Cari

Ironi Terbesar: Orang Tua yang Seharusnya Pelindung, Jadi Pelaku Pelanggaran Hak Anak"


SCHOOLMEDIA NEWS Jakarta – Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini Ditjen PAUD Dikdasmen menginisiasi Seminar dan Lokakarya Pengasuhan Anak Sejak Usia Dini yang dihadiri Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof Dr Abdul Mu’ti dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kemen PPPA, Arifah Fauzi di Jakarta, Senin (15/12). 

Dalam acara tersebut Direktur PAUD Dr Nia Nurhasanah menyampaikan matreri Tantangan dan Strategi Pengasuhan Anak sejak Usia Din, Rita Pranawati dari Staf Khusus Kemendikdasmen menyampaikan tema Kebijakan Kemendikdasmen dan Implementasi 7 KAIH, Zohratun Nihayah menyampaikan Pengasuhan Positif Berbasis HAK Anak dan Komisioner KPAI Aris Adi Laksono menyampaikan tema Usia Dini Fase Fondasi Tentukan Masa Depan Anak dan terakhir Soripada Harahap menyampaikan tema Kolaborasi Dalam Pengasuhan dan Pemantauan Anak Usia Dini.

KPAI Dorong Komitmen Seluruh Pihak 

Komisioner KPAI, Dr. Aris Adi Leksono, M.Pd, menegaskan bahwa masa usia dini adalah fondasi yang menentukan masa depan anak. Oleh karena itu, KPAI mendorong semua pihak untuk berkomitmen menjadi pelopor dan pelapor perlindungan anak serta mengimplementasikan strategi pengasuhan positif yang adaptif di era modern.  

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat situasi perlindungan anak di Tanah Air berada dalam kondisi mengkhawatirkan, ditandai dengan angka pengaduan yang masif serta ironi di mana orang tua kandung mendominasi daftar teradu (pelaku) kasus pelanggaran hak anak. Secara kumulatif, total pengaduan yang masuk ke KPAI terkait pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak mencapai 14.525 kasus terhitung sejak 1 Januari 2021 hingga 30 Juni 2025.

Data tersebut terbagi dalam klaster Pemenuhan Hak Anak sebanyak 8.941 kasus dan Perlindungan Khusus Anak sebanyak 5.584 kasus. Analisis KPAI menunjukkan fenomena paling miris adalah dominasi peran orang tua sebagai pihak yang diadukan. 

Berdasarkan data hubungan teradu dengan korban, ayah kandung berada di posisi teratas dengan 8,8%, diikuti oleh ibu kandung sebesar 8,4%. KPAI menyebut kondisi ini sangat memprihatinkan, sebab orang tua yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi pihak yang paling sering diadukan.

Pengasuhan Fenomena Fatherless

Dalam klaster Pemenuhan Hak Anak, kasus tertinggi yang diadukan adalah Anak Korban Pengasuhan Bermasalah/Konflik Orangtua/Keluarga dengan 1.759 kasus, disusul oleh Anak Korban Pelarangan Akses Bertemu Orang Tua (1.599 kasus), dan Anak Korban Pemenuhan Hak Nafkah (1.302 kasus).

Selain konflik keluarga, Indonesia juga menghadapi tantangan besar fenomena fatherless (ketidakadaan figur ayah). KPAI mencatat terdapat 15.946.280 anak atau 20,1% dari total anak di Indonesia yang berpotensi fatherless. Angka ini mencakup anak yang tinggal hanya bersama ibu, bersama kakek/nenek saja, atau bersama ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu.

Dampak fatherless ini sangat signifikan terhadap kesehatan mental dan perilaku anak. Pada anak laki-laki, dampaknya dapat berupa depresi dan hiperaktif, sementara pada anak perempuan dapat menimbulkan kecemasan, depresif, dan ketergantungan yang berlebihan pada figur lain.

Ancaman Digital dan Kesehatan Mental

Isu kekerasan dan perlindungan anak juga semakin kompleks di ranah digital. KPAI menyoroti bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia dalam kasus pornografi anak daring (online). Paparan teknologi dan media sosial yang masif, ditambah kurangnya pengawasan, meningkatkan risiko eksploitasi anak.

Kesehatan mental anak pun semakin menjadi sorotan. Data survei I-NAMHS 2023 menunjukkan 1 dari 3 anak usia 10-17 tahun memiliki masalah kesehatan mental. Hal ini turut tercermin dari meningkatnya kecenderungan anak menyakiti diri dan mengakhiri hidup, yang sebagian besar dipicu oleh kasus perundungan (bullying).

Direktur PAUD Soroti Kebutuhan Esensial 

 Indonesia menghadapi krisis serius dalam pemenuhan kebutuhan esensial anak usia dini, ditandai dengan tingginya angka keluhan kesehatan, rendahnya kualitas pengasuhan, dan ancaman nyata dari masalah sosial digital. Data dari presentasi Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kemendikbudristek menyoroti tiga isu utama: kesehatan, akses pendidikan, dan ancaman karakter yang masif.

Ancaman Kesehatan dan Gizi Signifikan. 

Kondisi kesehatan balita di Indonesia berada dalam sorotan tajam. Sebanyak 38,82% balita mengalami keluhan kesehatan, sebuah angka yang mengindikasikan pelayanan kesehatan dasar yang belum optimal. Selain itu, jangkauan imunisasi dasar lengkap baru mencapai 63,88%, menyebabkan banyak anak tidak mendapatkan perlindungan penuh.

Meskipun stunting telah menjadi fokus nasional, prevalensinya masih berada di angka 19,8% per tahun 2024, menuntut intervensi terpadu sejak masa awal kehidupan. 

Sementara itu, cakupan Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif masih di bawah target ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 80%, hanya mencapai 72,13%.

Fasilitas Sanitasi Masih Terbatas

Kesenjangan dalam akses dan kualitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) juga menjadi masalah struktural. Angka Partisipasi Sekolah (APS) PAUD baru mencapai 74,15%. Selain itu, 14.404 desa/kelurahan dilaporkan belum memiliki satuan PAUD, menunjukkan pemerataan layanan yang sangat rendah.

Fasilitas layanan esensial di satuan PAUD berada dalam kondisi memprihatinkan. 

Hingga November 2025, hanya 17% (sekitar 34.245 dari 206.245) satuan PAUD di Indonesia yang memiliki fasilitas sanitasi memadai, meliputi sumber air, instalasi air, toilet, dan tempat cuci tangan pakai sabun.

Tingginya Paparan Judi Online dan Gangguan Mental Remaja

Ancaman terhadap penguatan karakter dan mental anak remaja di Indonesia menunjukkan data yang mengkhawatirkan:

 * Judi Online: Hingga November 2024, tercatat 960.000 pelajar dan mahasiswa di Indonesia telah terjerat dalam praktik judi online.

 * Gangguan Mental: Sekitar 1 dari 3 remaja mengalami masalah kesehatan mental. Diperkirakan 15,5 juta remaja mengalami gangguan mental dalam satu tahun terakhir.

 * Pornografi: Sekitar 66% anak-anak di Indonesia telah terpapar konten pornografi daring.

 * Kecanduan Gawai: Di Jakarta, sekitar 31,4% remaja mengalami kecanduan internet.

Permasalahan ini diperkuat oleh temuan bahwa sekitar 4,58% balita mengalami pola pengasuhan yang tidak memadai, berdampak pada perkembangan holistik mereka.

 Selain itu, minimnya stimulasi dini dalam keluarga, di mana hanya 20,35% anak dibacakan buku cerita oleh orang tua/pengasuh, berkorelasi kuat dengan fenomena "Generasi Stroberi/Instan" yang kurang tangguh menghadapi tekanan.

Direktorat PAUD menekankan bahwa pengasuhan responsif (responsive caregiving) adalah kunci perkembangan optimal otak anak, dan peran orang tua adalah fondasi utama sebagai guru pertama dan utama, pembangun rasa aman, serta teladan bagi anak.

Kemen PPPA Soroti Pengasuhan Berbasis HAK Anak 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) berjudul "PENGASUHAN POSITIF BERBASIS HAK ANAK" data dan statistik kunci mengenai situasi anak di Indonesia:

1. Kekerasan terhadap Anak Sangat Tinggi:

 * Satu dari dua anak (50,78%) di Indonesia yang berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.

 * Persentase pengalaman kekerasan pada anak usia 13-17 tahun berdasarkan bentuknya adalah:

   * Kekerasan emosional: 43,17% (laki-laki) dan 47,82% (perempuan).

   * Kekerasan fisik: 21,22% (laki-laki) dan 15,56% (perempuan).

   * Kekerasan seksual: 8,34% (laki-laki) dan 8,82% (perempuan).

2. Isu Kesehatan Mental dan Pengasuhan:

 * Satu dari tiga remaja (34,9%) berusia 10-17 tahun memiliki masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.

 * Hanya 2,6% dari remaja dengan masalah kesehatan mental yang pernah mengakses layanan dukungan atau konseling dalam 12 bulan terakhir.

 * Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai "fatherless country" di dunia, yang menunjukkan minimnya peran ayah dalam pengasuhan anak.

 * Sebanyak 2,85% balita (0-4 tahun) di Indonesia masih mendapatkan pengasuhan yang tidak layak (BPS, 2023).

3. Pemenuhan Hak Dasar Anak:

 * Capaian Indeks Perlindungan Anak (IPA), Indeks Pemenuhan Hak Anak (IPHA), dan Indeks Perlindungan Khusus Anak (IPKA) pada tahun 2023 belum membaik seperti kondisi sebelum pandemi, meskipun menunjukkan kenaikan sejak 2021.

 * Angka stunting pada balita menurun dari 24,4% (2021) menjadi 21,5% (2023).

 * Sebanyak 8,21% anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran (BPS, 2023).


Eko B Harsono 


Berita Selanjutnya
Komitmen Kemendes PDTT Dukung Wajib Belajar 13 Tahun, Siapkan Dana Insentif Guru PAUD dan Sediakan APE di Satuan PAUD Desa
Berita Sebelumnya
Warga Sumatera Barat Gugat Negara atas Kelalaian dalam Bencana Ekologis yang terjadi

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar