Cari

Kritik Konstruktif terhadap Program Pembelajaran Mendalam Kemendikdasmen



Schoolmedia News Jakarta === Sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas pendidikan yang bermutu untuk semua dan menjawab tantangan zaman, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Balai Besar Guru dan Tenaga Kependidikan (BBGTK) Jawa Tengah bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Kudus menggelar Pelatihan Pembelajaran Mendalam bagi 229 guru dan kepala sekolah.

Pelatihan yang dilaksanakan pada 22–27 Juli 2025 ini tersebar di delapan sekolah di Kabupaten Kudus, dan menjadi bagian dari gelombang pertama program pelatihan yang bertujuan membekali pendidik dengan pendekatan deep learning yang dinilai lebih bermakna, reflektif, dan menyeluruh. Program ini dirancang untuk menciptakan suasana belajar yang mindful, meaningful, dan joyful, dengan pendekatan holistik melalui olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah hati.

Tak dapat dipungkiri, semangat para guru seperti yang ditunjukkan oleh Muhamad Sahid Romadlon, guru SD Glantengan Kudus, serta Kepala SMPN 1 Bae Kudus, Akhsanul Hag, patut diapresiasi. Mereka menunjukkan antusiasme tinggi dan harapan besar bahwa pelatihan ini akan membawa dampak positif dalam proses pembelajaran.

Langkah ini juga menunjukkan keberpihakan pada peningkatan kapasitas guru—sebuah aspek yang sering kali diabaikan dalam kebijakan pendidikan. Komitmen ini juga selaras dengan upaya menjawab kebutuhan zaman, yaitu generasi pembelajar aktif yang mampu berpikir kritis, berkolaborasi, dan beradaptasi di tengah kompleksitas sosial maupun teknologi masa depan.

Namun demikian, keberhasilan pelatihan ini tidak cukup hanya diukur dari semangat peserta atau lamanya waktu pelatihan. Terdapat beberapa kritik mendasar yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan program Pembelajaran Mendalam ini:

  1. Minimnya Evaluasi Empiris
    Tidak terlihat adanya instrumen penilaian yang ketat atau studi dampak jangka panjang yang menguji efektivitas Pembelajaran Mendalam di sekolah-sekolah yang telah menerapkannya. Apakah pendekatan ini benar-benar meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan karakter siswa? Tanpa data longitudinal, program ini rentan menjadi buzzword semata.

  2. Ambiguitas Konsep dan Kerangka Kerja
    Meski kerangka kerja Pembelajaran Mendalam terdiri dari empat komponen dan delapan dimensi profil lulusan, tidak dijelaskan secara rinci bagaimana masing-masing komponen ini diterjemahkan ke dalam kegiatan belajar konkret. Frasa seperti “mindful, meaningful, joyful” terdengar menggugah, namun implementasinya bisa kabur bila tidak dibarengi dengan panduan teknis yang aplikatif dan adaptif terhadap konteks sekolah.

  3. Beban Baru Bagi Guru?
    Di tengah realitas guru yang sudah terbebani administrasi, kurikulum kompleks, dan beban moral untuk menghasilkan “lulusan berprofil Pancasila”, pendekatan Pembelajaran Mendalam bisa menambah tekanan bila tidak dibarengi dengan dukungan sistemik dan waktu refleksi yang cukup. Guru mungkin merasa "diwajibkan berinovasi", namun dengan dukungan yang minim.

  4. Risiko Ketimpangan Implementasi
    Hanya delapan sekolah yang dijadikan tempat pelatihan tahap awal. Tanpa rencana penyebaran program yang menyeluruh dan merata di wilayah lain—terutama daerah dengan keterbatasan sumber daya—program ini bisa memperlebar kesenjangan antar sekolah, alih-alih memperkecilnya.

Inisiatif seperti Pembelajaran Mendalam tentu perlu diapresiasi sebagai bagian dari perubahan paradigma pendidikan nasional. Namun, setiap kebijakan perlu dikawal secara kritis agar tidak menjadi proyek jangka pendek yang hanya menambah dokumen, bukan perubahan nyata. Keberhasilan pendidikan tidak hanya bergantung pada pelatihan atau retorika motivasional, melainkan evaluasi mendalam terhadap apa yang benar-benar berdampak di ruang kelas.

Agar benar-benar membumi, program ini perlu dilanjutkan dengan:

1. Pendampingan pascapelatihan secara berkelanjutan

2. Mekanisme umpan balik dari guru dan siswa

3. Integrasi dengan kebutuhan lokal sekolah;

4. Dan, yang terpenting, keberanian pemerintah untuk meninjau ulang atau merevisi pendekatan ini berdasarkan temuan di lapangan, bukan asumsi kebijakan semata.

Pendidikan bermutu untuk semua tidak dibangun lewat pelatihan sesaat, melainkan komitmen berkelanjutan untuk menguatkan ekosistem pembelajaran yang adil, adaptif, dan berpihak pada peserta didik.

Tim Schoolmedia

Artikel Selanjutnya
Kemeriahan Festival Harmoni Bintang dari Pameran Foto sampai Jalan Sehat
Artikel Sebelumnya
Kebijakan Rombel 50 Siswa Dikritik, Praktisi dan Legislator Soroti Dampak terhadap Kualitas Pendidikan

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar