
Schoolmedia News Jakarta == Menginjak usia kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 tahun, seharusnya bangsa ini merayakan dengan bangga capaian besar dalam kesejahteraan rakyat, keadilan hukum, dan tata kelola pemerintahan.
Namun, alih-alih menjadi ruang syukur dan refleksi atas kemajuan, peringatan ini justru menghadirkan rasa getir: korupsi semakin merajalela, sementara pemerintah terkesan ikut mengkondisikan praktik tersebut melalui kebijakan dan lembaga yang melegitimasinya.
Dalam pidato kenegaraannya pada Sidang Tahunan MPR RI, 15 Agustus lalu, Presiden Prabowo Subianto mengakui bahwa bangsa ini harus berani melihat penyakit di tubuh sendiri. Penyakit itu tak lain adalah korupsi.
Namun, fakta di lapangan memperlihatkan ironi: di tengah retorika perlawanan terhadap korupsi, negara justru memperlihatkan wajah yang memberi ruang bagi praktik busuk tersebut.
Kasus amnesti dan abolisi yang diberikan Presiden kepada terdakwa korupsi Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong (31 Juli 2025) menjadi contoh nyata bagaimana kepentingan elite mengalahkan kepentingan rakyat.
Langkah yang diambil sebelum proses hukum inkracht ini bukan hanya melemahkan efek jera, tetapi juga memberi sinyal berbahaya bahwa koruptor bisa mendapat perlindungan politik.
ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat dari 2015 hingga 2023, rata-rata vonis koruptor hanya 3 tahun 7 bulan, jauh dari vonis maksimal yang diatur undang-undang.
Lebih parah lagi, 682 terdakwa kasus korupsi divonis bebas/lepas, sementara kerugian negara yang tercatat mencapai Rp92 triliun. Angka ini jelas menggambarkan lemahnya komitmen penegakan hukum dan minimnya keberpihakan negara terhadap rakyat yang menanggung beban pajak.
RUU Perampasan Aset, yang seharusnya menjadi instrumen penting memulihkan kerugian negara, hingga kini tidak kunjung dibahas dan disahkan. Mandeknya pembahasan ini menjadi tanda kuat bahwa pemerintah tidak serius memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
Kebijakan populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) menyerap Rp355 triliun pada 2026, atau 44% dari total anggaran pendidikan Rp757,8 triliun.
Ironisnya, anggaran jumbo ini justru mengorbankan sektor penting lain: peningkatan kualitas guru, fasilitas sekolah, hingga akses pendidikan di daerah 3T.
ICW mencatat sederet masalah dalam implementasi MBG: keterlambatan pengiriman makanan, kualitas buruk, minim transparansi, hingga pelibatan aparat TNI. Lebih jauh, MBG dinilai rawan diselewengkan menjadi proyek pencitraan politik.
Kebijakan ini mengingatkan pada kasus lama seperti pengadaan Chromebook, dana haji, hingga pungli perizinan. Pola yang sama berulang: anggaran besar digelontorkan, tetapi minim transparansi dan penuh potensi penyimpangan. Bila sejarah tidak dijadikan pelajaran, maka program baru seperti PHTC (Pendidikan Tinggi dan Teknologi Cerdas) di era Prabowo pun berisiko terjebak dalam praktik serupa.
Korupsi berjalan seiring dengan penyempitan ruang sipil. Amnesty International melaporkan dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, terjadi 17 pembunuhan di luar hukum oleh aparat dan lebih dari 100 warga ditangkap atau dikriminalisasi hanya karena menyuarakan kritik. Kasus penggunaan gas air mata kedaluwarsa dalam aksi warga Pati adalah contoh bagaimana represi dipakai untuk membungkam suara rakyat.
Kebebasan sipil yang terkekang menjadikan praktik korupsi semakin sulit diawasi. Ketika rakyat takut bersuara, maka kekuasaan berjalan tanpa konspirasi.
Tan Malaka pernah menegaskan, ââ¬ÅKemerdekaan sejati hanya ada bila rakyat berani berpikir, bersuara, dan melawan segala bentuk penindasan.ââ¬Â Korupsi adalah bentuk penindasan gaya baru. Ia merampas hak rakyat, menutup akses pendidikan, memperlebar jurang ketidakadilan, dan menjadikan pajak sebagai beban tanpa manfaat nyata.
Refleksi 80 tahun kemerdekaan ini harus menjadi titik balik. Bukan sekadar seremoni, melainkan momentum konsolidasi rakyat untuk bersama-sama melawan korupsi yang telah mengakar. Tanpa kekuatan kolektif, agenda pemberantasan korupsi hanya akan menjadi slogan kosong, sementara rakyat terus dipaksa membayar harga dari pesta elite politik.
ââ¬ÅKemerdekaan yang sejati hanya bisa hadir bila bangsa ini berani memutus lingkaran setan korupsi, menolak impunitas, dan mengembalikan negara pada jalur keberpihakan terhadap rakyat.ââ¬Â
Tamahan Data IC
Indonesia meraih peningkatan sedikit pada IPK, dari 34 menjadi 37 naik 3 poin menempatkannya di peringkat 99 dari 180 negara terkorup di dunia.
Meskipun ada kenaikan, sejumlah indikator justru menunjukkan pelemahan, terutama dalam praktik korupsi politik, pengelolaan sumber daya publik, serta risiko penyuapan dalam ekspor/impor dan kontrak publik
ICW menilai bahwa peningkatan ini belum cukup menggambarkan perbaikan signifikan, mengingat indikator baru dari WEF juga dipengaruhi faktor respon survei, sementara data Global Insight sempat menurun drastis
Rata-rata hukuman penjara terdakwa korupsi adalah 3 tahun 4 bulan
Jumlah terdakwa yang divonis bebas atau lepas mencapai 59 orang terdiri dari 48 dibebaskan dan 11 diputus lepas
Total kerugian negara yang tercatat selama pemantauan mencapai Rp56 triliun
Pengenaan denda rata-rata hanya sekitar Rp180 juta per terdakwa
Disparitas hukuman masih ada: mayoritas hukumannya ringan (0 - 4 tahun), korban berat sangat sedikit
ICW mencatat bahwa pada tahun 2023, KPK hanya menangani 48 kasus dengan total tersangka 147, menurun dibandingkan tahun 2018 saat sebelum revisi UU KPK yang belum mengikat, ketika jumlah kasus mencapai 57 dengan 261 tersangka
Perubahan status KPK menjadi bagian dari eksekutif dan dukungan terhadap penghapusan mekanisme OTT dikhawatirkan melemahkan efektivitas lembaga dalam memberantas korupsi
Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2024 mencatat bahwa 82% pemerintah provinsi dan 67% pemerintah kabupaten/kota termasuk kategori rentan korupsi dalam pengelolaan PBJ
Data ICW dari tahun 2019ââ¬â2023 menunjukkan 1.189 kasus korupsi PBJ dengan total tersangka 2.896 orang, potensi kerugian negara mencapai Rp47,18 triliun, ditambah potensi suap sebesar Rp439,71 miliar
Perpres PBJ 2025 justru dinilai melemahkan reformasi karena membuka ruang diskresi lebih besar dan tidak memperbaiki sistem, melainkan memungkinkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan
Pada 1 Juli 2025, ICW bersama sejumlah lembaga menyerahkan keterangan Amici Curiae pada Mahkamah Konstitusi untuk menolak permohonan tiga mantan terdakwa korupsi yang ingin menghapus Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
ICW berargumentasi bahwa pasal-pasal tersebut masih penting untuk menjerat modus korupsi yang semakin kompleks, serta memiliki dasar filosofis dan historis yang kuat untuk tetap dipertahankan
IPK 2024 masih rendah, walau naik 3 poin, tapi tidak cukup kuat memperlihatkan perbaikan antipublik pelemahan masih terjadi di beberapa indikator penting
Tren vonis lemah sepanjang 2023: rata-rata hukuman hanya 3 tahun 4 bulan; denda rendah sekitar Rp180 juta; terdakwa dibebaskan masih banyak; kerugian negara besar (Rp56 triliun)
KPK melemah pasca-revisi UU: penanganan kasus turun drastis dari 2018 ke 2023
PBJ tetap rentan: sebagian besar daerah tergolong rentan; kasus dan kerugian serius masih terus terjadi; Perpres 2025 tidak memperbaiki tapi malah memperlemah reformasi
ICW aktif melawan upaya melemahkan hukum, termasuk dalam kasus uji materi Pasal UU Tipikor
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar