Cari

Gelombang Mundurnya 160 Guru Sekolah Rakyat — Ketika Idealisme Terkendala Realita



Schoolmedia News Jakarta === Harapan besar yang digantungkan pada Program Sekolah Rakyat, kini menghadapi ujian serius. Sebanyak 160 guru yang sebelumnya telah direkrut untuk menjadi pengajar dalam program unggulan ini, resmi mengundurkan diri. Kabar ini disampaikan langsung oleh Menteri Sosial, Saifullah Yusuf atau yang akrab disapa Gus Ipul.

"Kira-kira 160-an (guru). Sebabnya apa? Karena mereka merasa penempatannya (Sekolah Rakyat) itu jauh dari domisilinya, jauh dari tempat tinggalnya," ujar Gus Ipul, Minggu (27/7/2025).

Program Sekolah Rakyat merupakan inisiatif pemerintah untuk menghadirkan pendidikan berkualitas di wilayah-wilayah tertinggal, terluar, dan terpencil. Guru-guru yang direkrut, pada dasarnya dipersiapkan untuk menjadi ujung tombak perubahan pendidikan di komunitas-komunitas yang selama ini minim akses pendidikan formal.

Namun idealisme membangun pendidikan dari pinggiran tampaknya belum diimbangi dengan kesiapan infrastruktur dan dukungan logistik yang memadai. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa penempatan guru jauh dari tempat tinggal tanpa sistem dukungan yang memadai menimbulkan tekanan psikologis dan sosial yang berat.

Mundurnya para guru bukan karena mereka kehilangan semangat mengabdi. Justru sebaliknya, banyak di antara mereka adalah lulusan terbaik dari kampus-kampus pendidikan, yang semula ingin berkontribusi membangun negeri. Namun, jarak penempatan yang ekstrem, tanpa jaminan tempat tinggal, sarana transportasi, bahkan jaringan komunikasi yang layak, membuat banyak dari mereka terpaksa menarik diri.

“Bayangkan harus meninggalkan keluarga berbulan-bulan di tempat yang bahkan sinyal saja tidak ada. Itu bukan hanya soal profesionalisme, tapi juga kemanusiaan,” ungkap salah satu guru yang memilih mundur, saat diwawancara secara anonim.

Kondisi ini membuka kembali perdebatan lama soal distribusi guru dan kebijakan penempatan yang kurang mempertimbangkan aspek sosial-budaya. Meski telah diatur melalui koordinasi antara Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan KemenPANRB, sistem rekrutmen dinilai masih kaku dan kurang responsif terhadap kondisi lokal para guru.

Program Sekolah Rakyat sebenarnya lahir dari gagasan progresif: menjawab kesenjangan pendidikan di wilayah marginal, menyatukan aspek pengajaran, penguatan karakter, dan pemberdayaan sosial dalam satu ekosistem sekolah berbasis komunitas.

Namun, pengunduran diri massal ini menunjukkan bahwa implementasi lapangan masih jauh dari harapan. Penempatan tanpa dialog, sistem insentif yang belum memadai, hingga minimnya kesiapan infrastruktur lokal membuat gagasan mulia tersebut berjalan terseok-seok.

Di tengah kritik, Gus Ipul menegaskan bahwa pemerintah tetap berkomitmen memperbaiki sistem. Evaluasi penempatan, peningkatan fasilitas guru, serta sinergi antarkementerian menjadi agenda penting ke depan.

“Sistemnya sudah diatur oleh BKN dan KemenPANRB, tetapi kita tetap buka ruang untuk evaluasi. Program ini penting, tapi harus dijalankan secara manusiawi dan masuk akal,” kata Gus Ipul.

Di sisi lain, masyarakat di daerah-daerah sasaran Sekolah Rakyat mengaku kecewa atas pengunduran diri ini. Mereka sudah menyambut program tersebut dengan harapan besar. Namun mereka juga memahami, guru-guru yang datang perlu mendapat dukungan dan perlindungan.

“Kami butuh guru, tapi bukan guru yang hanya dikirim lalu dibiarkan berjuang sendiri. Kalau mau pendidikan maju, harus ada keadilan untuk para pengajarnya juga,” ujar Kepala Desa di Nias Barat, salah satu lokasi penempatan Sekolah Rakyat.

Kasus pengunduran diri 160 guru ini bukan sekadar soal administratif. Ia adalah sinyal bahwa idealisme kebijakan harus dibarengi kesiapan lapangan. Bahwa semangat “membangun dari pinggiran” tidak cukup hanya dengan slogan, tapi perlu infrastruktur, pendampingan, dan keberpihakan nyata.

Jika tidak, kita hanya akan mengulang narasi lama: program bagus di atas kertas, tapi gagal di tanah nyata.

Pemerintah harus menjadikan momentum ini sebagai bahan refleksi. Bukan untuk menyalahkan siapa-siapa, tetapi untuk memperbaiki sistem — agar guru tidak hanya hadir di desa-desa terpencil sebagai simbol, tapi sebagai agen perubahan yang benar-benar didukung dan dimanusiakan.

Karena pendidikan sejatinya tidak dimulai dari papan tulis, melainkan dari rasa keadilan dan empati.

Program Sekolah Rakyat yang digagas pemerintah untuk menjawab kesenjangan pendidikan di daerah terpencil kini menghadapi tantangan serius. Sebanyak 160 guru yang sebelumnya telah direkrut resmi mengundurkan diri, dengan alasan utama adalah penempatan lokasi mengajar yang terlalu jauh dari domisili mereka..

"Kira-kira 160-an (guru). Sebabnya apa? Karena mereka merasa penempatannya itu jauh dari domisilinya, jauh dari tempat tinggalnya," ungkap Gus Ipul.

Mundurnya ratusan guru ini memunculkan kritik dari berbagai pihak, salah satunya dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Ia menilai, kejadian ini merupakan indikasi pengabaian oleh pemerintah terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan dalam kebijakan penempatan guru.

"Ini bukan sekadar soal guru tidak mau ditempatkan di daerah terpencil. Ini soal sistem penempatan yang tidak mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan psikologis para guru. Pemerintah terkesan memaksakan tanpa mendengarkan," ujar Ubaid.

Program Sekolah Rakyat didesain untuk menjadi motor penggerak pendidikan di wilayah-wilayah 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan). Namun kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa kebijakan penempatan tidak sejalan dengan kesiapan para guru dan minimnya fasilitas pendukung.

Banyak guru yang ditugaskan ke lokasi yang hanya bisa ditempuh berjam-jam perjalanan darat dan laut, tanpa kejelasan soal akomodasi, insentif, bahkan keamanan. Hal inilah yang mendorong sebagian besar dari mereka memilih mundur.

“Saya sangat ingin mengabdi, tapi ditempatkan di lokasi yang tidak ada sinyal, harus menyeberang dua kali, dan tidak ada tempat tinggal yang layak, itu bukan hal yang mudah,” ujar salah satu guru yang enggan disebut namanya.

Gus Ipul menjelaskan bahwa sistem rekrutmen dan penempatan guru Sekolah Rakyat dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian PAN-RB. Namun banyak pihak menilai, proses ini masih terlalu birokratis dan tidak cukup fleksibel dalam mempertimbangkan aspek-aspek personal dan logistik.

“Kebijakan nasional sering kali gagal membaca realitas lokal. Guru bukan robot yang bisa ditempatkan seenaknya. Mereka juga manusia dengan keluarga, keterbatasan, dan kebutuhan dasar,” tambah Ubaid Matraji.

Pengunduran diri massal ini menjadi cermin bahwa kebijakan pendidikan tidak bisa lepas dari pendekatan yang manusiawi dan partisipatif. Pemerintah diminta segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem rekrutmen, penempatan, dan dukungan terhadap guru di program Sekolah Rakyat.

"Kalau ingin program ini berhasil, maka mulai dari awal harus dibangun dengan dasar empati dan partisipasi. Libatkan guru dalam proses penempatan, berikan pelatihan, jamin akomodasi, dan pastikan mereka tidak berjuang sendirian," tegas Ubaid.

Pengunduran diri ratusan guru ini menjadi sinyal bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam menghadirkan pemerataan pendidikan yang adil dan berkualitas. Pemerintah kini dihadapkan pada tantangan untuk tidak hanya mencari pengganti guru yang mundur, tetapi memperbaiki seluruh ekosistem kebijakan pendidikan inklusif dan responsif terhadap kebutuhan nyata di lapangan.

Jika tidak, Sekolah Rakyat hanya akan menjadi program ambisius tanpa kaki yang mampu berpijak di tanah tempat ia seharusnya tumbuh.

Tim Schoolmedia 

Lipsus Sebelumnya
Prof Dr Atip Latipulhayat: “Program Revitalisasi Sekolah, Membangun Tak Sekadar Fisik Tapi Berdampak Nyata Bagi Masyarakat dan Pendidikan”

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar