Cari

Ratusan Guru Mundur 115 Siswa Sekolah Rakyat Ikut Menyusul, Pemerintah Pastikan Proses Penggantian Berjalan Lancar



Ratusan Guru Mundur 115 Siswa Sekolah Rakyat Ikut Menyusul, Pemerintah Pastikan Proses Penggantian Berjalan Lancar

Schoolmedia News Jakarta ==  Gelombang pengunduran diri tengah melanda Sekolah Rakyat. Setelah sebelumnya ratusan guru memilih hengkang, kini giliran para siswa yang ikut mundur. Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau akrab disapa Gus Ipul, mengungkapkan bahwa sebanyak 115 siswa dari berbagai daerah resmi meninggalkan Sekolah Rakyat.

Jumlah itu setara dengan sekitar 1,4 persen dari total 9.705 siswa yang diterima tahun ini. Meski relatif kecil, fenomena ini cukup menyita perhatian, mengingat Sekolah Rakyat digadang-gadang sebagai program pendidikan alternatif yang mengandalkan sistem asrama penuh.

Menurut Gus Ipul, siswa yang mundur tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Jawa dan Sulawesi menjadi daerah dengan jumlah terbanyak, masing-masing 35 siswa. Sumatera: 26 siswa. Kalimantan: 10 siswa. Bali dan Nusa Tenggara: 4 siswa. Maluku: 5 siswa.

“Di Kalimantan ada 10 siswa, di Sumatera 26 siswa, di Jawa dan Sulawesi masing-masing 35 siswa. Di Bali dan Nusa Tenggara 4 siswa, dan di Maluku 5 siswa yang mengundurkan diri,” ujar Gus Ipul di Kantor Kemensos.

Proses Penggantian Siswa

Kementerian Sosial memastikan bahwa kekosongan kursi siswa segera terisi. Di Sulawesi, misalnya, dari 35 siswa yang mundur, 26 sudah mendapat pengganti dan sisanya masih dalam proses. Bali dan Nusa Tenggara: seluruh siswa yang mundur telah digantikan. Sumatera: 14 dari 26 sudah tergantikan. Jawa: 19 dari 35 sudah tergantikan.

“Kami pastikan tidak ada kursi yang kosong. Pemerintah sudah menyiapkan pengganti agar jumlah siswa tetap sesuai target,” tegas Gus Ipul.

Gus Ipul mengungkapkan, alasan utama para siswa mundur adalah ketidakmampuan beradaptasi dengan sistem asrama. Sejumlah siswa mengaku berat dengan aturan ketat di lingkungan sekolah. Ada pula yang tidak bisa jauh dari orang tua, atau harus mendampingi orang tua tunggal di rumah.

“Sebagian besar merasa berat dengan aturan di asrama, ada juga yang tidak bisa jauh dari orang tua atau harus menjaga orang tua tunggal. Baik anak yatim maupun yatim piatu,” jelasnya.

Kemensos sendiri telah melakukan pendekatan dan dialog dengan keluarga siswa sebelum keputusan pengunduran diri diambil.

Masa Depan Sekolah Rakyat

Meski diterpa gelombang pengunduran diri guru dan siswa, pemerintah menegaskan bahwa Sekolah Rakyat tetap berjalan. “Jumlah siswa yang mundur masih sangat kecil dibanding total keseluruhan. Pemerintah siap menjamin kelanjutan pendidikan anak-anak yang sudah diterima,” ujar Gus Ipul.

Sekolah Rakyat diharapkan tetap menjadi rumah baru bagi anak-anak yang ingin menempuh pendidikan alternatif, meski jalan menuju keberhasilan program ini masih penuh tantangan.

Program Sekolah Rakyat diluncurkan dengan janji besar: menjadi alternatif pendidikan berkualitas bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, yatim, dan mereka yang membutuhkan dukungan penuh negara. Dengan sistem asrama penuh, Sekolah Rakyat digadang-gadang mampu membentuk kemandirian sekaligus menyediakan lingkungan belajar yang lebih kondusif.

Namun, dalam perjalanannya, idealisme itu mulai terguncang. Setelah ratusan guru lebih dulu mengundurkan diri, kini giliran para siswa yang menyusul. Data Kementerian Sosial mencatat 115 siswa atau 1,4 persen dari total 9.705 siswa resmi mundur. Meski angka ini terdengar kecil, sesungguhnya ia adalah tanda penting: ada sesuatu yang tidak beres dalam desain maupun pelaksanaan program ini.

Alasan paling banyak dikemukakan siswa yang mundur adalah ketidakmampuan beradaptasi dengan aturan ketat di asrama. Bagi sebagian anak, terutama yang baru beranjak remaja, hidup jauh dari orang tua adalah cobaan berat. Apalagi banyak dari mereka yang harus meninggalkan orang tua tunggal, atau bahkan menjadi satu-satunya penopang keluarga di rumah.

Alih-alih menjadi ruang pembentukan karakter, sistem asrama justru berubah menjadi beban. Negara tampak abai pada fakta sosial bahwa tidak semua anak mampu—orang tuanya rela—melepas ikatan keluarga demi pendidikan formal di tempat baru.

Krisis Guru, Krisis Kepercayaan

Lebih ironis lagi, sebelum siswa mundur, ratusan guru sudah lebih dulu angkat kaki. Mundurnya guru dalam jumlah besar jelas menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana sekolah ini dikelola. Apakah beban kerja yang tidak sepadan, sistem manajemen yang kaku, atau kesejahteraan yang jauh dari layak?

Jika tenaga pengajarnya saja tidak betah, bagaimana mungkin siswa merasa aman dan nyaman? Kepercayaan publik pada Sekolah Rakyat perlahan tergerus, bukan karena idenya buruk, melainkan karena pelaksanaannya jauh dari matang.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf boleh saja menekankan bahwa jumlah siswa yang mundur hanya 1,4 persen. Namun, di balik angka itu ada cerita-cerita yang menyentuh: anak yang tidak sanggup jauh dari orang tua, remaja yang harus menjaga orang tua tunggal, atau murid yang patah arang menghadapi aturan ketat.

Setiap satu anak yang mundur berarti ada satu cita-cita yang terhenti. Menganggap angka itu kecil sama saja dengan mengabaikan kompleksitas persoalan yang dihadapi para siswa.

Evaluasi yang Mendesak

Sekolah Rakyat tidak bisa hanya dinilai dari jumlah kursi yang terisi. Program ini membutuhkan evaluasi menyeluruh:

  1. Apakah sistem asrama benar-benar sesuai dengan kebutuhan sosial siswa?
  2. Apakah kesejahteraan guru dan tenaga pengajar dijamin dengan baik?
  3. Apakah pendekatan terhadap siswa dan keluarganya cukup manusiawi?

Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Sekolah Rakyat hanya akan menjadi proyek besar yang rapuh, berdiri megah di atas idealisme tetapi goyah dalam praktik.

Sekolah Rakyat lahir dari niat baik: memberi kesempatan belajar setara bagi anak-anak yang termarjinalkan. Namun, niat baik tidak cukup. Tanpa manajemen yang solid, kebijakan yang adaptif, dan pemahaman mendalam atas kondisi sosial siswa, sekolah ini justru berisiko menambah beban anak-anak yang semula ingin diringankan.

Jika negara serius, maka Sekolah Rakyat harus segera dibenahi—bukan sekadar diganti siswanya, tapi diperbaiki sistemnya.

Tim Schoolmedia 

Lipsus Selanjutnya
Program Cek Kesehatan Gratis di Sekolah Serentak Dimulai 4 Agustus 2025
Lipsus Sebelumnya
Wakil Indonesia Raih 7 Perak di Ajang Tata Boga Internasional

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar