Punahnya Sejumlah Bahasa Daerah di Indonesia Jadi Alarm Bahaya, Kolaborasi Lintas Sektor Digencarkan
Jakarta, 28 Juli 2025 == Indonesia kembali menghadapi kenyataan pahit terkait warisan budayanya. Sejumlah bahasa daerah dinyatakan punah akibat minimnya penutur aktif, rendahnya dokumentasi, dan berkurangnya pewarisan bahasa secara turun-temurun. Menurut data terbaru Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), dari 718 bahasa daerah yang tercatat, puluhan di antaranya sudah tidak memiliki penutur asli, sementara ratusan lainnya berada di ambang kepunahan.
Fenomena ini menjadi alarm bagi semua pihak akan pentingnya pelestarian bahasa daerah sebagai bagian dari identitas budaya bangsa. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga cermin sejarah, pengetahuan lokal, dan nilai-nilai leluhur masyarakat Indonesia yang beraneka ragam.
Menanggapi kondisi tersebut, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Badan Bahasa, menggencarkan pendekatan Kolaborasi Lintas Sektor dalam mencegah kepunahan bahasa daerah. Salah satu upaya konkret adalah penyelenggaraan kuliah umum bertajuk âKeanekaragaman dan Kelestarian Bahasa di Indonesia: Mengeksplorasi Variasi Regional dan Pelindungan Bahasa, yang digelar secara hibrida di Aula Sasadu, Gedung M. Tabrani, serta disiarkan langsung melalui kanal YouTube Badan Bahasa.
Acara ini disambut antusias dengan kehadiran lebih dari 700 peserta dari berbagai latar belakang  akademisi, mahasiswa, pegiat budaya, hingga masyarakat umum. Hadir sebagai pembicara adalah tokoh-tokoh penting dalam pelestarian bahasa, seperti Hafidz Muksin (Kepala Badan Bahasa), Nazarudin (akademisi Universitas Indonesia), dan Marian Klamer (pakar linguistik Universitas Leiden).
Dalam sambutannya, Hafidz Muksin menekankan bahwa kolaborasi lintas sektor adalah kunci utama dalam menyelamatkan bahasa daerah. âKami sangat mengapresiasi kerja sama ini. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, tokoh masyarakat, akademisi, serta lembaga pendidikan sangat penting agar warisan leluhur kita tidak punah,'' tegas Hafidz.
Hafidz juga menyampaikan apresiasi atas antusiasme peserta dan keterlibatan para narasumber, yang menurutnya menunjukkan tumbuhnya kepedulian masyarakat terhadap pelestarian bahasa daerah. âKeberagaman bahasa kita seperti taman kota yang penuh warna. Masing-masing warna mewakili karakter masyarakat dari berbagai penjuru nusantara,'Â tambahnya.
Salah satu pesan penting yang mengemuka adalah peran strategis generasi muda sebagai pelestari bahasa ibu. Mereka diharapkan aktif dalam kegiatan budaya, lomba bahasa daerah, serta memanfaatkan media digital sebagai ruang ekspresi kreatif. âGenerasi muda adalah pilar utama dalam pelestarian bahasa daerah,'Â ungkap Hafidz.
Dalam diskusi, juga dibahas tantangan utama pelestarian, seperti dominasi Bahasa Indonesia dan asing di ruang formal, keterbatasan materi pembelajaran bahasa daerah, dan minimnya tenaga pengajar di daerah terpencil. Namun berbagai inisiatif terus dikembangkan, seperti permainan edukatif lokal, kamus digital, hingga sistem penerjemah otomatis.
Profesor Marian Klamer menyoroti ekologi linguistik Indonesia yang sangat kompleks. Ia mengangkat contoh Pulau Pantar di NTT yang memiliki 11 bahasa lokal, menandakan keberagaman luar biasa dalam wilayah sempit. Sementara Nazarudin memaparkan studi kasus bahasa Oirata di Maluku yang tengah dilestarikan lewat dokumentasi dan kamus lokal hasil inisiatif masyarakat.
Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Dora Amalia, yang memandu acara ini, menutup dengan pesan penuh harapan: âSemangat kolaborasi, inovasi, dan kecintaan terhadap bahasa ibu serta bahasa Indonesia harus terus kita jaga. Hanya dengan itulah bahasa kita tidak hanya terlindungi, tapi juga berkembang sebagai warisan yang hidup.
Dengan semangat kolaborasi lintas sektor, diharapkan Indonesia tidak hanya menjadi negara dengan jumlah bahasa terbanyak di dunia, tetapi juga sebagai negara yang mampu menjaga dan mengembangkan kekayaan bahasanya untuk generasi mendatang.
Tinggalkan Komentar