Schoolmedia News Jakarta == Di ruang tenun sederhana di Lamongan, suara gedoganâalat tenun tradisionalâberadu pelan dengan tumpukan serat benang. Para peserta muda tampak antusias, sebagian baru pertama kali menyentuh alat itu. Mereka mengikuti pelatihan dalam program Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW), hasil kolaborasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dengan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas).
Program ini diklaim sebagai langkah strategis melahirkan wirausahawan muda berbasis warisan budaya. Namun di balik semangat pelatihan dan sambutan pejabat, muncul pertanyaan mendasar benarkah program ini melahirkan perajin muda yang mandiri, atau sekadar menenun impian yang tak pernah jadi kain?
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi PKPLK, Tatang Muttaqin, menyebut program PKW sebagai wujud âpendidikan bermutu untuk semuaâ. Tahun 2025, kerja sama ini menargetkan 500 peserta di empat daerahâLamongan, Bojonegoro, Jepara, dan Ogan Ilirâyang akan dilatih agar mampu berwirausaha dan melestarikan tenun.
Namun, jika menilik data dari periode 2020â2024, dari 5.544 peserta PKW Tekun Tenun dan Kriya, hanya sekitar 23% yang berhasil mempertahankan usahanya setelah pelatihan berakhir. Sebagian besar mengaku kesulitan mengakses modal, pasar, dan pendampingan lanjutan.
âSetelah pelatihan, kami tidak tahu harus menjual ke mana. Bahan baku mahal, alat tenun kami pinjam,â tutur Ayu (22), alumni PKW 2022 asal Jepara. âKami dapat pelatihan dua minggu, tapi tak ada pembinaan berikutnya.â
Antara Konsep dan Kenyataan
Kisah Ayu menggambarkan jurang antara konsep dan kenyataan. Di atas kertas, program ini menyiapkan wirausaha muda berbasis budaya. Di lapangan, banyak peserta yang kembali menjadi pencari kerja setelah âsertifikat pelatihanâ diterima.
Masalah utama PKWâterutama pada program tenun dan kriyaâadalah durasi pelatihan yang terlalu singkat dan minim pendampingan pascapelatihan. Sebagian besar peserta hanya mendapatkan pelatihan antara 2 hingga 4 minggu, tanpa kurikulum berjenjang atau magang industri.
Menurut Dr. Farah Kurniasih, pakar pendidikan vokasi dari Universitas Negeri Yogyakarta, model pelatihan semacam ini âlebih menyerupai kegiatan sosial daripada pendidikan keterampilanâ.
âKecakapan wirausaha tidak bisa ditanamkan dalam dua minggu. Diperlukan model pelatihan berkelanjutan, mentoring bisnis, serta dukungan pemasaran agar lulusan tidak kembali ke titik nol,â ujarnya
Ia menilai, tanpa desain kurikulum berbasis kompetensi dan rantai pasok industri, program PKW akan terus menjadi proyek pelatihan seremonial yang berulang setiap tahun dengan hasil stagnan.
Tenun Nusantara memiliki nilai budaya tinggi, namun perajin tradisional di berbagai daerah menghadapi tantangan berat: regenerasi yang minim, bahan baku yang mahal, dan pasar yang sempit.
Di Jepara misalnya, jumlah penenun aktif menurun 30% dalam lima tahun terakhir. Anak muda lebih memilih bekerja di pabrik dengan upah tetap daripada menenun berjam-jam dengan penghasilan tak menentu.
Program PKW berpotensi menjadi solusi, jika saja diarahkan untuk menjembatani tradisi dan teknologi.
Sayangnya, pendekatan yang digunakan masih berpusat pada pelatihan manual, tanpa memperkenalkan teknologi tekstil digital, desain modern, atau strategi pemasaran daring.
âTenun itu harus dihidupkan lewat inovasi, bukan nostalgia,â kata Nurmala Siregar, kurator kain tradisional Indonesia. âAnak muda mau menenun kalau mereka melihat masa depan ekonomi di dalamnya.â
Masalah mendasar PKW bukan hanya pada pelatihan, tetapi pada sistem pendidikan vokasi Indonesia yang belum memiliki arah ekosistem industri yang utuh.
Hingga kini, tidak ada sinergi jelas antara pelatihan nonformal (seperti PKW) dan pendidikan formal vokasi di SMK atau politeknik. Setiap lembaga berjalan sendiri, dengan kurikulum yang tidak saling terhubung.
âPelatihan vokasi kita masih terfragmentasi. Tidak ada jalur karier yang jelas bagi lulusan PKW,â ungkap Dr. Syaiful Hidayat, peneliti kebijakan pendidikan dari Pusat Kajian Reformasi Pendidikan.
Agar program seperti PKW Tenun Nusantara tidak berhenti di seremoni dan sertifikat, beberapa langkah strategis perlu dilakukan:
-
ð Kurikulum Berjenjang dan Terintegrasi
PKW harus memiliki standar kompetensi nasional berbasis skill pathwayâmulai dari pelatihan dasar, magang, hingga pendampingan usaha. Peserta tidak hanya âdilatihâ, tapi âdibentukâ menjadi pelaku ekonomi kreatif. -
ð¡ Model Inkubasi Bisnis dan Pendampingan Pasca-Pelatihan
Bentuk pusat inkubasi UMKM berbasis sekolah atau BLK yang memberi mentoring 6â12 bulan, dengan dukungan modal mikro dan akses ke pasar digital (marketplace, pameran, B2B). -
ð Integrasi Teknologi dan Inovasi Produk
Tenun harus dipadukan dengan pelatihan desain digital, branding, dan pemasaran daring. Kemitraan dengan perguruan tinggi seni atau startup lokal bisa menjadi penguat. -
ð§¶ Keterlibatan Komunitas dan Regenerasi Perajin Muda
Jadikan sekolah dan komunitas sebagai ruang kreatif bersamaâtempat anak muda belajar menenun dengan pendekatan modern tanpa meninggalkan nilai tradisi. -
ð Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan
Setiap peserta PKW perlu dipantau selama minimal satu tahun untuk memastikan pelatihan berdampak nyata terhadap pendapatan dan kemandirian usaha.Program PKW Kerja Sama Kemendikdasmen dan Dekranas sejatinya membawa semangat luhur: melestarikan budaya sekaligus menumbuhkan ekonomi kreatif. Namun, tanpa reformasi dalam desain kurikulum, sistem pelatihan, dan dukungan ekosistem wirausaha, program ini hanya akan menjadi benang panjang tanpa anyaman.
Anak muda memang diajak menenun, tapi yang lebih penting: mereka perlu dibekali alat, arah, dan akses agar hasil tenunnya benar-benar menjadi kain kehidupan, bukan sekadar serat yang lepas di tangan kebijakan.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar