Schoolmedia News Jakarta === Program Indonesia Pintar (PIP) merupakan inisiatif perlindungan sosial yang krusial di sektor pendidikan, dirancang untuk menjamin akses dan keberlanjutan pendidikan bagi siswa dari keluarga prasejahtera dan rentan.
Program ini telah memberikan kontribusi signifikan dalam memperluas akses pendidikan bagi anak-anak dari kelompok tersebut. Namun, implementasinya masih menghadapi serangkaian tantangan yang bersifat struktural, prosedural, dan normatif.
Disertasi Dr. Agus Supriyanto dalam Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus Jakarta mengidentifikasi enam kelemahan mendasar: (1) kekosongan hukum dalam regulasi teknis pelaksanaan dan pengawasan PIP; (2) regulasi sektoral yang parsial dan belum membentuk sistem kolaboratif antarlembaga; (3) celah penyalahgunaan wewenang melalui mekanisme usulan jalur aspirasi dan Non-DTKS; (4) lemahnya integrasi dan interoperabilitas data antara basis data kunci seperti DTKS, Dapodik, P3KE, dan DTSEN; (5) belum terjaminnya akses setara bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan anak dari keluarga informal; serta (6) belum optimalnya sistem verifikasi, pengawasan digital, dan pelibatan publik dalam pengawasan partisipatif.
Implikasi dari temuan-temuan ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan PIP belum sepenuhnya mencerminkan prinsip negara hukum dalam menjamin keadilan, transparansi, dan efektivitas perlindungan sosial melalui pendidikan. Ini menyebabkan kesalahan penargetan, penyimpangan penyaluran dana, dan minimnya jalur penyelesaian sengketa bagi penerima manfaat.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan ini, disertasi merekomendasikan reformasi komprehensif, meliputi: (1) penyusunan regulasi khusus (lex specialis) yang mengatur penyelenggaraan PIP secara lintas sektor; (2) penguatan sistem perlindungan sosial berbasis data terintegrasi melalui interoperabilitas sistem; (3) penguatan pengawasan internal dan eksternal; serta (4) pelibatan masyarakat melalui kanal aduan, edukasi digital, dan mekanisme audit sosial. Pemanfaatan teknologi, seperti Application Programming Interface (API) dan dashboard pemantauan waktu nyata melalui Aplikasi SiPintar, menjadi prasyarat untuk mewujudkan tata kelola PIP yang adil dan akuntabel.
Latar Belakang
Program Indonesia Pintar (PIP) adalah salah satu kebijakan perlindungan sosial yang paling fundamental di Indonesia, khususnya dalam sektor pendidikan. Tujuan utamanya adalah untuk menjamin akses dan keberlanjutan belajar bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin dan rentan. PIP dirancang sebagai instrumen vital bagi negara untuk memenuhi hak konstitusional warga negara atas pendidikan, terutama bagi mereka yang berisiko putus sekolah akibat kendala ekonomi. Program ini tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme bantuan sosial, tetapi juga sebagai penegasan komitmen negara terhadap pemenuhan hak dasar pendidikan yang diamanatkan oleh konstitusi.
Adanya mandat ganda iniâsebagai program perlindungan sosial dan sebagai instrumen pemenuhan hak konstitusionalâmenempatkan PIP pada standar yang lebih tinggi dalam hal kepastian hukum, akuntabilitas, dan non-diskriminasi dibandingkan program kesejahteraan yang bersifat diskresioner semata. Ketika kelemahan-kelemahan dalam implementasi PIP teridentifikasi, seperti kekosongan hukum atau kurangnya akses terhadap keadilan, hal ini tidak hanya mencerminkan inefisiensi administratif, tetapi juga kegagalan negara dalam menegakkan kewajiban konstitusionalnya.
Kontribudi PIP
Secara umum, Program Indonesia Pintar telah menunjukkan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan kelompok rentan di seluruh Indonesia. Keberadaan PIP telah membantu meringankan beban finansial orang tua, memungkinkan lebih banyak anak untuk tetap bersekolah dan melanjutkan pendidikan mereka.
Namun, meskipun memiliki niat baik dan telah mencapai beberapa keberhasilan, implementasi program ini di lapangan masih diwarnai oleh sejumlah hambatan yang bersifat struktural, prosedural, dan normatif. Hambatan-hambatan ini mengindikasikan bahwa potensi penuh PIP sebagai pilar keadilan pendidikan belum sepenuhnya terwujud.
Laporan ini didasarkan pada temuan disertasi Dr. Agus Supriyanto dalam Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus Jakarta, yang secara khusus menganalisis implementasi pengawasan penyelenggaraan PIP dari perspektif kemanfaatan hukum dan keadilan. Pendekatan yuridis-empiris yang digunakan dalam penelitian ini menggabungkan analisis hukum normatif dengan observasi empiris di lapangan.
Pendekatan ini memungkinkan identifikasi kesenjangan antara idealisme hukum dan realitas praktik, memberikan kerangka kerja yang kuat untuk mengungkap kelemahan-kelemahan praktis program di tengah tujuan hukum yang mulia. Disertasi ini mengidentifikasi enam pokok kebaruan atau novelty, yang menjadi tulang punggung analisis dalam laporan ini.
Salah satu kelemahan mendasar dalam pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) adalah lemahnya fondasi hukum substantif dan prosedural, baik dalam norma larangan maupun penegakan sanksi. Ketidakjelasan regulasi telah membuka ruang bagi penyimpangan seperti jalur aspirasi yang sarat konflik kepentingan, pemalsuan data, pemotongan dana oleh sekolah, serta minimnya perlindungan hukum bagi peserta didik yang dirugikan.
Refurmulasi Hukum PIP
Reformulasi hukum PIP diperlukan dengan mempertegas larangan praktik maladministrasi, memperkuat sanksi administratif, dan memperluas ruang pengawasan publik. Jalur aspirasi harus dilarang secara eksplisit dalam regulasi teknis, kecuali melalui verifikasi data kesejahteraan yang objektif dan terukur.
Pemerintah juga perlu menyediakan kanal penyelesaian sengketa administratif dan keberatan hukum bagi peserta didik atau wali murid yang haknya dilanggar. Mekanisme ini harus mudah diakses dan aman, misalnya melalui sistem pelaporan daring dan whistleblower system yang dijamin kerahasiaannya.
Penegakan hukum terhadap penyimpangan harus dilakukan secara aktif oleh Inspektorat Jenderal, BPK, BPKP, dan KPK melalui audit berkala dan publikasi hasilnya secara terbuka. Upaya ini akan memperkuat kepastian hukum, meningkatkan akuntabilitas, dan menjamin bahwa bantuan PIP tepat sasaran dan berpihak pada peserta didik yang paling membutuhkan.
Diperlukan Regulasi Lex Spesialis
Untuk menjamin kepastian hukum dan efektivitas tata kelola PIP, diperlukan regulasi lex specialis dalam bentuk Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan PIP sebagai program strategis nasional. Regulasi ini harus mengatur secara komprehensif aspek teknis, kelembagaan, pengawasan, dan evaluasi lintas kementerian/lembaga.
Substansi utama regulasi tersebut mencakup integrasi sistem data, pembagian peran antar instansi (Kemendikbudristek, Kemensos, Kemenkeu, Dukcapil, Kemenko PMK), mekanisme koordinasi, alur penyaluran dana melalui bank penyalur, serta pengawasan dan audit.
Tujuannya untuk mengatasi fragmentasi regulasi sektoral dan tumpang tindih kewenangan. Sebagai langkah awal, perlu disusun Peraturan Bersama antar-K/L bersifat operasional untuk pelaksanaan teknis di lapangan.
Kebijakan afirmatif juga harus dimasukkan dalam regulasi dengan menetapkan kuota prioritas bagi kelompok miskin ekstrem, penyandang disabilitas, dan wilayah 3T. Dengan demikian, PIP dapat berfungsi optimal sebagai instrumen jaminan negara atas hak pendidikan yang adil dan berkelanjutan.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar