Cari

Di Balik Revisi Sejarah Nasional Indonesia: Antara Kebanggaan Nasional dan Penghapusan Ingatan”



Schoolmedia News Jakarta == Pagi itu, Rabu, 5 November 2025, udara Jakarta masih lembab oleh sisa hujan malam ketika Menteri Kebudayaan Fadli Zon keluar dari Istana Merdeka. Dengan langkah mantap, politisi Partai Gerindra itu menyampaikan kabar yang segera menggemparkan dunia akademik dan politik: Revisi Sejarah Nasional Indonesia (SNI), proyek penulisan ulang sejarah paling ambisius dalam dua dekade terakhir, hampir rampung.

“Sudah selesai sejak Agustus, sekarang sedang tahap editing. Mudah-mudahan bulan depan bisa diluncurkan,” kata Fadli kepada wartawan, dengan senyum yang lebih politis daripada akademis.

Di atas kertas, revisi SNI adalah upaya mulia. Pemerintah ingin memperbarui isi buku sejarah agar sesuai dengan “temuan riset terbaru”, dari masa prasejarah hingga zaman digital. Ratusan sejarawan dari 34 perguruan tinggi dilibatkan. Namun, di balik jargon pembaruan itu, aroma politik masa lalu menyelinap.
Sebab bersamaan dengan proyek ini, pemerintah juga tengah menyiapkan langkah untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto—nama yang selalu membuat perdebatan bangsa mengeras seperti batu.

Revisi Sejarah Atau Putarbalikan Sejarah 

Sejak Orde Baru tumbang 26 tahun lalu, sejarah Indonesia seperti rumah tua yang bocor: penuh tambalan, banyak bagian rapuh, namun masih berdiri. Upaya untuk menulis ulang sejarah sebenarnya pernah dilakukan di era Presiden Gus Dur, tapi selalu terhenti oleh tarik menarik kepentingan politik. Kini, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, revisi itu akhirnya berjalan—namun justru menimbulkan rasa curiga.

“Revisi sejarah boleh saja, tapi kalau dikoordinasikan oleh seorang politisi partai, apalagi bukan sejarawan, itu menimbulkan tanda tanya besar,” kata Asep Komarudin, aktivis demokrasi dari Koalisi Masyarakat Sipil.
“Fadli Zon bukan reformis. Dia bagian dari generasi politik yang menikmati warisan Orde Baru, bukan yang melawannya.”

Asep mengingatkan, sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan arena pertarungan memori. Ia khawatir proyek ini akan menjadi cara halus untuk menyusun ulang legitimasi kekuasaan, terutama menjelang rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
“Kalau Soeharto diangkat jadi pahlawan, artinya negara resmi menghapus dosa masa lalunya sendiri,” ujar Asep.

Dalam pernyataannya, Fadli Zon memastikan revisi SNI tidak akan mengubah “peristiwa sensitif” seperti tragedi 1965 dan Reformasi 1998. Justru di situlah letak persoalannya. Dua peristiwa itu—yang menandai dua ujung kekuasaan Soeharto—tetap dibiarkan beku, tak tersentuh.

“Ini seperti menulis novel keluarga tanpa menyebut nama ayah yang pergi tanpa kabar,” kata Dr. Ratna Nuraini, sejarawan Universitas Indonesia.
“Kalau bagian tergelap sejarah tetap dibiarkan kabur, revisi ini hanya kosmetik politik.”

Dalam draf sementara SNI yang beredar terbatas di kalangan akademisi, bab tentang Orde Baru memang ditulis lebih netral. Tidak ada lagi istilah “kediktatoran militer” atau “represi politik”, melainkan frasa lembut seperti “konsolidasi pembangunan” dan “penegakan stabilitas nasional”.
Sementara peristiwa 1998 diringkas dalam dua halaman, tanpa menyebut kata tragedi Trisakti atau Semanggi.

“Kalimat yang dihapus bisa lebih berbahaya daripada yang ditulis,” ujar Ratna.

Bagi para aktivis reformasi, keterlibatan Fadli Zon sebagai arsitek utama proyek ini terasa ironis. Ia dikenal sebagai politisi yang kerap mengekspresikan nostalgia terhadap Orde Baru.
Dalam berbagai kesempatan, Fadli menulis esai tentang “keberhasilan pembangunan Soeharto”, bahkan menyebutnya “bapak stabilitas nasional”. Kini, di tangannya, narasi sejarah itu berpotensi disusun ulang dalam versi yang lebih lunak.

“Fadli Zon adalah politisi yang cerdas, tapi bukan sejarawan. Ia punya agenda ideologis,” kata Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia.
“Ketika seorang politisi menulis sejarah, yang dihasilkan bukan kebenaran, tapi pembenaran.”

Usman menyebut revisi SNI ini sebagai upaya sistematis mengembalikan semangat Orde Baru dalam bentuk baru: lewat budaya dan pendidikan. “Sama seperti dulu, kekuasaan berusaha mengendalikan ingatan kolektif. Dulu lewat P4 dan film Pengkhianatan G30S/PKI, sekarang lewat buku sejarah nasional,” ujarnya.

Beberapa sejarawan yang terlibat dalam proyek ini mengaku resah. Mereka bekerja dalam sistem berlapis, di mana naskah yang mereka tulis akan diseleksi ulang oleh tim kurasi di pusat.
“Semua tulisan dikompilasi ke Jakarta, lalu disunting oleh editor utama yang ditunjuk kementerian,” kata salah satu penulis dari Universitas Negeri Malang, yang meminta identitasnya disamarkan.
“Kadang ada bagian yang dihapus tanpa alasan. Terutama yang menyebut pelanggaran HAM.”

Ia menambahkan, sebagian besar sejarawan muda sebenarnya berharap revisi ini bisa membuka ruang baru bagi perspektif korban dan masyarakat sipil. “Tapi arah politiknya lain,” ujarnya pelan. “Sejarahnya mau dibuat lebih damai, tapi malah menenangkan pihak yang dulu berkuasa.”

Monumen Kekuasaaan Dipertunjukan 

Sementara itu, pemerintah menyiapkan proyek pendukung berupa penerbitan buku-buku sejarah lain pada tahun depan: sejarah kemerdekaan, perang mempertahankan republik, hingga sejarah kerajaan-kerajaan besar Nusantara.
Di hadapan publik, Fadli menegaskan, “Kita ingin sejarah nasional menjadi sumber kebanggaan, bukan trauma.”

Namun bagi aktivis demokrasi, kalimat itu justru terdengar seperti peringatan.
“Bangsa ini butuh sejarah yang jujur, bukan yang menenangkan,” kata Maria Pranowo, anggota Jaringan Solidaritas Reformasi 98. “Kalau luka tidak diakui, maka bangsa ini hanya membangun monumen di atas kuburan yang belum selesai digali.”

Maria, yang dulu mahasiswa di Yogyakarta pada 1998, masih mengingat dengan jelas malam ketika teman-temannya ditangkap. “Kami tidak menolak pembangunan, tapi jangan jadikan sejarah alat penghapus dosa,” katanya.
Ia menolak keras wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. “Bagaimana mungkin orang yang memerintah dengan represi, melarang kebebasan pers, dan menumpas oposisi disebut pahlawan? Itu penghinaan bagi korban.”


Politik Ingatan

Dalam sejarah Indonesia, penulisan ulang selalu terjadi seiring pergantian rezim. Di masa Soekarno, sejarah ditulis untuk meneguhkan revolusi. Di masa Soeharto, sejarah dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Kini, di masa Prabowo—mantan jenderal Orde Baru yang naik lewat demokrasi—revisi sejarah tampak seperti upaya menata ingatan agar lebih selaras dengan arah politiknya.

“Rezim mana pun ingin terlihat heroik dalam cermin sejarah,” kata Adrianus Siregar, dosen sejarah Universitas Gadjah Mada.
“Tapi sejarah yang sehat adalah yang berani menunjukkan wajah buruknya sendiri.”

Bagi Adrianus, masalahnya bukan pada revisi itu sendiri, tapi pada konteksnya. “Ketika revisi dilakukan oleh orang yang memiliki kedekatan politik dengan simbol kekuasaan masa lalu, maka independensi akademik jadi ilusi,” ujarnya.

Menjelang peluncuran SNI bulan depan, sejumlah organisasi sipil berencana menggelar diskusi publik bertajuk “Menjaga Sejarah dari Politik”. Mereka menuntut agar pemerintah membuka draf revisi ke publik dan melibatkan sejarawan independen sebelum penerbitan resmi.

Sementara di media sosial, tagar #SejarahBukanMilikPenguasa mulai ramai. Banyak anak muda mengunggah potongan arsip, foto demonstrasi 1998, atau kisah keluarga korban pelanggaran HAM. “Kalau negara menulis ulang sejarahnya, kita juga bisa menulis versi kita sendiri,” tulis salah satu pengguna X.

Di antara riuh itu, pertanyaan terbesar tetap menggantung: apakah bangsa ini sedang membenahi sejarahnya, atau justru menyiapkan lembar baru untuk melupakan?

Sejarah, tulis sastrawan Pramoedya Ananta Toer, adalah “suara mereka yang dikalahkan.” Tapi dalam versi yang sedang disiapkan pemerintah hari ini, suara itu nyaris tak terdengar.
Revisi Sejarah Nasional Indonesia tampak seperti proyek akademik besar—tetapi di balik halaman-halamannya, ada bayang-bayang panjang kekuasaan yang belum benar-benar hilang.

Dan bila Soeharto kelak benar-benar disematkan gelar pahlawan nasional, maka revisi itu bukan sekadar catatan ilmiah, melainkan monumen politik baru—di mana bangsa ini resmi berdamai dengan pelupaan.

Karena pada akhirnya, yang sedang ditulis ulang bukan hanya sejarah, tapi ingatan kolektif tentang siapa kita, dan dari masa lalu seperti apa kita sebenarnya berasal.

(±1.040 kata)

Lipsus Selanjutnya
Jelang Hari Pahlawan, Presiden Prabowo Bahas Pemberian Gelar Kepahlawanan Nasional
Lipsus Sebelumnya
Tahun Pertama Revitalisasi dan Digitalisasi Sekolah Bak Menanam Pohon di Tanah Kering Harus Sabar Menyirami

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar