Schoolmedia News Jakarta ââ¬â Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mencuri perhatian ekosistem pendidikan tinggi. Rektor UNJ, Prof. Komarudin, menandatangani perjanjian kerja sama dengan Direktorat Jenderal Sains dan Teknologi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Ditjen Saintek Kemdiktisaintek) di Gedung D, lantai 10 Kemdiktisaintek.
Perjanjian ini menugaskan UNJ melakukan kajian model pembelajaran transformatif di perguruan tinggi, khususnya pada bidang kecerdasan buatan (AI) dan Biologi.
Secara resmi, UNJ kini memegang mandat penting: merumuskan model pembelajaran yang nantinya akan dijadikan pedoman nasional bagi kampus-kampus lain.
Prof. Komarudin menyebut penunjukan ini sebagai bentuk ââ¬Åkepercayaan sekaligus tanggung jawab strategis.ââ¬Â Ia menegaskan UNJ berkomitmen menghadirkan terobosan pendidikan tinggi yang bukan hanya adaptif terhadap teknologi, melainkan juga berorientasi pada pembentukan karakter, etika, dan integritas akademik.
ââ¬ÅUNJ berkomitmen penuh untuk mengembangkan model pembelajaran transformatif yang tidak hanya adaptif terhadap perkembangan teknologi, tetapi juga berorientasi pada pembentukan karakter,ââ¬Â ujarnya dengan penuh optimisme.
Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNJ, Aip Badrujaman, menambahkan bahwa kajian ini akan melibatkan dosen, peneliti, dan praktisi pendidikan agar aplikatif sekaligus ilmiah.
ââ¬ÅFIP UNJ siap menjadi pusat pengembangan pembelajaran transformatif dengan mengedepankan inovasi, kolaborasi, dan keberlanjutan,ââ¬Â tegasnya.
Namun, di balik pernyataan penuh optimisme itu, muncul pertanyaan besar: sejauh mana UNJ benar-benar siap memikul amanah sebesar ini?
Publik pendidikan tentu belum lupa bahwa berbagai perguruan tinggi di Indonesia masih berkutat dengan masalah mendasar: kesenjangan infrastruktur, ketimpangan kualitas dosen, dan lemahnya budaya riset. UNJ sendiri, meski punya sejarah panjang, kerap dikritik karena lebih sering tampil sebagai ââ¬Åpengikut kebijakanââ¬Â ketimbang pelopor.
Maka, penunjukan UNJ justru menimbulkan ironi. Bagaimana mungkin kampus yang masih menghadapi problem klasik birokrasi, akreditasi, dan fasilitas riset terbatas dipercaya menyusun pedoman nasional pembelajaran transformatif berbasis AI dan Biologi ââ¬â bidang yang membutuhkan keunggulan riset mutakhir dan jaringan global yang kuat?
Ada pula kekhawatiran bahwa kajian ini hanya akan menjadi formalitas: menghasilkan dokumen pedoman yang kaku, jauh dari realitas kampus-kampus di daerah yang minim fasilitas laboratorium dan sumber daya dosen.
Model transformatif yang digadang-gadang berisiko hanya cocok untuk kampus papan atas di kota besar, sementara perguruan tinggi daerah kembali tersisih.
Tanpa keterlibatan nyata lintas kampus, kebijakan ini berpotensi mengulang pola lama: ââ¬Åpusat bicara, daerah mendengar.ââ¬Â
Meski begitu, jika UNJ benar-benar mampu membuka ruang kolaborasi luas, merangkul kampus daerah, serta mengaitkan riset dengan praktik nyata pendidikan, peluang ini bisa menjadi momentum penting. Bukan hanya untuk meningkatkan reputasi UNJ, tetapi juga sebagai lompatan kualitas pendidikan tinggi nasional.
Namun, jalan menuju transformasi sejati bukan sekadar soal tanda tangan di gedung kementerian. Ia menuntut keberanian menghadapi masalah struktural: ketimpangan, keterbatasan dana riset, hingga rendahnya publikasi akademik internasional.
Kerja sama strategis ini memang bisa memperkuat posisi UNJ di panggung nasional. Tapi pertanyaan yang lebih penting: apakah UNJ akan benar-benar melahirkan transformasi, atau sekadar menambah deretan dokumen kebijakan yang menumpuk di rak birokrasi pendidikan tinggi Indonesia?
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar