Rantis Brimob dan Kematian Pengemudi Ojek Daring: Tragedi yang Menguak Brutalitas Aparat
Schoolmedia Jakarta - Kematian tragis Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring berusia 21 tahun, pada 28 Agustus 2025 menjadi sorotan tajam. Affan tewas terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob saat demonstrasi besar di Jakarta. Peristiwa ini, yang berawal dari aksi damai, kini memantik gelombang protes baru dan investigasi mendalam dari Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD).
Pada 10 September 2025, TAUD merilis temuan awal yang mengejutkan. Laporan investigasi tersebut menyoroti serangkaian kejanggalan, mulai dari penggunaan rantis yang tidak sesuai prosedur hingga dugaan ketidaktransparanan dalam proses hukum. Kematian Affan menjadi simbol dari brutalitas aparat yang berulang, membangkitkan ingatan pahit akan peristiwa kekerasan serupa di masa lalu.
Kronologi Tragedi yang Penuh Kejanggalan
Menurut TAUD, aksi demonstrasi yang menolak kenaikan tunjangan anggota DPR awalnya berjalan damai. Namun, situasi berubah mencekam setelah aparat kepolisian menembakkan water canon dan gas air mata untuk membubarkan massa. Dalam kekacauan tersebut, sebuah rantis Brimob melaju kencang di tengah kerumunan, menabrak dan melindas Affan Kurniawan di Jalan Penjernihan 2, Bendungan Hilir.
Investigasi TAUD mengungkap beberapa fakta krusial:
* Penggunaan Rantis yang Tidak Sesuai Prosedur: Penempatan dan penggunaan rantis Brimob di lokasi yang padat massa dinilai melanggar pedoman pengendalian massa. Kendaraan tersebut seharusnya tidak berada di dekat objek vital nasional dan tidak seharusnya melaju cepat di tengah situasi yang berbahaya.
* Ketidakhati-hatian Fatal: Meskipun disebut berusaha menghindari serangan, rantis tersebut justru bergerak dengan kecepatan tinggi, mengabaikan keselamatan ribuan massa yang memenuhi jalan.
* Obstruction of Justice: Temuan TAUD dalam pemantauan sidang kode etik terhadap tujuh personel Brimob yang terlibat menunjukkan adanya ketidaksesuaian dengan fakta di lapangan. Proses sidang juga dinilai tidak transparan, dengan adanya perbedaan sanksi etik yang diberikan.
* Pernyataan Menyesatkan: Kompolnas dinilai memberikan pernyataan yang cenderung membela polisi, menambah ketidakjelasan dan mengaburkan tuntutan publik akan akuntabilitas.
Pola Kekerasan yang Berulang dan Tuntutan Keadilan
Kematian Affan Kurniawan tidak dipandang sebagai kasus tunggal. TAUD mengaitkan peristiwa ini dengan serangkaian kekerasan aparat yang berulang, dari tragedi Mei 2019 hingga aksi-aksi demonstrasi di tahun 2024 dan 2025. Pola penggunaan kekerasan yang dinilai melanggar prinsip-prinsip proporsionalitas dan akal sehat ini, jika tidak diperbaiki, berpotensi memicu tragedi serupa di masa depan.
Oleh karena itu, TAUD mendesak agar kasus kematian Affan Kurniawan diusut tuntas secara transparan dan akuntabel. Keadilan untuk Affan bukan hanya sekadar hukuman bagi para pelaku, tetapi juga momentum untuk melakukan reformasi fundamental terhadap institusi kepolisian, memastikan bahwa mereka benar-benar berfungsi sebagai pelindung, bukan ancaman bagi warga
Dengan semakin banyaknya bukti yang mengarah pada brutalitas aparat, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan? Bagaimana masyarakat dapat memastikan bahwa proses hukum berjalan transparan dan berpihak pada korban?
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar