Kebijakan Revitalisasi Sekolah Swakelola Raih Acungan Jempol, Masukan Untuk Tim Monitoring dan Lembaga Pemeriksa ke Sekolah
Schoolmedia News = Pendidikan merupakan investasi masa depan bangsa. Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan kondisi infrastruktur sekolah yang memprihatinkan. Atap bocor, tembok retak, dan fasilitas yang tak memadai menjadi pemandangan lumrah di banyak daerah. Oleh karena itu, langkah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk merevitalisasi sekolah melalui skema swakelola patut kita berikan acungan jempol.
Meski demikian di balik cerita sukses dan senyum bahagia yang terpancar, program bantuan pemerintah ini menyimpan catatan kritis yang patut diwaspadai. Sejak awal, program ini dikenal sangat rentan terhadap praktik korupsi. Skema pendanaan yang besar dan minimnya pengawasan di lapangan sering kali membuka celah bagi oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Modus korupsi yang paling sering terjadi adalah pengurangan spesifikasi (mark-down). Dana miliaran rupiah digelontorkan untuk membangun atau merehabilitasi sekolah, namun hasil akhirnya tidak sebanding dengan anggaran yang dikeluarkan. Bangunan yang seharusnya kokoh malah dibangun dengan material berkualitas rendah.
Contohnya, semen yang harusnya berstandar SNI diganti dengan merek murahan, atau besi beton yang diameternya seharusnya 12 mm diganti menjadi 8 mm. Akibatnya, kualitas bangunan jauh di bawah standar, mudah rusak, dan tidak bertahan lama.
Hal ini tentu sangat merugikan. Selain merusak fasilitas yang seharusnya dapat dinikmati masyarakat dalam jangka panjang, praktik korupsi ini juga mengkhianati amanah rakyat. Jika tidak ada pengawasan ketat, program yang seharusnya membawa harapan dan kemajuan ini bisa jadi hanya menjadi ladang basah bagi para koruptor. Kesenjangan antara anggaran yang besar dan output fisik yang minim menjadi bukti nyata bahwa masalah ini harus segera diatasi.
Pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan, melibatkan masyarakat secara aktif, dan memberikan sanksi tegas kepada siapa pun yang terbukti melakukan penyelewengan. Sebab, senyum bahagia anak-anak Indonesia adalah tujuan utama, bukan sekadar proyek.
Statistik Revitalisasi Sekolah
Revitalisasi Satuan Pendidikan bukan sekadar perbaikan fisik sekolah di Indonesia, melainkan sebuah terobosan yang membawa optimisme baru. Berikut adalah data dan statistik yang tercantum:
Total sasaran revitalisasi sekolah: 13.834 sekolah.
Sekolah yang telah melengkapi administrasi dan menandatangani PKS: 11.179 sekolah.
PAUD: 1.260 sekolah
SD: 3.903 sekolah
SMP: 3.974 sekolah
SMA: 2.042 sekolah
Persentase sekolah berdasarkan status:
Sekolah negeri: 75,8%
Sekolah swasta: 24,2%
Perkiraan penyelesaian bangunan fisik:
Akhir September 2025: 12 sekolah
Oktober 2025: Lebih dari 800 sekolah
Akhir tahun 2025: Seluruh target akan terpenuhi.
Penyaluran dana revitalisasi sekolah Tahap I (70%): Disalurkan kepada 9.595 sekolah per tanggal 8 September 2025.
PAUD: 1.071 sekolah
SD: 3.832 sekolah
SMP: 2.650 sekolah
SMA: 2.042 sekolah
Penyaluran dana Tahap II (30%): Akan diberikan setelah kemajuan pembangunan fisik mencapai 70%.
Sekolah penerima bantuan pembangunan unit sekolah baru (USB): 67 sekolah.
PAUD: 37 sekolah
SMA: 30 sekolah
Waspadai Kecurangan Kepala Sekolah
Kepala sekolah yang diberi kepercayaan untuk melakukan swakelola dana revitalisasi sekolah memiliki tanggung jawab besar, namun juga potensi kecurangan yang sangat tinggi. Model swakelola, di mana sekolah mengelola proyeknya sendiri tanpa pihak ketiga (kontraktor), sering kali disalahgunakan.Ãâ
Berikut adalah beberapa modus kecurangan yang sering dilakukan oleh oknum kepala sekolah:
1. Manipulasi Laporan Pertanggungjawaban
Modus ini adalah yang paling sering terjadi. Kepala sekolah memanipulasi bukti-bukti pengeluaran.
Kwitansi Fiktif: Membuat atau membeli kwitansi kosong untuk diisi dengan nominal yang lebih tinggi dari pengeluaran sebenarnya.
Mark-up Biaya: Menggelembungkan harga bahan bangunan atau upah pekerja dari harga pasar. Misalnya, harga semen di pasaran Rp50.000 per sak, namun dilaporkan dalam kwitansi sebesar Rp75.000.
Menggandakan Pengeluaran: Melaporkan satu pengeluaran yang sama lebih dari satu kali, seolah-olah pengeluaran tersebut dilakukan berulang-ulang.
2. Penggunaan Tenaga Kerja Fiktif
Kepala sekolah bisa saja melaporkan adanya tenaga kerja (tukang bangunan, kuli) yang sebenarnya tidak ada. Upah untuk tenaga kerja fiktif ini kemudian masuk ke kantong pribadi. Ini bisa dilakukan dengan cara:
Daftar Gaji Palsu: Membuat daftar gaji pekerja fiktif dengan tanda tangan palsu atau tanda tangan dari orang yang tidak terlibat.
Pencairan Gaji Secara Tunai: Dana upah dicairkan secara tunai, sehingga tidak meninggalkan jejak transfer perbankan yang bisa dilacak.
3. Penggunaan Dana untuk Keperluan Pribadi
Dana yang seharusnya digunakan untuk perbaikan fisik sekolah justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Pembelian Barang Mewah: Dana dipakai untuk membeli kendaraan pribadi, perangkat elektronik mahal, atau barang-barang lain yang tidak relevan dengan revitalisasi.
Biaya Perjalanan Dinas Fiktif: Mengarang biaya perjalanan dinas yang tidak pernah dilakukan, misalnya untuk "studi banding" atau "rapat koordinasi" di luar kota yang sebenarnya fiktif.
4. Kerjasama dengan Oknum Pemasok
Kepala sekolah bisa bersekongkol dengan pemasok bahan bangunan. Pemasok ini akan memberikan harga yang lebih mahal dari seharusnya, dan kelebihan dana tersebut (diskon terbalik) dibagi antara kepala sekolah dan pemasok. Bahan yang dikirim bisa jadi tidak sesuai spesifikasi atau jumlahnya kurang dari yang seharusnya.
5. Proyek Dikerjakan di Luar Anggaran
Beberapa kepala sekolah terkadang melakukan perbaikan yang tidak termasuk dalam rencana awal, namun biayanya tetap diambil dari dana revitalisasi. Proyek "tambahan" ini sering kali tidak ada dalam laporan dan biayanya digunakan untuk menutupi kecurangan lain.
Pencegahan dan Pengawasan
Untuk mencegah kecurangan ini, perlu adanya sistem pengawasan yang kuat. Pengawas internal dari dinas pendidikan, serta partisipasi aktif dari komite sekolah dan orang tua murid, sangat penting. Laporan keuangan dan kemajuan proyek harus dibuat secara transparan dan dipublikasikan, agar semua pihak bisa melihat dan memverifikasi.
Program revitalisasi ini, yang diinisiasi langsung oleh Presiden, menandai sebuah perubahan paradigma yang signifikan. Sebelumnya, proyek-proyek serupa seringkali dikelola oleh kementerian lain, yang terkadang membuat prosesnya berbelit dan kurang responsif terhadap kebutuhan di tingkat akar rumput.Ãâ
Kini, dengan Kemendikdasmen mengambil alih kendali dan menyalurkan dana langsung ke rekening sekolah, birokrasi terpangkas dan akselerasi pembangunan menjadi mungkin.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama.
Dengan mekanisme swakelola, sekolah diberikan kewenangan penuh untuk merencanakan, membelanjakan, dan membangun. Ini adalah implementasi nyata dari konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sudah dikenal luas.
Melalui MBS, sekolah tak lagi menjadi objek pasif, melainkan subjek yang berdaya, mampu mengelola sumber daya dan mengambil keputusan demi kemajuan mereka sendiri.
Satu hal yang membuat program ini berbeda adalah keterlibatan masyarakat. Pembentukan Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP) yang melibatkan warga sekitar menunjukkan bahwa revitalisasi sekolah bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau sekolah semata, melainkan sebuah gerakan kolaboratif.
Partisipasi ini tidak hanya memastikan proyek berjalan efektif, tetapi juga menumbuhkan rasa kepemilikan. Warga akan merasa bahwa sekolah adalah milik bersama, yang harus dijaga dan dirawat.
Lebih dari itu, skema swakelola ini juga memiliki dampak ekonomi yang positif. Dengan dana yang dikelola dan dibelanjakan di tingkat lokal, perekonomian warga sekitar akan bergerak. Ini bisa menjadi stimulan yang signifikan, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat perekonomian.
Guru Fokus Mengajar
Seringkali, proyek pembangunan di sekolah menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya proses belajar mengajar. Namun, Kemendikdasmen telah mengantisipasi hal ini dengan baik.
Dengan adanya P2SP yang mengelola urusan teknis pembangunan, guru tidak lagi dibebani tugas administrasi yang tidak relevan dengan tugas utama mereka. Mereka bisa tetap fokus pada tugas mendidik dan mengajar, memastikan kualitas pendidikan tetap terjaga.
Data yang disampaikan oleh Dirjen PAUD Dikdasmen Gogot Suharwoto menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Dari 13.834 sekolah yang menjadi sasaran, mayoritas sudah menandatangani perjanjian dan menerima pencairan dana tahap pertama. Ini menandakan komitmen kuat dari berbagai pihak, baik pemerintah, sekolah, maupun masyarakat.
Target penyelesaian pada Desember 2025 bukanlah hal yang mustahil, melainkan sebuah tujuan yang realistis. Keberhasilan program revitalisasi ini akan menjadi tonggak penting dalam sejarah pendidikan kita.
Ini bukan hanya tentang gedung-gedung baru yang kokoh, melainkan tentang penanaman semangat gotong royong, pemberdayaan, dan optimisme. Ketika sekolah-sekolah di seluruh negeri berdiri tegak dengan fasilitas yang memadai, kita bisa yakin bahwa masa depan pendidikan Indonesia akan jauh lebih cerah.
Program ini menunjukkan bahwa dengan kepercayaan, kolaborasi, dan mekanisme yang tepat, kita bisa mewujudkan perubahan yang nyata dan berkelanjutan.
Penulis Eko B Harsono
Penulis adalah pemerhati pendidikan dan mantan wartawan Harian Suara Pembaruan dan Harian Nasional.
Tinggalkan Komentar