Cari

Program Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Dinilai Boros Anggaran, Minim Dampak Sistemik


Program Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Dinilai Boros Anggaran, Minim Dampak Sistemik

Schoolmedia News Jakarta  — Dua program pendidikan yang selama ini digadang-gadang sebagai terobosan pemerintah, yakni Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan, kini menuai kritik tajam. Sejumlah pengamat dan lembaga pemantau kebijakan publik menyebut keduanya sebagai bentuk pemborosan anggaran negara karena tidak menyentuh akar persoalan pendidikan dan tidak berdampak luas terhadap peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan nasional.

Program Sekolah Rakyat, yang dirancang untuk menjangkau anak-anak dari keluarga miskin dan daerah tertinggal, dinilai tidak memiliki arah kebijakan yang jelas. Anggaran besar yang digelontorkan untuk pelatihan relawan, pengadaan alat peraga, dan pembangunan pusat belajar alternatif tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh.

"Ini program yang penuh semangat, tetapi miskin perencanaan. Banyak Sekolah Rakyat yang hanya bertahan satu tahun karena tidak ada dukungan berkelanjutan. Padahal, anggaran yang dikucurkan ratusan miliar rupiah," kata Ahmad Fadli dari Indonesian Education Watch.

Hal serupa terjadi pada Program Sekolah Unggulan, yang difokuskan pada pembangunan sekolah berstandar tinggi di kota-kota besar. Meski tampak modern dan dilengkapi fasilitas lengkap, program ini justru memperlebar jurang ketimpangan antar sekolah.

"Daripada membangun segelintir sekolah megah di tengah kota, lebih baik anggaran tersebut digunakan untuk memperbaiki ribuan sekolah rusak di daerah-daerah," ujar Lestari Moerdijat, anggota DPR dari Komisi X. Ia juga menyoroti anggaran pengadaan peralatan digital di sekolah unggulan yang sering tidak digunakan secara optimal.

Menurut data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam laporan semester 2024, ditemukan indikasi pemborosan dalam belanja pembangunan Sekolah Unggulan di lima provinsi. Di antaranya berupa pengadaan ruang laboratorium dengan perangkat komputer senilai Rp15 miliar yang belum digunakan karena ketiadaan guru pengampu.

Sementara itu, Program Sekolah Rakyat tercatat menyerap anggaran lebih dari Rp500 miliar sejak 2022, namun hanya menjangkau sekitar 60 ribu anak, atau kurang dari 1% dari total anak yang tidak bersekolah.

Pengamat kebijakan publik dari UI, Dr. Tulus Rakhmat, menyebut kedua program ini menunjukkan pola lama dalam birokrasi: "Gagah di atas kertas, tapi lemah di implementasi. Pemerintah terlalu sibuk membangun citra dan proyek-proyek simbolik tanpa fokus pada pembenahan sistemik."

Ia menambahkan bahwa pemerintah seharusnya berinvestasi pada perbaikan kualitas guru, distribusi anggaran merata ke sekolah-sekolah daerah, serta memperkuat sistem pendidikan dasar dan menengah yang sudah ada.

Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah belum memberikan tanggapan resmi atas kritik ini. Namun, sumber internal menyebut evaluasi menyeluruh atas dua program tersebut akan dilakukan pada akhir tahun anggaran 2025.

Tim Schoolmedia 



Artikel Selanjutnya
45 Rektor dan Pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri Dilantik
Artikel Sebelumnya
Penandatanganan PKS Program Revitalisasi Sekolah Tahap 3 Tahun 2025

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar