Cari

Peningkatan Kompetensi Guru Vokasi melalui Pembelajaran Mendalam dan "Panduan STEM"


Schoolmedia Bandung – Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), kembali merilis paket kebijakan pendidikan berbasis inovasi. Kali ini dalam bentuk Panduan Pembelajaran STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) dan 109 judul buku interaktif hasil kurasi.

Dalam acara bertajuk “STEM: Cermati Panduan, Jelajahi Buku melalui SIBI”, peluncuran ini digadang-gadang sebagai jawaban terhadap tantangan abad ke-21: mencetak generasi adaptif, kreatif, dan berdaya saing global.

Namun, seperti banyak kebijakan pendidikan sebelumnya, inisiatif ini menyisakan pertanyaan mendasar: siapa yang sebenarnya siap menjalankan semua ini di lapangan? Apakah kurikulum dan panduan STEM ini benar-benar bisa diimplementasikan secara merata di seluruh Indonesia—di sekolah-sekolah dengan keterbatasan guru, fasilitas, bahkan listrik?

Kurikulum Versus Kondisi Lapangan 

Retorika Menteri Abdul Mu’ti tentang pentingnya STEM untuk membangun masyarakat teknokratis memang tak salah. Tapi retorika tidak menyelesaikan kesenjangan. Di berbagai daerah, bahkan akses ke laboratorium sains dasar masih menjadi kemewahan. Apalagi bicara rekayasa dan teknologi.

Faktanya, banyak guru yang bahkan belum pernah mendapat pelatihan berbasis STEM yang memadai. Apalagi di sekolah nonperkotaan, masih banyak guru sains dan matematika yang mengajar lintas mata pelajaran karena kekurangan tenaga pendidik. Peluncuran buku dan panduan tanpa mekanisme pelatihan yang sistematis dan berkelanjutan berisiko menjadikan kebijakan ini sekadar dokumen indah yang sulit dioperasikan.

Lebih dari itu, kurikulum STEM yang idealis harus berhadapan dengan sistem pendidikan yang masih didominasi penilaian kognitif dan ujian berbasis hafalan. Proyek-proyek berbasis eksplorasi yang menjadi nyawa pembelajaran STEM bisa terhenti ketika orientasi sekolah masih berkutat pada angka rapor dan kelulusan Ujian Akhir Sekolah.

Kepala BSKAP, Toni Toharudin, menyebut bahwa buku dan panduan ini tersedia secara digital dan bisa diakses gratis. Tapi, akses internet yang tidak merata serta rendahnya literasi digital guru menjadi tantangan besar. Mengandalkan distribusi digital tanpa memetakan kesiapan infrastruktur dan SDM hanya akan memperdalam kesenjangan antar sekolah maju dan tertinggal.

Guru bukan sekadar pembaca panduan. Mereka adalah pelaksana utama di kelas. Maka, peningkatan kapasitas guru STEM harus menjadi program nasional yang terstruktur, terjadwal, dan terukur, bukan sekadar pelatihan sporadis.

Usulan kebijakan nyata:

  • Tetapkan STEM Coach per daerah yang bertugas mendampingi guru-guru sekolah.

  • Wajibkan pelatihan project-based learning untuk guru sains, matematika, dan TIK.

  • Sediakan anggaran khusus bagi sekolah untuk membeli alat peraga, bukan hanya buku digital.

    STEM Untuk Sekolah Negeri Atau Swasta 

Satu hal yang jarang disinggung adalah fakta bahwa implementasi STEM lebih mudah di sekolah-sekolah besar di kota—dengan guru yang mumpuni, fasilitas lengkap, dan siswa dari latar belakang sosial yang mendukung. Sementara sekolah-sekolah di pelosok, madrasah kecil, dan sekolah swasta nonelit mungkin hanya bisa menonton dari kejauhan.

Inilah saatnya Kemendikdasmen berpikir afirmatif. Kurikulum seperti STEM seharusnya tidak dirancang satu model untuk semua. Diperlukan pendekatan berbasis wilayah: diferensiasi strategi, pembiayaan, dan evaluasi berdasarkan kesiapan daerah.

Tawaran kebijakan:

  • Luncurkan STEM Grant khusus untuk sekolah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

  • Sertakan pendekatan contextual STEM berbasis lokalitas dan kearifan daerah.

  • Evaluasi kurikulum secara periodik dengan melibatkan guru dan kepala sekolah dari daerah marjinal, bukan hanya panel akademisi pusat.

Apa yang sedang dikembangkan Kemendikdasmen, termasuk peluncuran STEM dan pelatihan guru vokasi, adalah langkah ke arah yang benar. Tapi masalah pendidikan Indonesia terlalu kompleks untuk diselesaikan dengan launching dan dokumen kurikulum. Butuh transformasi ekosistem pendidikan.

Bahkan Abdul Mu’ti sendiri mengakui, “Tidak semua hal akan dipelajari di sekolah.” Maka justru peran sekolah sebagai ruang belajar seumur hidup, ruang untuk gagal dan tumbuh, harus dijaga dan diberdayakan. STEM bisa menjadi alat transformasi pendidikan, asalkan tidak diperlakukan sebagai proyek branding kementerian semata.

Jika tidak diiringi dengan reformasi sistem pelatihan guru, perbaikan fasilitas, dan dukungan afirmatif untuk sekolah tertinggal, maka STEM hanya akan menjadi kurikulum elitis yang dinikmati sebagian kecil siswa di sekolah unggulan. Padahal, esensi dari pendidikan sains bukan untuk mencetak ilmuwan saja, tetapi untuk menyiapkan warga negara yang mampu berpikir jernih, kritis, dan solutif dalam kehidupan sehari-hari.

Tim Schoolmedia 

Artikel Selanjutnya
Kemendikdasmen Hadirkan Panduan dan Buku Kurasi STEM 2025
Artikel Sebelumnya
Kolaborasi Ditjen PAUD Dikdasmen dan Pimpinan Pusat BKTKI-DMI Gelar Bimbingan Teknis Pembelajaran Mendalam

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar