbab. Draping adalah istilah dalam dunia tata busana, yaitu teknik pembuatan pola dasar yang dikerjakan langsung pada dressform atau manekin. Pengertian lain dari draping adalah teknik menata kain tanpa menggunakan teknik menggunting pola dan jahit.
Kemudian modul keempat adalah membuat sketsa/drawing, dan modul kelima memberikan ragam hias pada desain yang dibuat di modul pertama dan kedua.
Nathanael mengatakan, dalam memberikan penilaian, juri melihat kemampuan peserta dalam membaca tren busana muslim dan bagaimana mereka mengerjakan atau menyajikannya dalam desain yang sesuai dgn kreativitas dan teknik yang dikuasai peserta.
"Kita nilai juga ketepatan mereka dalam melalukan pengukuran dan pembuatan pola. Karena dengan berbagai modifikasi dan variasi baju yang mereka buat tentu menuntut teknik-teknik tertentu. Oleh sebab itu anak-anak ini dalam pembuatan pola harus mengerjakan ukuran yang diambil dari patung, kemudian mereka mengerjakan dengan berbagai jenis mesin yang kita siapkan," katanya.
Ia menuturkan, dalam bidang lomba Fashion Technology, peserta bisa membuat dress, rok, atau manset khusus baju muslim. Karena itu ketepatan dalam pengerjaan sesuai dengan teknik dan keragaman pakaian yang dihasilkan menjadi penilaian juri.
"Jadi kalau mereka membuat tiga macam, misalnya ada rok, atasan, dan blazer, maka kita lihat keragaman di dalam proses desainnya seperti apa. Dia bisa berkreasikah atau monoton? Jadi kreativitas mereka itu benar-benar dieksplor," tutur Nathanael.
Baca juga: Sediakan Lahan 8 Ha, SMK Buka Usaha Perkebunan untuk Praktik Siswa
Untuk mengerjakan semua modul dan penugasan, peserta diberikan total waktu 18 jam yang dibagi ke dalam tiga hari pelaksanaan lomba, yakni pada 9 hingga 11 Juli 2019. Kemudian, untuk test project modul 1 dan 2 diberikan waktu selama 14 jam, mulai dari desain, mengukur, membuat pola, hingga menjadi sebuah baju. Pada modul 3, peserta diberikan waktu 30 menit karena hanya draping jilbab. Untuk modul desain ilustrasi atau sketsa/drawing, kata Nathanael, diberikan waktu selama 1,5 jam, dan untuk ragam hias diberikan waktu 2 jam.
Standar penilaian dalam LKS mengikuti standar kompetisi internasional, yakni World Skills Competition (WSC). Tidak hanya penilaian, standar soal pun dibuat mengikuti standar WSC.
"Jadi kami selalu mengikuti test project-nya WSC dan standar penilaiannya pun mengikuti WSC," ujar Nathanael yang juga menjadi juri di WSC sejak tahun 2005.
Juri dalam LKS memang berasal dari berbagai latar belakang. Di bidang lomba Fashion Technology terdapat lima juri. Selain Nathanael, dua orang lainnya berasal dari perwakilan industri dan dua orang lagi berlatar belakang akademisi.
"Jadi daya pandang dari masing-masing juri berpengaruh untuk bagaimana saling melengkapi nilai yang diberikan para juri," katanya.
Tinggalkan Komentar