Cari

Pejuang Lingkungan Papua Vincen Kwipalo Melawan: Dari Rimba Merauke Gugat Praktik Korporasi



Schoolmedia News Jakarta == Dengan mengenakan noken dan kemeja adat bermotif kulit kayu, Vincent Kwipalo melangkah mantap menuju gedung Bareskrim Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta.

Di tangannya, tokoh adat dari Kampung Blandin Kakayo, Distrik Jagebob, Kabupaten Merauke itu membawa setumpuk dokumen: bukti pelaporan terhadap PT Murni Nusantara Mandiri (PT MNM), perusahaan perkebunan tebu yang ia tuding telah menyerobot, menggusur, dan menghancurkan hutan adat Marga Kwipalo.

Sejak tahun 2024, Vincent dikenal sebagai pejuang lingkungan di tanah Papua Selatan. Sebagai pemimpin Marga Kwipalo, ia berdiri paling depan menolak kehadiran PT MNM di wilayah adatnya.

“Sampai kapan pun sejengkal tanah tidak kami berikan kepada PT Murni Nusantara Mandiri,” tegasnya. “Kami tahu luas wilayah kami. Kalau hutan habis, kami dan anak cucu mau ke mana?”

Bagi Marga Kwipalo, hutan bukan sekadar hamparan pepohonan. Di sanalah terdapat dusun pangan, rawa, dan sungai yang menjadi sumber makanan dan obat-obatan.

Hutan-hutan keramat seperti Cacibi, Abakin, Agodai, dan Congyap menyimpan kisah leluhur serta menjadi tempat berlangsungnya ritual adat.

“Itu tempat yang suci. Kalau digusur, bukan hanya alam yang rusak, tapi juga roh leluhur kami akan terganggu,” ujar Vincent suatu kali kepada jurnalis lokal di Merauke.

Namun, kehadiran PT MNM mengubah segalanya. Dengan alasan perluasan perkebunan tebu, perusahaan mulai mengukur, mematok, dan menggusur lahan tanpa musyawarah dengan masyarakat adat. Bahkan, di dusun Muckai, masyarakat menemukan pembangunan fasilitas militer yang menimbulkan rasa takut di tengah warga.

Vincent dan marga Kwipalo telah berupaya mempertahankan haknya melalui jalur adat: memasang sasi permater — tanda larangan memasuki wilayah adat — serta memberi cat merah di batas-batas tanah. Namun simbol-simbol adat itu diabaikan.

“Mereka datang dengan alat berat, menghancurkan hutan, tanpa bicara dengan kami. Kami hanya bisa menangis melihat dusun kami diratakan,” katanya lirih.

Berbulan-bulan lamanya Vincent melaporkan perampasan lahan adat ini ke berbagai lembaga. Dari pemerintah daerah, militer, hingga Komnas HAM. Namun semua pintu terasa tertutup. “Kami sudah menyampaikan laporan, tapi tidak ada tanggapan,” keluhnya.

Hingga akhirnya, pada 4 November 2025, ia mengambil langkah yang lebih besar: melaporkan PT Murni Nusantara Mandiri ke Mabes Polri atas dugaan tindak pidana penggelapan tanah adat dan tindak pidana perkebunan. Ia datang didampingi para advokat dari Koalisi Solidaritas Merauke — di antaranya Emanuel Gobay dan Asep Komarudin dari Greenpeace Indonesia.

Laporan itu diterima secara resmi oleh Kasub Penerimaan Laporan Bareskrim Polri, Yudi Bintoro, dengan nomor LP/B/544/XI/2025/SPKT/Bareskrim Polri.

“Hari ini kami laporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan PT Murni Nusantara Mandiri, karena mereka beroperasi tanpa hak guna usaha, tanpa persetujuan masyarakat adat, dan melanggar pasal 385 KUHP serta pasal 55 dan 107 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan,” ujar Emanuel Gobay di hadapan wartawan.

Ironis Tanah Adat Yang Diakui Hukum Tapi Tidak Dihotmati Negara

Marga Kwipalo bukan kelompok fiktif. Mereka merupakan bagian dari masyarakat adat Malind Anim, suku besar yang secara hukum diakui dalam konstitusi UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua. Pengakuan formal juga telah datang dari Bupati Merauke melalui Surat Keputusan Nomor 100.3.3.2/1413/Tahun 2024 yang menegaskan pengakuan, perlindungan, dan penghormatan hukum adat Suku Yei — termasuk Marga Kwipalo.

Namun pengakuan hukum itu seolah tak berarti di lapangan. “Tanpa ada musyawarah dengan Vincent Kwipalo selaku pemilik tanah adat, PT MNM langsung memasuki wilayah adat, menghancurkan hutan, merusak tanaman, dan menghilangkan lahan pangan serta tempat berburu,” ungkap Asep Komarudin.

Bagi masyarakat adat, tindakan perusahaan itu bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga penghinaan terhadap martabat mereka. “Ketika kami pasang tanda adat, itu bukan simbol kosong. Itu berarti wilayah itu hidup, dijaga, dan dihormati. Tapi perusahaan menginjaknya begitu saja,” kata salah satu tetua adat, Yonas Kwipalo, lewat sambungan telepon.

Sejak menolak kehadiran perusahaan, Vincent sering didatangi oleh orang-orang tak dikenal. Beberapa di antaranya berseragam militer. Tekanan psikologis dan intimidasi pun datang silih berganti. “Saya tidak takut. Saya hanya mau membela tanah yang dititipkan leluhur,” ucapnya mantap.

Ketegangan di lapangan meningkat. Konflik horizontal antar-marga mulai terasa karena sebagian warga menerima tawaran kerja dari perusahaan, sementara kelompok lain menolak keras. “Perusahaan membuat kami terpecah. Ini strategi lama: adu domba untuk mengambil tanah,” ujar Emanuel Gobay.

Harapan Baru Dari Ruang Hukum 

Dalam laporannya, Koalisi Solidaritas Merauke meminta Kapolri tidak hanya menerima laporan tetapi juga segera menindaklanjuti kasus ini. Mereka juga mendesak agar seluruh kegiatan PT MNM dihentikan sementara, dan memberikan perlindungan hukum bagi Vincent Kwipalo serta masyarakat adat Kwipalo sesuai Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menjamin pejuang lingkungan tidak dapat dikriminalisasi.

“Perjuangan ini bukan hanya soal satu marga, tapi tentang bagaimana negara memperlakukan masyarakat adatnya,” kata Asep Komarudin. Ia menambahkan, jika hukum berpihak pada keadilan, maka laporan Vincent bisa menjadi pintu bagi masyarakat adat lain yang mengalami hal serupa di Papua.

Perjalanan Vincent Kwipalo dari hutan Cacibi di Blandin Kakayo hingga ke gedung megah Mabes Polri adalah perjalanan panjang seorang warga adat yang menuntut haknya. Ia tidak membawa senjata, melainkan keyakinan bahwa hukum seharusnya melindungi mereka yang menjaga alam.

“Saya datang bukan untuk mencari masalah,” tutup Vincent pelan. “Saya datang untuk menuntut keadilan bagi tanah, hutan, dan anak cucu saya. Karena kalau hutan kami hilang, kami pun hilang dari bumi ini.”

Tim Schoolmedia

Artikel Sebelumnya
Wawonii Melawan, Negara Kalah: Ketika Pulau Kecil Menang di Mahkamah Agung

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar