Schoolmedia News Jakarta == Sebanyak 12 tokoh antikorupsi, nama-nama yang selama ini dikenal konsisten mengawal integritas hukum dan demokrasi, mengajukan amicus curiae atau sahabat pengadilan.
Dokumen itu bukan sekadar catatan hukum, melainkan seruan agar pengadilan tidak melupakan prinsip dasar: keadilan hanya bisa ditegakkan dengan bukti yang jelas, bukan tuduhan yang sumir.
Permohonan praperadilan Nadiem, yang teregister dengan nomor 119/Pid.Pra/2025/PN Jkt.Sel, menyoal penetapan dirinya sebagai tersangka dalam proyek pengadaan laptop di Kemendikbudristek periode 2019 - 2022.
Jaksa menyatakan ada dua alat bukti yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka. Namun, para amici berpendapat sebaliknya: bukti itu tidak memenuhi standar reasonable suspicion atau kecurigaan yang beralasan.
Penetapan tersangka semestinya tidak hanya mengandalkan dua alat bukti yang kabur. Itu harus berdiri di atas pondasi bukti permulaan yang jelas, yang kuat, bukan asumsi, demikian isi dokumen yang dibacakan di ruang sidang.
Nama-nama yang hadir dalam amicus curiae ini bukan orang sembarangan. Mereka adalah tokoh yang rekam jejaknya tidak pernah jauh dari perjuangan melawan korupsi:
-
Amien Sunaryadi, Pimpinan KPK 2003ââ¬â2007
-
Erry Riyana Hardjapamekas, Pimpinan KPK 2003ââ¬â2007
-
Arief T. Surowidjojo, Pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
-
Arsil, Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan
-
Betti Alisjahbana, Juri Bung Hatta Anti Corruption Award
-
Goenawan Mohamad, penulis dan pendiri Majalah Tempo
-
Hilmar Farid, akademisi dan aktivis
-
Marzuki Darusman, Jaksa Agung 1999ââ¬â2001
-
Nur Pamudji, Direktur Utama PLN 2011ââ¬â2014
-
Natalia Soebagjo, Anggota International Council of Transparency International
-
Rahayu Ningsih Hoed, advokat dan pegiat antikorupsi
-
Todung Mulya Lubis, advokat senior dan pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW)
Kehadiran mereka membawa bobot moral sekaligus politik. Seakan publik diingatkan bahwa kasus ini bukan hanya tentang Nadiem, tetapi juga tentang arah penegakan hukum di negeri ini.
Selepas sidang, Natalia Soebagjo menegaskan bahwa amicus curiae ini diajukan demi menjaga kualitas sistem peradilan.
Kami mengharapkan penentuan seseorang sebagai tersangka dijatuhkan dengan tuduhan yang jelas, bukan yang sumir. Harus ada bukti permulaan yang kuat dan terang, ujarnya.
Pesan itu seolah menohok praktik penegakan hukum yang kerap terburu-buru menetapkan tersangka, sementara proses pembuktian dan transparansi masih jauh dari terang benderang.
Bagi publik, langkah 12 tokoh ini menjadi simbol bahwa peradilan bukan sekadar urusan prosedur. Ia adalah panggung moral, tempat keadilan diuji di hadapan rakyat.
Bagi Nadiem, dukungan ini adalah nafas tambahan dalam menghadapi kasus yang bisa meruntuhkan reputasinya sebagai reformis pendidikan. Namun di balik semua itu, ada pesan yang lebih besar: jangan biarkan hukum digunakan sebagai alat, sebab ketika hukum kehilangan rasionalitasnya, yang runtuh bukan hanya seorang individu, melainkan kepercayaan publik terhadap negara.
Praperadilan ini mungkin hanya satu babak. Namun dengan hadirnya 12 sahabat pengadilan, babak ini menjadi lebih dari sekadar sengketa hukum âia berubah menjadi pertempuran nilai: antara hukum yang tegak di atas asas keadilan, atau hukum yang goyah oleh dugaan kepentingan.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar