Schoolmedia News Jakarta â Pemerintah akhirnya menegaskan komitmennya dalam melindungi generasi muda dari bahaya dunia maya. Sejak 28 Maret 2025, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS) resmi diberlakukan.
Regulasi ini menjadi tonggak penting dalam tata kelola ruang digital Indonesia, terutama bagi anak-anak yang kini hidup di tengah arus informasi tanpa batas.
Platform digital harus menyediakan filter konten, verifikasi usia, dan kontrol orang tua. Anak-anak berhak tumbuh aman, sehat, dan terlindungi, tegas Menteri Komunikasi dan Digitalisasi (Kemkomdigi) Meutya Hafid, saat menghadiri pertunjukan budaya di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah (4/10/2025).
PP TUNAS menjadi payung hukum pertama di Indonesia yang secara komprehensif mengatur perlindungan anak dalam ekosistem digital. Namun, di balik kebijakan besar itu, muncul pertanyaan penting: sejauh mana kesiapan satuan pendidikan dalam menerapkannya? Bagi anak-anak usia sekolah, dunia digital bukan lagi hal baru.
Mereka belajar, bermain, bahkan bersosialisasi melalui gawai. Di banyak sekolah, terutama di kota-kota besar, pembelajaran daring dan platform digital telah menjadi bagian dari keseharian.
Namun, justru di sinilah tantangan besar muncul. Banyak guru mengaku belum memiliki panduan yang jelas untuk mengidentifikasi, mencegah, atau menindak konten berisiko yang mungkin diakses murid.
Anak-anak SD sekarang sudah lebih pintar dari gurunya dalam hal teknologi. Tapi mereka belum tentu tahu apa yang aman atau berbahaya,ujar Sri Wahyuni, guru kelas 5 SDN 04 Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Ia menyambut baik PP TUNAS, tetapi berharap kebijakan ini diikuti dengan pelatihan praktis bagi tenaga pendidik. Kalau sekolah diwajibkan menyiapkan sistem pengawasan digital, tentu perlu dukungan dari dinas pendidikan dan kementerian. Tidak semua sekolah punya kapasitas teknis, tambahnya.
Salah satu poin utama dalam PP TUNAS adalah verifikasi usia pengguna sistem elektronik. Artinya, anak-anak di bawah usia tertentu tidak boleh mengakses konten yang dikategorikan berbahaya â termasuk gim dengan unsur kekerasan, media sosial tanpa pengawasan, atau situs hiburan yang tidak sesuai usia.
Pemerintah mewajibkan platform digital â dari media sosial hingga penyedia layanan belajar daring â untuk menyiapkan fitur keamanan tersebut.
Namun, di lapangan, banyak sekolah masih bergantung pada sistem umum yang belum memiliki kontrol usia terintegrasi.
Dalam sistem pembelajaran digital seperti LMS (Learning Management System), verifikasi usia belum menjadi fitur wajib. Kami masih mengandalkan kesadaran guru dan orang tua, kata Dr. Hendra Kurniawan, Kepala Sekolah SMPN 3 Yogyakarta.
Hendra menilai, penerapan PP TUNAS akan lebih efektif jika didukung kolaborasi tiga pihak: sekolah, orang tua, dan platform digital. Sekolah bisa menjadi filter awal, tapi pendidikan literasi digital di rumah juga penting. Kalau anak diberi gawai tanpa bimbingan, semua kebijakan tidak ada artinya.
Di tengah tuntutan itu, Kemkomdigi menyiapkan langkah strategis melalui Gerakan Nasional Literasi Digital Anak dan Keluarga Sekolah (Gerakan TUNAS Digital). Program ini akan dimulai pada akhir tahun 2025 di 10 provinsi prioritas.
Gerakan ini menargetkan pelatihan guru dan kepala sekolah, penyediaan modul literasi digital untuk siswa dan orang tua, serta pendampingan teknis agar sekolah mampu memanfaatkan sistem keamanan digital dengan tepat.
Menurut Direktur Literasi Digital Kemkomdigi, Rudi Arifin, pendekatan yang dilakukan bukan semata teknis, tetapi juga nilai dan karakter. Kita ingin anak-anak tidak hanya tahu cara menggunakan internet dengan aman, tapi juga memiliki kesadaran etika digital. Ini bagian dari pembentukan karakter bangsa di era digital, ujarnya.
Meski kebijakan ini mendapat sambutan positif, pelaksanaan di lapangan tidak mudah. Indonesia masih menghadapi ketimpangan digital yang lebar.
Di banyak daerah, akses internet masih terbatas, perangkat sekolah minim, dan tenaga pendidik belum familiar dengan sistem keamanan daring.
âJangankan filter konten, koneksi saja sering putus,â keluh Rosmini, kepala SDN di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Ia mengakui, anak-anak di desanya mulai mengenal media sosial dari ponsel orang tua. Namun, tidak ada pemantauan.
âAnak bisa nonton apa saja di YouTube tanpa tahu itu cocok atau tidak. Sekolah perlu panduan teknis sederhana, bukan hanya aturan besar,â katanya.
Tantangan lainnya adalah kebiasaan masyarakat. Banyak orang tua yang belum memahami pentingnya kontrol digital. Sebagian bahkan menyerahkan gawai kepada anak sebagai âpenenangâ ketika sibuk bekerja.
Padahal, laporan Survei APJII 2024 menunjukkan, 76 persen anak Indonesia usia 5â17 tahun menggunakan internet setiap hari, dan lebih dari separuhnya tanpa pengawasan orang tua.
Kebijakan PP TUNAS juga diintegrasikan dengan dua strategi nasional lainnya: program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG).
Meutya Hafid menjelaskan, ketiganya merupakan pendekatan terpadu untuk membentuk generasi sehat, cerdas, dan berkarakter menuju Indonesia Emas 2045.
Namun, perlindungan digital tak berhenti di level teknis. Pemerintah juga menggandeng lembaga budaya dan komunitas seni sebagai mitra penguatan karakter.
âRuang digital tidak boleh mendominasi seluruh kehidupan anak. Mereka tetap perlu bersentuhan dengan budaya dan pengalaman nyata,â ujar Meutya.
Di Solo, misalnya, kegiatan belajar di Pura Mangkunegaran menjadi bagian dari pendidikan karakter berbasis budaya. Anak-anak diajak mengenal seni tari, gamelan, dan filosofi kebangsaan â sekaligus memahami bahwa teknologi hanyalah alat, bukan identitas.
Beberapa daerah mulai menindaklanjuti PP TUNAS dengan kebijakan lokal. Dinas Pendidikan DKI Jakarta, misalnya, tengah menyiapkan SOP penggunaan perangkat digital di sekolah.
Sementara di Jawa Barat, Dinas Pendidikan bekerja sama dengan Kominfo dan komunitas guru untuk membuat Panduan Sekolah Aman Digital.
Panduan tersebut mencakup langkah konkret seperti:
-
Penggunaan platform pembelajaran yang memiliki kontrol usia dan konten edukatif.
-
Pemasangan aplikasi pemantau aktivitas daring siswa di laboratorium komputer sekolah.
-
Kegiatan edukasi digital bagi orang tua minimal dua kali setahun.
-
Penunjukan guru literasi digital sebagai pengawas keamanan siber sekolah.
âGuru kini tidak hanya mengajar, tapi juga menjadi penjaga nilai dan keamanan digital. Ini tantangan baru bagi dunia pendidikan,â ujar Nuryati, Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan Jabar.
Kasus-kasus di lapangan memperlihatkan urgensi kebijakan ini. Di sebuah SMP di Bekasi, guru mendapati siswa membuat akun media sosial palsu untuk mengunggah konten satir dan hoaks.
Di Bandung, anak kelas empat SD menjadi korban perundungan daring melalui grup permainan online.
Insiden semacam itu menjadi alarm keras: teknologi yang dimaksudkan untuk mempermudah pembelajaran bisa berubah menjadi ancaman jika tidak diimbangi pengawasan dan pendidikan karakter.
PP TUNAS berupaya menutup celah itu â menjadikan ruang digital bukan ancaman, melainkan ekosistem pembelajaran yang aman dan mendidik
Kemkomdigi menegaskan, penerapan PP TUNAS tidak dimaksudkan membatasi anak-anak menjelajahi teknologi, tetapi mengarahkan mereka pada penggunaan yang produktif dan beretika.
Pemerintah mendorong sekolah menjadi ruang simulasi etika digital, tempat anak belajar berpikir kritis, menghargai privasi, dan memahami konsekuensi dari setiap tindakan daring.
âAnak harus tahu, sekali sesuatu diunggah ke internet, itu bisa bertahan selamanya. Jadi mereka harus diajarkan tanggung jawab digital sejak dini,â kata Dewi Kusumawardani, pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia.
Kebijakan PP TUNAS membuka babak baru perlindungan anak di era digital. Namun keberhasilannya tak hanya bergantung pada pemerintah, melainkan pada kesadaran kolektif seluruh ekosistem pendidikan â guru, orang tua, siswa, dan penyedia teknologi.
Regulasi tanpa kesadaran hanyalah teks hukum. Kesadaran tanpa sistem hanyalah niat baik. PP TUNAS berusaha menjembatani keduanya: menghadirkan aturan yang memberi arah, sekaligus membangun budaya digital yang beretika dan manusiawi.
Ketika lonceng sekolah berbunyi di berbagai penjuru negeri, anak-anak kini memasuki dunia belajar yang baru: dunia di mana papan tulis bersanding dengan layar, dan pena berpadu dengan jari di atas gawai. Tugas bangsa adalah memastikan mereka tidak tersesat dalam cahaya digital itu.
Dengan PP TUNAS, pemerintah menegaskan bahwa kemajuan teknologi tidak boleh mengorbankan masa depan anak. Tujuan akhirnya sederhana namun mendasar: anak Indonesia tumbuh aman di dunia digital, sehat secara jasmani, dan kuat dalam identitas budaya menuju Indonesia Emas 2045.
Tim Scholmedia
Tinggalkan Komentar