Cari

Peringatan Hari Kanker Leher Rahim Sedunia, Peran Media Melawan Misinformasi Kesehatan Ditingkatkan


Schoolmedia News Jakarta — Di tengah derasnya arus informasi dan percepatan teknologi kecerdasan buatan (AI), ruang publik kian dipenuhi konten kesehatan yang belum tentu benar. Pada momentum Hari Kanker Leher Rahim Sedunia, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan, mengingatkan bahwa “perang terbesar” melawan kanker serviks tidak hanya berlangsung di fasilitas kesehatan, melainkan juga di lanskap informasi digital.

“Dalam pencegahan kanker serviks atau kanker leher rahim, peran media sangat penting untuk menghadirkan pemberitaan kesehatan yang akurat, empatik, dan berbasis bukti ilmiah,” ujar Veronica Tan dalam kegiatan MSD Journalism Program: Lawan Misinformasi Kanker Leher Rahim di Era AI, di Jakarta, Minggu (17/11). Menurutnya, misinformasi seputar imunisasi HPV, deteksi dini, hingga pengobatan, kerap menimbulkan ketakutan yang menghambat upaya eliminasi kanker leher rahim di Indonesia.

Peringatan Hari Kanker Leher Rahim Sedunia tahun ini, kata Wamen PPPA, menjadi peluang untuk menyoroti kembali persoalan mendasar: bukan hanya keterbatasan layanan, tetapi keterbatasan masyarakat dalam mengakses informasi kesehatan yang benar. “Faktanya, kanker serviks dapat dicegah sepenuhnya melalui imunisasi HPV dan deteksi dini. Namun di tengah perkembangan AI, risiko hoaks yang menimbulkan kebingungan makin meningkat. Di sinilah media berperan,” katanya.

Ancaman Nyata di Indonesia

Indonesia menjadi salah satu negara dengan beban kanker serviks tertinggi di Asia. Data World Health Organization (WHO) dan UNFPA menunjukkan sekitar 36.000 kasus baru dan 21.000 kematian akibat kanker leher rahim terjadi setiap tahun. Angka itu setara dengan hampir 60 kematian per hari—sebuah catatan yang menunjukkan betapa seriusnya penyakit yang sebenarnya dapat dicegah ini.

Veronica menegaskan bahwa pemerintah telah menyusun strategi eliminasi kanker leher rahim berbasis Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui tiga pilar utama: implementasi Rencana Aksi Nasional Eliminasi Kanker Leher Rahim 2023–2030, penjangkauan kelompok rentan dan wilayah terpencil, serta penguatan peran media dan edukasi publik.

“Kami menyoroti masih banyak hambatan dalam upaya eliminasi, termasuk kesenjangan akses terhadap imunisasi dan skrining. Dari perspektif gender, hambatan ini sering muncul akibat stigma budaya, ketidaktahuan, atau misinformasi yang tersebar di dunia maya,” ujarnya. Kementerian PPPA bekerja sama dengan Badan Komunikasi Pemerintah (BAKOM) untuk mendeteksi dan merespons cepat misinformasi yang berpotensi merusak program kesehatan perempuan.

Di tengah derasnya konten digital, media dinilai memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk menyajikan informasi yang jernih. Peran ini semakin krusial ketika AI mampu memproduksi konten secara cepat—termasuk konten yang menyesatkan.

External Affairs Director MSD Indonesia, Dudit Triyanto, menegaskan bahwa penyebaran informasi akurat bukan hanya soal literasi, tetapi juga empati dan kejujuran. “AI telah membantu kita mencari dan menggali informasi. Namun di sisi lain, teknologi ini membuka potensi misinformasi yang lebih kompleks,” ujarnya.

Dudit menyebut data Kementerian Komunikasi dan Digital yang merekam lebih dari 1.900 konten hoaks pada tahun 2024, dengan 163 di antaranya terkait isu kesehatan seperti imunisasi dan vaksinasi. “Di sinilah peran media sangat besar. Kami berharap literasi publik dapat semakin kuat sehingga perempuan Indonesia terlindungi dari risiko kanker leher rahim,” kata Dudit.

Target Ambisius 2039

Kementerian Kesehatan menempatkan eliminasi kanker leher rahim sebagai prioritas nasional. Staf Khusus Menteri Kesehatan, Monica R. Nirmala, dalam kesempatan yang sama memaparkan tiga target utama Rencana Aksi Nasional yang harus dicapai sebelum 2030.

Target itu adalah:

  1. 90 persen anak perempuan usia 12 tahun mendapatkan imunisasi HPV.

  2. 75 persen perempuan usia 30–69 tahun menjalani skrining HPV DNA.

  3. 90 persen pasien kanker leher rahim menerima pengobatan tepat waktu dengan teknologi memadai.

Apabila deteksi dini terpenuhi, tingkat kelangsungan hidup penderita dapat mencapai 90 persen. “Di sinilah pentingnya peran media untuk menghadirkan informasi yang tidak hanya akurat tetapi juga jernih dan berpihak pada kesehatan perempuan,” kata Monica.

Ia menambahkan, tantangan terbesar bukan hanya pada ketersediaan layanan, tetapi tingginya kerentanan masyarakat terhadap hoaks kesehatan. Mispersepsi soal vaksin HPV, misalnya, masih beredar luas dan sering kali dikaitkan dengan isu moral, kesuburan, atau efek samping yang tidak terbukti.

“Ketika informasi keliru terus beredar, masyarakat ragu mengambil keputusan yang melindungi kesehatan mereka. Media harus menjadi penyeimbang, memberikan konteks, memverifikasi klaim, dan memastikan publik tidak menjadi korban misinformasi,” ujarnya.

Upaya Lintas Sektor

Kesadaran kolektif mengenai pentingnya eliminasi kanker leher rahim, menurut Veronica Tan, memerlukan dukungan lintas sektor: pemerintah, akademisi, tenaga kesehatan, swasta, hingga masyarakat sipil. Dia menekankan pentingnya menghadirkan ruang pemberitaan yang sensitif terhadap perspektif gender dan inklusi kelompok rentan.

Kelompok perempuan di wilayah terpencil, perempuan dengan keterbatasan ekonomi, hingga mereka yang terhalang stigma sosial membutuhkan pendekatan komunikasi yang berbeda. “Media membantu menjembatani kesenjangan itu,” kata Veronica.

Ia menambahkan, pelatihan jurnalis, kolaborasi dengan akademisi, serta edukasi publik melalui konten kreatif dan narasi yang membumi merupakan langkah strategis yang perlu diperbanyak.

Di penghujung acara, Veronica mengingatkan bahwa upaya eliminasi kanker leher rahim berangkat dari hal yang sederhana—akses informasi yang benar. “Kesadaran bisa dibangun, stigma dapat dihapus, dan ketakutan bisa diurai ketika informasi yang akurat tersedia dan mudah dipahami,” ujarnya.

Momentum Hari Kanker Leher Rahim Sedunia menjadi pengingat bahwa perlindungan terhadap perempuan bukan hanya tanggung jawab layanan kesehatan, melainkan juga pertaruhan pengetahuan publik. Di era ketika hoaks dapat menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, media tampil sebagai garda depan yang memastikan informasi tersampaikan dengan benar, berimbang, dan mencerdaskan.

“Langkah menuju Indonesia Bebas Kanker Leher Rahim 2030 sangat bergantung pada kualitas informasi yang diterima masyarakat,” tutur Veronica. “Media adalah jembatan yang menentukan apakah informasi itu menenangkan atau menyesatkan.”

Tim Schoolmedia

Artikel Selanjutnya
Rakor Kepala Daerah Perkuat Komitmen Program Prioritas Kemendikdasmen Amanah
Artikel Sebelumnya
Pentingnya “Single Source of Truth” untuk Wujudkan Data Pendidikan Islam yang Akurat

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar