Cari

253 Peserta Lemhannas Kritisi Program MBG, Soroti Efektivitas dan Tata Kelola Pendidikan Nasional



Schoolmedia News Jakarta == Auditorium Gadjah Mada, Lemhannas RI, Jakarta, Senin (29/9), menjadi ruang diskusi hangat ketika Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menyampaikan kuliah umum bertajuk “Menyiapkan SDM Unggul Menyongsong Indonesia Emas 2045” di hadapan 253 peserta Pendidikan Pemantapan Pimpinan Nasional (P3N) Angkatan XXVI Tahun 2025.

Mu’ti menekankan bahwa Indonesia memiliki empat modal besar menuju 2045: sumber daya alam, bonus demografi, kohesi sosial-politik, dan spiritualitas bangsa. Namun di balik optimisme tersebut, peserta dari berbagai unsur TNI, Polri, kementerian, akademisi, dunia usaha, hingga organisasi masyarakat menyoroti program prioritas Kemendikdasmen yang dinilai belum menyentuh akar persoalan pendidikan.

Salah satu isu paling banyak dikritisi adalah program prioritas nasional Makan Bergizi Gratis (MBG). Meski secara konsep dianggap mulia untuk mengatasi stunting dan gizi buruk, sejumlah peserta menilai implementasinya masih jauh dari ideal.

Beberapa catatan kritis yang muncul antara lain:

  1. Masalah distribusi dan kesiapan infrastruktur
    Banyak sekolah di daerah 3T belum memiliki kantin sehat, dapur, atau tenaga pengelola makanan. Jika MBG dipaksakan tanpa sarana memadai, risiko makanan basi, penyalahgunaan anggaran, hingga kualitas gizi yang tidak terjamin sangat tinggi.

  2. Rawan politisasi dan tumpang tindih program
    Peserta menilai MBG berpotensi dijadikan proyek populis yang lebih menonjolkan angka serapan anggaran ketimbang kualitas gizi. Di sejumlah daerah, program ini juga tumpang tindih dengan inisiatif lokal seperti dapur sekolah dan program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dari Dinas Kesehatan.

  3. Kurangnya pengawasan kualitas gizi
    Laporan dari sejumlah daerah pilot project menunjukkan makanan sering tidak sesuai standar gizi seimbang. Ada kasus nasi bungkus dengan lauk seadanya, atau camilan manis yang justru berisiko memicu obesitas alih-alih mengurangi stunting.

  4. Tidak menyelesaikan akar masalah
    Peserta menilai MBG seharusnya diintegrasikan dengan pendidikan keluarga, pola asuh, dan literasi gizi. Tanpa kesadaran orang tua dan lingkungan, makan bergizi di sekolah hanya bersifat sesaat.

Peserta Lemhannas juga menawarkan sejumlah solusi agar MBG benar-benar menyasar kebutuhan anak didik:

  • Audit dan pengawasan ketat: Membentuk mekanisme pengawasan independen yang melibatkan BPKP, lembaga profesi gizi, serta organisasi masyarakat sipil untuk memastikan kualitas dan efektivitas program.

  • Pemberdayaan UMKM pangan lokal: Menggandeng petani, nelayan, dan usaha kecil di sekitar sekolah agar bahan makanan segar, murah, dan sesuai kebutuhan gizi.

  • Integrasi lintas sektor: MBG tidak hanya tanggung jawab Kemendikdasmen, tetapi harus melibatkan Kemenkes, Kemensos, hingga pemerintah daerah.

  • Pendidikan literasi gizi di sekolah: Murid tidak hanya diberi makan, tetapi juga diajarkan pola makan sehat, pentingnya olahraga, dan cara memilih makanan bergizi.

  • Skema bertahap sesuai kesiapan sekolah: Prioritas diberikan pada daerah dengan tingkat stunting tinggi, sementara sekolah yang belum siap infrastruktur diberi waktu adaptasi.

Menanggapi kritik tersebut, Abdul Mu’ti mengakui perlunya evaluasi dan kolaborasi lebih luas. Ia menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya soal transfer ilmu, tetapi pembangunan peradaban. Karena itu, visi “Pendidikan Bermutu untuk Semua” membutuhkan partisipasi semesta—dari sekolah, keluarga, masyarakat, hingga media.

“Generasi emas 2045 hanya mungkin lahir jika kita berani mengkritisi dan memperbaiki setiap kebijakan pendidikan. MBG bukan sekadar program bagi-bagi makanan, melainkan harus menjadi gerakan kebangsaan untuk memastikan anak-anak Indonesia sehat, cerdas, dan berkarakter,” pungkasnya.


Dalam kesempatan tersebut, Abdul Mu’ti menekankan bahwa Indonesia memiliki modal besar untuk mewujudkan cita-cita menjadi bangsa maju pada 2045. Modal tersebut mencakup kekayaan sumber daya alam yang melimpah, bonus demografi dengan mayoritas penduduk usia produktif, kohesi sosial-politik yang kuat dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, serta spiritualitas bangsa yang menjadi kekuatan menghadapi berbagai krisis. “Empat modal ini harus diperkuat dengan rasa percaya diri agar Indonesia tidak hanya optimis, tetapi juga siap menghadapi tantangan global,” ujarnya.
 
Lebih lanjut, Mendikdasmen menguraikan setidaknya tiga tantangan utama dunia pendidikan yang harus segera diatasi. Pertama adalah pemerataan akses pendidikan, khususnya bagi daerah 3T yang hingga kini masih menghadapi keterbatasan sarana dan tenaga pendidik. Kedua adalah kesenjangan mutu pendidikan yang masih terlihat antarwilayah, antara sekolah negeri dan swasta, maupun antara kawasan perkotaan dan pedesaan. Ketiga adalah pembentukan karakter generasi muda, yang menghadapi tantangan serius seperti fenomena strawberry generation yang rentan terhadap tekanan, kecanduan gawai, masalah kesehatan seperti obesitas dan stunting, hingga perilaku berisiko lainnya seperti paparan konten negatif di internet.
 
Untuk menjawab tantangan tersebut, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menetapkan sejumlah program prioritas. Program tersebut di antaranya adalah revitalisasi satuan pendidikan dan percepatan perbaikan infrastruktur sekolah, digitalisasi pembelajaran melalui penyediaan Interactive Flat Panel(IFP), laptop, materi ajar digital, dan pelatihan guru. Selain itu, peningkatan kompetensi guru dilakukan melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG), peningkatan kualifikasi akademik, serta pelatihan deep learning, coding, kecerdasan buatan, dan bimbingan konseling. “Secanggih apapun teknologi, guru tetaplah agen peradaban. Karena itu, kualitas guru harus menjadi prioritas,” ujarnya.
 
Penguatan pendidikan karakter juga menjadi fokus utama dengan meluncurkan sejumlah program, seperti Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (bangun pagi, beribadah, berolahraga, gemar belajar, makan sehat bergizi, bermasyarakat, dan tidur cepat), Gerakan Pagi Ceria yang mendorong murid memulai hari dengan menyanyikan lagu kebangsaan, berolahraga, dan berdoa, kewajiban pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler di semua jenjang, serta dukungan terhadap program prioritas nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dipadukan dengan pendidikan karakter.
 
Abdul Mu’ti menegaskan bahwa keberhasilan pendidikan tidak dapat ditanggung pemerintah semata. Karena itu, Kemendikdasmen mengusung visi “Pendidikan Bermutu untuk Semua” dengan partisipasi semesta. Sekolah, keluarga, masyarakat, dan media disebut sebagai empat ekosistem yang harus bersinergi dalam membentuk karakter generasi muda.
 
“Pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga pembangunan peradaban. Karena itu, kolaborasi semesta menjadi kunci agar generasi emas 2045 benar-benar lahir dan mampu membawa Indonesia menuju bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur,” tegasnya.
 
Kuliah umum ini dihadiri oleh 253 peserta yang terdiri dari tenaga pengajar, tenaga pengkaji, pejabat struktural, dan tenaga profesional Lemhannas RI. Peserta berasal dari berbagai unsur, antara lain TNI, Polri, kementerian, lembaga negara, akademisi, dunia usaha, organisasi masyarakat, hingga tokoh politik dan masyarakat. Kehadiran mereka mencerminkan pentingnya sinergi lintas sektor dalam menyiapkan sumber daya manusia unggul yang siap menghadapi Indonesia Emas 2045

Tim Schoolmedia

Artikel Sebelumnya
Sayembara 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat sebagai Ajang Kreativitas dan Praktik Baik

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar