Cari

Pratikno: “AI Akan Mendisrupsi Birokrasi dan Demokrasi, Tapi Kita Harus Siap”



Schoolmedia News Jogyakarta == Aula Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) dipenuhi ratusan mahasiswa baru pada Selasa (21/10/2025) pagi. Di tengah suasana akademik yang penuh semangat, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno hadir bukan sekadar sebagai pejabat negara, melainkan juga sebagai alumnus UGM yang ingin mengajak generasi muda berpikir ulang tentang masa depan birokrasi di era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).

“Teori birokrasi kini dibuat semakin tunggang-langgang dengan menguatnya Artificial Intelligence,” ujarnya membuka kuliah umum di hadapan mahasiswa baru Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM. “AI mengambil alih fungsi analitik manusia. Sekarang kecerdasannya sudah di atas 130, dan itu akan mendisrupsi kerja birokrasi, bahkan institusi demokrasi.”

Pernyataan Pratikno bukan sekadar peringatan, tapi refleksi atas realitas birokrasi Indonesia yang tengah berhadapan dengan dua arus besar: desentralisasi dan digitalisasi.
Di satu sisi, desentralisasi menciptakan lapisan kewenangan dan kepentingan politik antara pusat dan daerah yang membuat birokrasi menjadi rumit dan panjang. Di sisi lain, kemajuan teknologi justru menuntut struktur pemerintahan yang lebih ramping, cepat, dan efisien.

“Kita punya politisi pusat dan politisi daerah, birokrasi pusat dan birokrasi daerah. Semua saling terkait tapi membawa dinamika dan kepentingan yang berbeda. Ini menciptakan kompleksitas dalam hirarki birokrasi kita,” kata Pratikno.

Dengan kata lain, birokrasi Indonesia sedang berdiri di simpang jalan antara tradisi administrasi lama yang hirarkis dan tuntutan efisiensi digital yang cair.

Meski menimbulkan tantangan, Pratikno melihat sisi optimistis dari kemajuan teknologi. Menurutnya, AI dan digitalisasi justru membuka peluang besar untuk mengurai benang kusut birokrasi Indonesia.

“Sekarang organisasi bisa lebih relatif flat. AI bisa mengambil alih fungsi administratif dan analitik yang dulunya manual. Ini bisa membuat birokrasi lebih efisien dan fokus pada pengambilan kebijakan strategis,” jelasnya.

Jika dulu pejabat harus melewati rantai panjang koordinasi dari Eselon I hingga IV, kini proses itu bisa dipangkas lewat sistem digital terpadu. Pengumpulan data, analisis kebijakan, hingga pelayanan publik bisa dilakukan secara otomatis, cepat, dan terukur.

Namun, peluang ini datang bersama risiko besar. Ketika algoritma mulai menggantikan analisis manusia, siapa yang akan memastikan keputusan AI tetap adil, etis, dan berpihak pada rakyat?

Etika Transpransi dan Keseimbanga 

Pratikno mengingatkan bahwa penggunaan AI tidak boleh hanya dilihat sebagai persoalan teknis, melainkan juga politik dan etika. Ia bahkan menyebut istilah “The Politics of AI” sebagai tantangan baru dalam tata kelola pemerintahan.

“Begitu saya pindah ke Kemenko PMK, saya langsung membentuk Gugus Tugas AI. Hampir semua urusan di Kemenko PMK—pendidikan, kesehatan, keluarga, kesehatan mental, bencana, kebudayaan, karakter—semuanya terdampak,” ujarnya.

Menurutnya, tantangan birokrasi ke depan akan berkisar pada tiga hal utama:

  1. Keseimbangan antara manusia dan mesin.
    AI bisa mempercepat proses, tetapi tanpa kontrol manusia, bisa muncul bias atau keputusan yang tidak manusiawi.

  2. Etika dan tata kelola teknologi.
    Pemerintah perlu memastikan AI tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik atau diskriminasi kebijakan.

  3. Transformasi budaya birokrasi.
    Birokrat harus belajar menjadi lebih adaptif, kolaboratif, dan berbasis data, bukan sekadar mengikuti prosedur administratif.

Menutup kuliah umumnya, Pratikno menyerukan pentingnya reformasi mental birokrasi. Menurutnya, kecerdasan buatan tidak akan menggantikan manusia yang memiliki empati, integritas, dan kepekaan sosial—nilai-nilai yang menjadi fondasi pelayanan publik.

“Teknologi boleh semakin pintar, tapi nilai kemanusiaan tidak boleh hilang. AI harus kita kendalikan, bukan sebaliknya,” tegasnya.

Ia pun berpesan agar mahasiswa UGM, khususnya dari Fisipol, menjadi generasi intelektual yang kritis terhadap dampak teknologi dan siap menjadi penggerak reformasi birokrasi Indonesia di era digital.

“AI akan mendisrupsi birokrasi dan demokrasi, tapi manusia yang cerdas, beretika, dan berpihak pada rakyat akan tetap memegang kendali,” pungkasnya disambut tepuk tangan panjang mahasiswa.

Kuliah umum Pratikno bukan hanya tentang teknologi, melainkan tentang masa depan negara di tengah revolusi digital. Di satu sisi, AI membuka peluang efisiensi luar biasa; di sisi lain, ia mengancam sistem birokrasi tradisional yang masih kaku dan tertutup.
Persoalan terbesarnya bukan pada mesin, melainkan pada manusia—apakah para birokrat Indonesia siap berubah?

iga Tantangan Utama Birokrasi Indonesia di Era AI

  1. ⚙️ Transformasi Struktur dan Budaya Organisasi
    Birokrasi Indonesia selama ini dibangun dalam model hierarkis dan berlapis. AI dan otomasi menuntut struktur yang lebih “flat” dan kolaboratif. Tantangannya: bagaimana mengubah kultur birokrat dari sekadar pelaksana aturan menjadi pengambil keputusan berbasis data.

  2. 🧭 Etika dan Tata Kelola Teknologi
    Implementasi AI dalam pelayanan publik berpotensi menimbulkan bias algoritmik jika tidak diawasi dengan prinsip keadilan dan transparansi. Birokrasi perlu membangun kerangka etika nasional AI yang menjamin hak privasi dan perlindungan warga.

  3. 👥 Reposisi Peran Manusia dalam Sistem Digital
    Otomasi akan menggantikan sebagian fungsi administratif, tapi empati, integritas, dan moralitas tetap milik manusia. Tantangan terbesar birokrasi adalah menciptakan ASN yang melek digital namun tetap berorientasi pada pelayanan publik.

    Tim Schoolmedia

Berita Selanjutnya
Hari Santri 2025 Dari Resolusi Jihad hingga Revolusi Ilmu dan Gizi di Era Prabowo
Berita Sebelumnya
Alarm! 20,9% Anak Indonesia Tumbuh Tanpa Peran Ayah Aktif, Mendukbangga Wihaji Soroti Hambatan Emosi dan Kognitif

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar