
Schoolmedia News Jakarta == Suara rakyat Wawonii akhirnya menembus dinding tebal kekuasaan. Setelah bertahun-tahun hidup di bawah ancaman tambang nikel, mereka menulis ulang peta perlawanan lingkungan di Indonesia.
Melalui Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 83 PK/TUN/TF/2025, Mahkamah Agung menolak permohonan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta PT Gema Kreasi Perdana (GKP)âanak usaha Harita Groupâdan menguatkan pencabutan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.
Kemenangan ini tak hanya menggugurkan izin tambang, tapi juga memukul balik paradigma pembangunan yang menumbalkan pulau-pulau kecil demi obsesi âhilirisasi nikelâ dan âtransisi energi hijauâ.
Negara Menumbalkan Pulau Kecil
Wawonii, pulau kecil seluas 867 kilometer persegi di Laut Banda, hanya tampak seperti noktah di peta Indonesia. Tapi di situlah 43 ribu jiwa menggantungkan hidup dari tanah, kebun, dan laut.
Tahun 2014, Menteri Kehutanan kala itu menerbitkan SK.576/Menhut-II/2014, memberi izin seluas 707 hektar untuk operasi tambang PT GKP.
Tak ada studi ekologi memadai. Tak ada konsultasi berarti dengan warga. Yang datang justru alat berat dan penggusuran. Kebun warga diratakan, sumber air mengering, laut berubah coklat keruh. Bahkan, puluhan warga dikriminalisasi karena menolak perusahaan masuk ke lahan mereka.
Negara seolah hadir bukan sebagai pelindung, tapi pelayan investasi. âMereka bilang ini proyek strategis nasional. Tapi apa artinya strategis kalau rakyat harus kehilangan rumah dan lautnya?â ujar La Niambo, tokoh warga Desa Roko-Roko Raya, ketika dihubungi JATAM dua tahun lalu.
Namun Wawonii tidak menyerah. Mereka menggugat, dibantu oleh jaringan advokat publik dari TAPaK (Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil), JATAM, WALHI, YLBHI, KIARA, hingga Trend Asia. Gugatan dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakartaâjalur yang memungkinkan rakyat menggugat keputusan pejabat negara.
Pada 7 Oktober 2024, Mahkamah Agung memutuskan: izin IPPKH PT GKP batal. Dalam amar putusannya, majelis hakim menulis kalimat penting yang kini menjadi tonggak moral baru:
âKepastian hukum investasi tidak dapat dijalankan dengan mengorbankan keselamatan rakyat, ekologi, dan kehidupan di pulau kecil.â
Beberapa bulan kemudian, Menteri Kehutanan menindaklanjuti putusan itu lewat SK Nomor 264/2025, yang secara resmi mencabut izin IPPKH PT GKP.
Masyarakat Wawonii Menang Dua Kali
Tapi perjuangan belum selesai. KLHK dan PT GKP mengajukan Peninjauan Kembali. Di tengah kelelahan panjang dan tekanan dari berbagai pihak, warga Wawonii menunggu dengan doa dan kecemasan. Hingga awal November ini, kabar itu datang: PK ditolak. Wawonii menang untuk kedua kalinya.
Menurut Muhammad Jamil dari JATAM, kemenangan ini bukan sekadar urusan legalitas izin tambang. âIni soal hidup dan mati. Bagi warga pulau kecil, laut dan tanah bukan hanya sumber ekonomi, tapi bagian dari tubuh dan identitas. Kalau itu dirusak, sama saja dengan membunuh mereka,â ujarnya.
Jamil menyebut kemenangan Wawonii sebagai peringatan keras bagi pemerintah yang selama ini gemar mengorbankan wilayah ekologis rapuh atas nama investasi strategis. âTransisi energi tidak boleh jadi dalih untuk menumbalkan rakyat,â tegasnya.
Larangan tambang di pulau kecil sejatinya sudah diatur tegas. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 menyatakan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil hanya boleh untuk konservasi, pendidikan, penelitian, budidaya laut, pariwisata, pertanian organik, dan pertahanan negara. Pertambangan jelas tidak termasuk.
Bahkan, Pasal 35 huruf k dari undang-undang yang sama menegaskan larangan aktivitas pertambangan yang dapat merusak lingkungan di wilayah pesisir dan pulau kecil. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 pun memperkuat norma ini: pulau kecil adalah wilayah perlindungan khusus.
Artinya, izin tambang di Wawonii sejak awal adalah pelanggaran terhadap hukum nasional.
Walau MA sudah menolak PK, warga Wawonii masih khawatir. Mereka khawatir tambang lain akan datang dengan nama dan izin baru. Mereka juga menunggu langkah tegas pemerintah mencabut semua izin tambang di pulau kecil lain yang nasibnya serupa.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ada 226 izin tambang beroperasi di 477 pulau kecil di 21 kabupaten/kota. âPemerintah tidak bisa menutup mata. Jika tidak dievaluasi, Wawonii hanya akan jadi satu bab kecil dari kisah kehancuran ekologis nasional,â kata Teo Reffelsen dari WALHI.
Pemerintah Harus Moratorium Izin Tambang
Ia mendesak pemerintah melakukan moratorium nasional izin tambang di pulau kecil, menyebut aktivitas semacam itu sebagai âultra hazardous activityâ â kegiatan yang secara inheren berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
Bagi Edy K. Wahid dari YLBHI, putusan MA kali ini adalah tonggak penting penegakan hak asasi manusia. âNegara diwajibkan melindungi hak atas penghidupan yang layak. Itu termasuk melindungi pulau kecil dari industri ekstraktif yang menghancurkan ruang hidup rakyat,â ujarnya.
Edy menambahkan, kemenangan hukum ini seharusnya menjadi pijakan untuk meninjau ulang seluruh kebijakan hilirisasi dan transisi energi yang selama ini dijadikan pembenaran bagi ekspansi tambang nikel. âHilirisasi tidak boleh jadi kedok baru untuk perampasan ruang hidup,â katanya.
Ia juga mendesak pemerintah dan aparat hukum mengusut dugaan tindak pidana lingkungan serta kerugian negara akibat operasi PT GKP di Wawonii. âKeadilan tidak boleh berhenti di meja pengadilan administratif,â tegasnya.
Kemenangan rakyat Wawonii di Mahkamah Agung bukan hanya soal sebuah izin tambang yang dicabut. Ia adalah cermin dari wajah republik â apakah negara masih berpihak pada rakyat kecil dan hukum, atau tunduk pada kepentingan modal.
Pulau-pulau kecil seperti Wawonii adalah garis pertahanan terakhir Indonesia dari krisis iklim dan kerakusan industri ekstraktif. Ketika negara gagal menjaganya, rakyatlah yang turun tangan.
Dan kali ini, sejarah mencatat: dari sebuah pulau kecil di Laut Banda, rakyat berhasil membuat Mahkamah Agung berpihak pada kehidupan.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar