Cari

Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto Dikecam: YLBHI Sebut Rezim Prabowo Nir Etika dan Mengkhianati Reformasi



Schoolmedia News Jakarta ==  Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam keras keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Jenderal (Purn) Soeharto. Dalam pernyataan resminya, YLBHI menilai keputusan tersebut sebagai bentuk kemunduran moral dan politik yang mencederai semangat reformasi serta menodai nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

“Pemberian gelar Pahlawan kepada Soeharto semakin membuktikan bahwa pemerintahan Prabowo nir etika, merusak hukum dan hak asasi manusia, tak peduli dengan upaya pemberantasan korupsi, serta merendahkan nilai-nilai kepahlawanan,” demikian pernyataan YLBHI yang diterima redaksi, Senin (10/11).

YLBHI menyebut, pemberian gelar kepada Soeharto sudah lama diduga akan tetap dipaksakan meskipun terdapat conflict of interest yang jelas. Menurut lembaga tersebut, keputusan itu bukan hanya pengkhianatan terhadap para korban pelanggaran HAM di masa Orde Baru, tetapi juga terhadap semangat reformasi yang melahirkan Indonesia pasca-1998.

“Gelar ini hanya layak diberikan kepada mereka yang benar-benar berjuang untuk kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, dan kedaulatan rakyat — bukan kepada pemimpin yang masa jabatannya diwarnai oleh otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia rakyatnya,” tegas YLBHI.

Bertentangan Dengan Prinsip Penegakan HAM 

YLBHI menegaskan, keputusan pemerintah bertentangan dengan berbagai dasar hukum dan keputusan negara yang justru mengakui adanya pelanggaran berat di masa pemerintahan Soeharto.
Dalam siaran persnya, lembaga itu mengutip Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 yang menyebut negara telah mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat di sejumlah peristiwa yang berlangsung di era Orde Baru, di antaranya:

  1. Tragedi 1965–1966

  2. Penembakan Misterius 1982–1985

  3. Peristiwa Talangsari, Lampung (1989)

  4. Kekerasan di Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh (1989)

  5. Penghilangan orang secara paksa (1997–1998)

  6. Kerusuhan Mei 1998

  7. Tragedi Trisakti dan Semanggi I (1998)

Selain itu, YLBHI juga mengingatkan bahwa TAP MPR X/1998 telah menilai pemerintahan Orde Baru sebagai rezim yang menyimpang dan penuh penyalahgunaan wewenang, serta mengabaikan keadilan rakyat. Sedangkan TAP MPR XI/1998 secara tegas menyebut bahwa pemerintahan Soeharto sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

YLBHI juga menyinggung putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015 yang menyatakan Yayasan Supersemar dan Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada negara sebesar US$ 315 juta dan Rp 139,4 miliar — setara dengan sekitar Rp 4,4 triliun saat itu.

Luka Lama Belum Pulih

YLBHI menilai, langkah pemerintah justru mengabaikan jutaan korban pelanggaran HAM di masa Orde Baru yang hingga kini belum memperoleh keadilan. Dalam pandangan mereka, gelar pahlawan bagi Soeharto berarti menormalisasi kekuasaan yang menindas rakyat dan melanggengkan impunitas terhadap kejahatan negara.

“Pemberian gelar ini adalah pengaburan sejarah yang berbahaya bagi generasi muda,” tulis YLBHI. “Ia menghapus jejak penderitaan rakyat, menggantinya dengan narasi palsu tentang kepahlawanan seorang diktator.”

YLBHI juga menyinggung dampak luas dari praktik ekonomi politik di masa Soeharto, yang menurut mereka meninggalkan warisan ketimpangan struktural hingga hari ini. Yayasan-yayasan keluarga Soeharto disebut menjadi instrumen monopoli sumber daya, perampasan tanah, dan penguasaan ekonomi yang menyebabkan kesenjangan sosial.

“Bahkan urusan pangan rakyat pun dimonopoli lewat yayasan keluarga Soeharto — dari terigu hingga mie instan yang menyingkirkan makanan bergizi alami buatan desa,” ungkap YLBHI dalam pernyataannya.

Lebih jauh, YLBHI menyebut langkah Presiden Prabowo sebagai bukti bahwa pemerintah saat ini tidak memiliki komitmen terhadap supremasi hukum dan nilai-nilai reformasi. Lembaga ini menilai rezim Prabowo semakin menjauh dari prinsip konstitusi UUD 1945 dan semangat keadilan sosial.

“Keputusan ini menandai kemunduran etika dan moral negara. Ia menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo bukan hanya mengkhianati cita-cita reformasi, tetapi juga menyakiti rakyat yang menjadi korban kekuasaan Orde Baru,” tulis YLBHI.

YLBHI mendesak agar keputusan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dibatalkan dan pemerintah kembali menghormati proses sejarah bangsa. Lembaga ini menegaskan bahwa penghormatan terhadap pahlawan harus berdasarkan nilai perjuangan kemanusiaan, bukan pada jasa politik yang diselimuti pelanggaran dan kekuasaan absolut.

“Pahlawan adalah mereka yang memperjuangkan rakyat, bukan mereka yang menindas rakyatnya,” tegas YLBHI dalam penutup pernyataannya.

Keputusan pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto memicu polemik di kalangan masyarakat sipil. Sejumlah organisasi hak asasi manusia dan aktivis reformasi disebut tengah menyiapkan langkah hukum dan kampanye publik sebagai bentuk penolakan terhadap keputusan tersebut.

Tim Schoolmedia

Berita Selanjutnya
Meski Penuh Pertentangan dan Kontroversi 10 Pahlawan Nasional Ditetapkan Presiden
Berita Sebelumnya
Kemendikdasmen Berikan Layanan Psikososial untuk Pemulihan Fisik dan Mental Murid SMA Negeri 72

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar