Schoolmedia News Jakarta == Pagi itu, udara Jakarta belum sepenuhnya panas ketika Nia Nurhasanah menandatangani sebuah dokumen setebal hampir seratus halaman. Di ruang kerjanya di lantai tujuh Gedung E Kompleks Kemendikdasmen Senayan, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini itu tampak lega. âIni bukan sekadar proyek pembangunan fisik,â ujarnya pelan, âini tentang meletakkan kembali fondasi masa depan anak-anak Indonesia.â
Dokumen yang dimaksud adalah Panduan Pelaksanaan Bantuan Pemerintah Program Revitalisasi Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Tahun Anggaran 2025. Di atas kertas, panduan ini tampak teknis: berisi petunjuk tentang mekanisme penetapan sasaran, penyusunan RAB, hingga format pakta integritas. Namun di balik bahasa administratifnya, tersimpan ambisi besar: membenahi kualitas satuan PAUD dari Sabang sampai Merauke, agar benar-benar menjadi ruang tumbuh yang aman, sehat, dan bermartabat bagi anak-anak usia emas.
Semua berawal dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 tentang Percepatan Pelaksanaan Program Pembangunan dan Revitalisasi Satuan Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah. Inpres itu menugaskan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk mempercepat pembenahan lembaga pendidikan dari bawah. Sebab, sebagaimana diakui pemerintah, banyak PAUD di pelosok negeri yang masih menempati bangunan seadanya, bahkan tidak sedikit yang berdinding papan dan berlantai tanah.
Melalui program revitalisasi ini, negara berupaya memulihkan marwah PAUD sebagai fondasi pertama sistem pendidikan nasional. Targetnya: menciptakan lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan menumbuhkan kreativitas anak. âAnak-anak harus belajar di ruang yang membuat mereka bahagia,â ujar Nia, mengutip prinsip dasar pendidikan anak usia dini yang berorientasi pada bermain dan eksplorasi.
Panduan ini memaparkan mekanisme yang nyaris militeristik dalam ketepatannya. Semua dimulai dari tahap pengusulanâbaik dari pemerintah daerah, lembaga masyarakat, maupun pemangku kepentingan lainâyang disaring melalui sistem Krisna (aplikasi kolaborasi perencanaan antara Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kemendikbud).
Setiap satuan PAUD yang diusulkan harus memenuhi sederet kriteria: memiliki NPSN, menerima dana BOSP, mengisi Dapodik, memiliki lahan legal tanpa sengketa, serta menunjukkan bukti kebutuhan nyata akan revitalisasiâbaik karena kerusakan prasarana, kebutuhan ruang baru, atau penyesuaian standar pendidikan nasional. Tak ada lagi âPAUD silumanâ yang sekadar numpang nama.
Setelah itu, tim Direktorat PAUD melakukan inventarisasi data, mengelompokkan mana usulan yang valid dan mana yang tidak. Tahap ini dilanjutkan dengan konfirmasi ke pemerintah daerah, dibantu Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP). Setiap langkah wajib disertai Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM)âdokumen yang memastikan kepala satuan pendidikan bersedia bertanggung jawab penuh atas kebenaran data dan pelaksanaan program.
Antara Panduan dan Fakta Lapangan
Di atas kertas, sistem ini tampak sempurna. Namun di lapangan, selalu ada cerita lain.
Di Lampung Timur, misalnya, Kepala PAUD Mekar Sari, Nuraini, sempat bingung saat menerima formulir dokumen Rencana Penggunaan Dana (RPD) dan Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS). âKami bukan insinyur atau akuntan,â katanya. âBingung harus mulai dari mana.â
Kebingungan semacam ini bukan hal baru. Dalam banyak program bantuan pemerintah, satuan pendidikan kerap dibebani tanggung jawab administratif yang jauh di luar kapasitas mereka. Tak jarang guru-guru PAUD yang sehari-hari sibuk mengajar harus berubah menjadi pengelola proyek, bahkan kontraktor kecil.
Di ruang rapat kementerian, semua berjalan sesuai rencana. Tapi di ruang kelas, guru PAUD masih harus memilih antara membeli cat atau membeli alat permainan edukatif (APE). Sebab dana yang datang kerap sudah âterkunciâ oleh menu revitalisasi: membangun toilet, mengganti atap, atau menambah ruang kelas.
Padahal, di beberapa tempat, yang paling mendesak bukanlah bangunan, melainkan peningkatan kapasitas pendidik.
âBangunan yang indah tidak menjamin pembelajaran yang indah,â ujar Dr. Lestari Wulandari, psikolog pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta. âYang membuat anak tumbuh bukan tembok, tapi sentuhan.â
Kritik itu terdengar pelan tapi tajam, seperti gesekan kapur di papan tulis.
Direktorat PAUD tampaknya sadar akan masalah ini. Dalam panduan disebutkan, sebelum dana dicairkan, setiap penerima bantuan wajib mengikuti bimbingan teknis (bimtek) yang diselenggarakan oleh pemberi bantuan. Di situ, para kepala PAUD dibimbing menyusun dokumen teknis, mulai dari gambar rencana, RAB, kurva S jadwal kerja, hingga format laporan keuangan. âBimtek bukan sekadar formalitas,â kata Nia. âKami ingin memastikan setiap rupiah yang keluar berdampak langsung pada kualitas belajar anak.â
Namun, di beberapa daerah terpencil, pelaksanaan bimtek masih terkendala akses dan waktu. âKadang undangan bimtek datang mendadak, sementara sekolah kami jauh dari kota,â keluh Sri, pengelola PAUD di Kabupaten Asmat, Papua Selatan. Ia berharap pemerintah menyiapkan model pendampingan daring yang lebih fleksibel.
Salah satu kekuatan panduan ini terletak pada mekanisme akuntabilitasnya. Setiap tahap dilengkapi dengan sistem kontrol berlapis. Ada tim ahli yang menilai kelayakan dokumen, tim pengawas yang memeriksa progres, dan kewajiban membuat Pakta Integritas bagi semua anggota Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP). Dalam dokumen itu, setiap penanggung jawab menyatakan tidak akan melakukan praktik korupsi, kolusi, atau nepotisme.
Sanksinya pun tegas. Satuan PAUD yang terbukti melanggar ketentuan atau menyalahgunakan dana akan mendapat teguran tertulis, diwajibkan mengembalikan dana ke kas negara, dan bisa masuk daftar hitam penerima bantuan tahun berikutnya. Bagi negara yang selama ini kerap kalah oleh lemahnya pengawasan di tingkat akar rumput, sistem seperti ini memberi harapan baru.
Namun, sebagaimana dicatat banyak pemerhati pendidikan, pengawasan bukan hanya soal administrasi, tapi juga tentang nilai. âAkuntabilitas tidak bisa hanya diukur dari laporan keuangan,â kata Retno Listyarti, pemerhati kebijakan publik di sektor pendidikan. âYang lebih penting adalah memastikan bahwa ruang belajar yang dibangun benar-benar digunakan untuk kepentingan anak-anak.â
Panduan Atur Seluruh Standar Desain Fisik
Menariknya, panduan ini tak hanya mengatur soal dana dan administrasi, tapi juga standar desain fisik. Setiap ruang belajar, ruang administrasi, toilet, hingga taman bermain dirancang dengan prinsip keselamatan dan ergonomi anak.
Semua sudut meja dan kursi harus tumpul, tinggi kursi diatur agar sesuai postur anak, dan bahan harus bebas dari unsur tajam atau berbahaya. Bahkan detail seperti jarak antar ayunan, kemiringan seluncuran, dan luas taman bermain minimal 50 meter persegi pun diatur ketat.
Kementerian ingin memastikan setiap ruang yang dibangun tak hanya indah dipandang, tapi benar-benar mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. âSelama ini banyak PAUD yang ruangannya gelap, lembap, bahkan tanpa ventilasi memadai,â kata Nia. âKami ingin mengubah itu.â
Namun, di balik semangat revitalisasi ini, sejumlah catatan kritis mengemuka. Pertama, fokus yang terlalu besar pada pembangunan fisik bisa menggeser esensi pendidikan anak usia dini yang seharusnya menitikberatkan pada kualitas interaksi, bukan sekadar ruang dan bangunan. âRevitalisasi harus diimbangi dengan peningkatan kompetensi guru,â kata psikolog pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta, Dr. Lestari Wulandari. âAnak tidak butuh ruang mewah jika gurunya tidak mampu menciptakan pembelajaran yang hangat dan bermakna.â
Kedua, model bantuan berbasis proyek kadang menimbulkan ketimpangan. PAUD yang memiliki akses ke dinas atau jejaring politik cenderung lebih mudah terpilih sebagai penerima bantuan. Sedangkan PAUD kecil di desa yang terpencil, meski kondisinya memprihatinkan, sering terlewat. Tantangan berikutnya adalah memastikan pemerataan.
Direktorat PAUD mengaku tengah menyiapkan sistem verifikasi berbasis data Dapodik untuk meminimalisir kesenjangan itu. âKami ingin data menjadi dasar, bukan kedekatan,â tegas Nia.
Meski penuh tantangan, panduan ini tetap menjadi tonggak penting dalam sejarah pendidikan anak usia dini di Indonesia. Untuk pertama kalinya, pemerintah menyusun dokumen panduan revitalisasi PAUD dengan detail teknis dan administratif yang lengkapâmulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, hingga pelaporan.
Bagi Nia Nurhasanah, ini bukan sekadar soal membangun tembok dan atap, melainkan membangun masa depan. âKalau ruang PAUD baik, guru nyaman, anak bahagiaâdi situlah pendidikan bermula,â ujarnya menutup perbincangan.
Di luar gedung kementerian, ribuan guru PAUD kini menunggu giliran. Mereka berharap revitalisasi tak berhenti di tumpukan kertas, tetapi benar-benar hadir dalam bentuk ruang kelas yang terang, meja belajar yang kokoh, dan taman bermain yang penuh tawa. Sebab di ruang kecil bernama PAUD itulah masa depan bangsa sedang belajar berjalan.
Negara tampaknya masih menyamakan pendidikan dengan konstruksi. Padahal, membangun PAUD bukan sekadar menegakkan beton dan baja ringan, melainkan menciptakan atmosfer yang penuh kasih.
Panduan memang telah memerinci setiap aspek pembangunan, bahkan sampai gambar taman bermain berukuran 50 meter persegi lengkap dengan ayunan dan seluncuran. Tapi tak satu pun pasal yang berbicara tentang tawa anak-anak.
Tak ada formulir untuk merekam kebahagiaan, tak ada kolom laporan untuk mencatat rasa aman di hati seorang anak. Birokrasi, dalam wujudnya yang paling jujur, memang jarang bisa mengukur hal-hal yang paling manusiawi.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar