Schoolmedia News Semarang == Aula Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Jawa Tengah siang itu penuh sesak. Puluhan kepala sekolah, guru, komunitas pendidikan, hingga perwakilan orang tua duduk mendengarkan paparan para pejabat Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).
Melalui Pusat Penguatan Karakter (Puspeka), kementerian ini kembali menegaskan komitmennya: membangun karakter anak bangsa lewat sinergi âCatur Pusat Pendidikanââsekolah, keluarga, masyarakat, dan media.
Namun, di balik semangat dan jargon yang digaungkan, pertanyaan besar menggantung: seberapa serius dan konsisten pemerintah dalam menjawab tantangan karakter generasi muda yang semakin kompleks?
Kepala Puspeka, Rusprita, menekankan pentingnya 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (7KAIH) sebagai pondasi pembentukan karakter. Nilai seperti disiplin, empati, menghargai waktu, menjaga kesehatan, hingga semangat belajar, dikemas sebagai solusi menghadapi fenomena âgenerasi strawberryâ, adiksi gawai, hingga budaya âmagerâ.
âEnergi besar anak-anak harus diarahkan pada kegiatan positif, seperti Senam Anak Indonesia Hebat atau ekstrakurikuler. Itu akan membentuk karakter sekaligus meningkatkan soft skill dan rasa percaya diri,â ujarnya optimistis.
Namun, narasi ini menimbulkan kritik. Banyak guru dan pemerhati pendidikan menilai program karakter sering berhenti pada slogan. Di lapangan, sekolah masih menghadapi problem klasik: beban kurikulum yang padat, minimnya fasilitas ekstrakurikuler, hingga guru yang lebih disibukkan dengan administrasi ketimbang pembinaan karakter.
Rusprita juga menyinggung peran media sebagai bagian Catur Pusat Pendidikan. Media, katanya, menjadi sumber pembelajaran sekaligus pembentuk perilaku anak. Namun justru di titik inilah muncul ironi.
Dalam realitasnya, pemerintah sendiri belum mampu memberi regulasi tegas atas banjir konten digital yang merusak karakter anak. Mulai dari tontonan kekerasan, ujaran kebencian, hingga banjir hoaksâsemua bebas diakses tanpa pengawasan memadai. Lalu bagaimana mungkin media bisa menjadi mitra pendidikan karakter jika pemerintah gagal mengontrol ekosistem digital?
Kepala Bidang Advokasi Penguatan Karakter, Agus Muhammad, menyebut kegiatan ini sebagai langkah menuju pendidikan inklusif, beragam, dan berkarakter. Tetapi isu inklusivitas di dunia pendidikan masih jauh dari selesai.
Data terbaru menunjukkan kasus perundungan di sekolah meningkat, diskriminasi terhadap siswa difabel masih sering terjadi, dan fasilitas untuk pendidikan khusus di daerah belum memadai. Alih-alih menjadi ruang aman, sekolah justru kerap mereproduksi ketidaksetaraan sosial.
Kegiatan fasilitasi ini memang berhasil mengumpulkan berbagai unsur: dari kepala sekolah, organisasi keagamaan, komunitas orang tua, hingga media. Namun pertanyaan mendasarnya tetap sama: apakah sinergi itu akan berlanjut pada aksi nyata, atau hanya berhenti di forum-forum seremonial?
Kritik tajam datang dari pengamat pendidikan independen. Mereka menilai program penguatan karakter seharusnya tidak hanya berbentuk kampanye nilai atau â7 kebiasaan hebatâ. Yang dibutuhkan adalah kebijakan struktural: kurikulum yang realistis, penguatan kapasitas guru, regulasi digital yang melindungi anak, serta budaya sekolah yang betul-betul sehat.
7KAIH Jangan Sekadar Jargon
Pendidikan karakter bukan sekadar soal jargon atau serangkaian kegiatan formal. Ia adalah kerja panjang yang menuntut konsistensi, dukungan anggaran, dan keberanian untuk melakukan perubahan sistemik.
Pertanyaan yang tersisa untuk Kemendikdasmen: apakah âCatur Pusat Pendidikanâ hanya akan menjadi jargon indah, atau sungguh menjadi gerakan nyata yang menembus kelas-kelas, ruang keluarga, hingga layar gawai anak-anak Indonesia?
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar