
Schoolmedia News Jakarta == Di tengah gelap malam yang masih menyisakan hujan rintik dari cuaca ekstrem sehari sebelumnya, deru mesin perahu karet Basarnas terdengar memecah keheningan aliran sungai yang meluap di Kota Sibolga, Sumatera Utara. Lampu sorot menyorot permukaan air cokelat pekat, sementara beberapa petugas berdiri tegak, mata mereka tak lepas dari reruntuhan rumah warga yang ambruk terseret banjir bandang.
Sudah lebih dari 24 jam tim SAR gabungan bergerak tanpa henti. Banjir dan tanah longsor yang melanda Sibolga serta sejumlah kabupaten di kawasan Tapanuli Raya ini menjadi salah satu bencana hidrometeorologi terbesar di Sumatra Utara dalam beberapa tahun terakhir. Data terbaru menunjukkan setidaknya 47 orang meninggal, sementara lebih dari 2.800 warga mengungsi ke berbagai titik darurat. Jumlah warga hilang juga dilaporkan terus bertambah, seiring banyak keluarga baru bisa melapor setelah akses komunikasi pulih.
Di lapangan, operasi penyelamatan berjalan dengan berbagai kendala. Material longsor menutup jalan-jalan utama, sementara derasnya arus banjir menghambat tim untuk menembus beberapa desa yang masih terisolasi.
âSeluruh potensi SAR sudah digerakkan sejak dini hari. Fokus utama kami adalah pencarian warga yang hilang dan evakuasi mereka yang masih terjebak di rumah ataupun yang tertimbun material longsor,â kata Kepala Kantor SAR Nias, Putu Arga Sudjarwadi, saat dikonfirmasi Rabu malam.
Ia menuturkan, tim menghadapi medan yang sangat menantang. Jalan menuju beberapa desa di Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan putus total. Akses menuju wilayah perbukitan terjalam lumpuh karena tebing longsor. Aliran banjir di perkotaan Sibolga bahkan masih setinggi pinggang orang dewasa, memaksa aparat mengandalkan perahu karet dan tali selamat untuk menembus pemukiman yang berubah menjadi genangan luas.
Di sebuah dusun di Kecamatan Sarudik, sekelompok warga tampak menunggu di atap rumah menanti evakuasi. Mereka sudah bertahan lebih dari sepuluh jam tanpa listrik dan persediaan makanan. âAir naik cepat sekali. Kami tidak sempat menyelamatkan apa pun,â ujar Roslina, seorang ibu rumah tangga yang akhirnya dievakuasi bersama tiga anaknya ke GOR setempat.
GOR dan sekolah kini menjadi lokasi pengungsian darurat. Ratusan warga tidur beralas tikar tipis. Bau lembap dari baju-baju basah memenuhi ruangan, dan anak-anak tampak menggigil karena udara malam yang menusuk. Relawan sibuk mengatur distribusi makanan siap saji, sementara petugas kesehatan memeriksa warga yang mengeluh demam dan luka-luka ringan.
Namun kondisi pengungsian masih jauh dari ideal. Kekurangan pasokan air bersih mulai dirasakan sejak pagi. Di beberapa titik pengungsian, fasilitas sanitasi tidak mampu menampung jumlah warga yang terus berdatangan. Pengungsi yang baru tiba harus bergantian menggunakan toilet darurat, sementara sebagian lainnya memilih mandi di sungai yang alirannya sudah tercemar lumpur.
âKami hanya membawa pakaian di badan. Rumah kami hancur. Anak-anak ketakutan setiap mendengar suara hujan,â kata Marto, warga Tapanuli Selatan yang menempati pengungsian di aula sekolah.
Selain persoalan logistik, masalah kesehatan mulai muncul. Banjir yang belum surut membuka risiko penyakit kulit, infeksi saluran pernapasan, hingga diare. Petugas medis bekerja dengan peralatan terbatas. Mereka membagikan obat-obatan dasar sambil mencoba menenangkan pengungsi yang masih trauma oleh kejadian sehari sebelumnya.
Sementara itu, di Kecamatan Barus dan Manduamas, sejumlah desa belum bisa diakses dari jalur darat. Basarnas dan BPBD melakukan penelusuran melalui jalur sungai, namun tim gabungan mengakui masih sulit memastikan jumlah warga yang belum terjangkau.
Di tengah situasi itu, kabar duka terus berdatangan. Di Tapanuli Selatan, tim menemukan puluhan rumah rusak berat tersapu banjir bandang. Dalam proses pencarian, beberapa jenazah berhasil ditemukan tertimbun lumpur dan reruntuhan. Di wilayah lain, jenazah ditemukan tersangkut di pepohonan di tepi sungai.
Data dari beberapa posko gabungan mencatat setidaknya 47 orang meninggal, namun angka ini masih bisa bertambah. Di Tapanuli Selatan saja, delapan orang tercatat meninggal, puluhan luka-luka, dan lebih dari 2.851 orang mengungsi. Ratusan rumah rusak dan puluhan fasilitas publik lumpuh, termasuk jembatan penghubung antardesa.
Hujan yang masih mengguyur dan prediksi cuaca ekstrem dalam beberapa hari ke depan membuat situasi semakin rawan. Potensi longsor susulan dan luapan sungai menjadi ancaman nyata bagi warga dan tim SAR. Pemerintah daerah mengeluarkan imbauan agar warga yang tinggal di lereng bukit atau bantaran sungai segera mengungsi, meski sebagian masih enggan meninggalkan rumah karena khawatir harta benda mereka hilang.
âBencana ini tidak hanya soal korban jiwa. Kami menghadapi dampak sosial yang besar: ribuan warga kehilangan rumah, mata pencaharian mereka musnah, dan akses ekonomi terputus,â ujar seorang pejabat BPBD Sumatra Utara di posko koordinasi Sibolga.
Di salah satu sudut GOR pengungsian, anak-anak duduk melingkar, sebagian mencoba memejamkan mata, sebagian lainnya menangis minta pulang. Namun âpulangâ belum menjadi pilihan. Rumah mereka mungkin hilang, rusak, atau masih terkepung banjir.
Di luar gedung pengungsian, hujan kembali turun. Petugas SAR yang baru saja turun dari lokasi pencarian mengganti sepatu bot mereka, bersiap kembali ke medan. Operasi pencarian dipastikan berlangsung sepanjang malam. Di tengah ketidakpastian dan duka yang belum berhenti, satu hal yang pasti: upaya penyelamatan harus terus berjalan.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar