Cari

Hari Aksara Internasional 2025: Menyatukan Literasi Digital dan Tradisi untuk Masa Depan Indonesia



Schoolmedia News Jakarta ==  Dalam rangka memperingati Hari Aksara Internasional (HAI) Tahun 2025, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Direktorat Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Informal (PNFI) bersama Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus (PKPLK) menggelar sebuah pameran edukatif di halaman kantor Kemendikdasmen, Kamis hingga Jumat (25–26 September)

Dengan tema “Kesalehan Literasi Digital, Membangun Peradaban,” pameran ini menjadi momen penting untuk menggalang komitmen melawan buta aksara yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia.

Hari Aksara Internasional diperingati setiap 8 September, diinisiasi oleh UNESCO sejak 1965 sebagai bentuk penghormatan terhadap pentingnya literasi sebagai hak dasar manusia. Tujuannya adalah mengingatkan dunia akan pentingnya kemampuan membaca dan menulis sebagai pondasi pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.

Di Indonesia, meski angka buta aksara sudah menurun signifikan selama beberapa dekade terakhir, data terbaru menunjukkan bahwa masih ada sekitar 3,5% penduduk usia 15 tahun ke atas yang belum melek huruf, terutama tersebar di daerah terpencil dan kelompok rentan.

Buta aksara tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup keterbatasan dalam literasi digital yang makin dibutuhkan di era modern ini.

Pameran ini menghadirkan berbagai karya dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) dari berbagai daerah. Pengunjung dapat menyaksikan ragam tradisi lisan, kerajinan tangan, hingga inovasi literasi berbasis teknologi digital.

Direktur PNFI, Baharudin, secara simbolis membuka acara dengan pengguntingan pita sebagai tanda dimulainya pertukaran ilmu dan informasi yang bertujuan memberantas buta aksara.

Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus, Tatang Muttaqin, menegaskan bahwa upaya menekan angka buta aksara tidak hanya soal kemampuan baca tulis saja, tetapi juga harus dilihat sebagai pengembangan keterampilan yang menyeluruh. “Kolaborasi ini penting agar angka buta aksara dapat mendekati nol persen,” ujarnya.

Heni Wardatur Rohmah dari Forum Taman Baca Masyarakat (TBM) menambahkan, pameran ini juga menjadi sarana memperkuat jejaring dan berbagi pengalaman.

“Setiap TBM dapat membawa pulang ilmu yang kemudian diaplikasikan dalam program unik yang tetap mengangkat kearifan lokal,” katanya.

Nesya, pelajar SMA jurusan IPS yang turut hadir, mengaku mendapatkan pengalaman berharga dari pameran ini. “Kegiatan ini sangat membantu saya memahami berbagai hal terkait literasi dan keterampilan baru yang belum saya pelajari sebelumnya,” ujarnya antusias.


Catatan Kritis: Pelaksanaan Hari Aksara di Indonesia

Meski perayaan Hari Aksara Internasional 2025 ini berjalan meriah dan edukatif, catatan kritis tetap perlu disampaikan. Pemerintah Indonesia masih dihadapkan pada tantangan serius dalam pemerataan akses pendidikan, terutama di wilayah terpencil dan bagi kelompok rentan seperti perempuan dan lansia.

Alokasi anggaran dan dukungan konkret untuk program literasi nonformal sering kali belum cukup, sehingga banyak daerah yang masih kesulitan menekan angka buta aksara.

Selain itu, literasi digital sebagai fokus utama HAI tahun ini menuntut kesiapan infrastruktur teknologi dan sumber daya manusia yang memadai, yang masih jauh dari merata di seluruh wilayah Indonesia.

Kegiatan pameran yang positif ini perlu diikuti dengan langkah-langkah strategis agar literasi digital tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar bisa menjangkau masyarakat luas.

Peringatan Hari Aksara Internasional 2025 menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk kembali mengokohkan komitmen melawan buta aksara dengan pendekatan yang lebih modern dan inklusif.

Melalui kolaborasi antar lembaga, komunitas, dan masyarakat, diharapkan literasi tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup keterampilan hidup di era digital yang semakin kompleks. Sebuah literasi yang membangun peradaban bangsa yang maju dan berdaya saing.

Namun, di balik semarak itu, kenyataan tentang literasi dan numerasi di Indonesia masih menghadirkan wajah yang penuh tantangan. Meski angka buta aksara menurun dari tahun ke tahun, sekitar 3,5 persen dari penduduk usia di atas 15 tahun masih bergumul dengan huruf dan angka.

Di berbagai pelosok negeri, ada anak-anak dan orang dewasa yang tak pernah merasakan hangatnya buku, yang harapannya terbungkus dalam ketidakpastian.

Numerasi, kemampuan memahami dan menggunakan angka dalam kehidupan sehari-hari, pun masih menjadi pekerjaan rumah besar. Bayangkan, ketika seorang ibu di desa harus mengelola keuangan keluarga atau seorang petani menghitung hasil panen, namun keterbatasan numerasi membatasi langkah mereka untuk maju.

"Literasi dan numerasi bukan sekadar kemampuan akademik, tapi kunci pembuka pintu kesejahteraan dan pemberdayaan," ujar Dirjen Vokasi.

Di tengah pameran, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus, Tatang Muttaqin, mengingatkan bahwa memerangi buta aksara bukan hanya soal bisa membaca dan menulis, tapi juga mengembangkan keterampilan agar manusia dapat berdiri sejajar dengan kemajuan zaman.

“Ini adalah refleksi, pengingat, dan panggilan agar kolaborasi yang sudah terjalin terus diperkuat demi mencapai angka buta aksara yang mendekati nol persen,” ujarnya penuh harap.

Penulis : Eko Harsono 

Artikel Selanjutnya
Komitmen Pendidikan Bermutu untuk Semua Melalui Pelatihan Al Qur’an Isyarat
Artikel Sebelumnya
Kemendikdasmen Hadirkan Panduan dan Buku Kurasi STEM 2025

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar