Cari

SPMB 2025 Dari Zonasi ke Domisili, Murid Tetap Tak Punya Rumah di Sekolah Unggul


Schoolmedia News Jakarta == Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menyampaikan hasil pemantauan pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun 2025 dalam Rapat Kerja bersama Komite III DPD RI, Selasa (30/9).

Dengan penuh keyakinan, ia menegaskan bahwa semangat utama SPMB adalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bermutu bagi semua anak Indonesia.

“Sekolah merupakan lembaga yang berfungsi membangun dan memperkuat inklusi, kohesi, dan integrasi sosial. Pengalaman belajar di sekolah yang dekat dengan rumah memberi anak relasi sosial yang kuat dengan teman sebaya,” ucap Abdul Mu’ti dalam rapat.

Paparan Mendikdasmen ini seolah menegaskan bahwa kebijakan SPMB 2025 membawa perbaikan signifikan. Ia menyebut mayoritas kepala sekolah menilai SPMB tahun ini lebih baik ketimbang sebelumnya, mulai dari kejelasan jadwal, alur seleksi yang sederhana, hingga ketentuan jalur yang lebih mudah diterapkan.

Bahkan, sentimen negatif di media sosial disebut menurun tajam. Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah narasi optimisme ini sejalan dengan kenyataan di lapangan?

Salah satu sorotan kebijakan SPMB sejak awal adalah persoalan zonasi. Meskipun Mendikdasmen mengklaim perubahan ke sistem berbasis domisili lebih tertata, banyak orang tua di daerah masih mengeluhkan terbatasnya sekolah bermutu di sekitar mereka.

Fakta di lapangan menunjukkan ketimpangan mutu pendidikan antara sekolah di pusat kota dengan sekolah di pinggiran tetap nyata.

Siswa yang tinggal di wilayah dengan sekolah unggul tentu diuntungkan, sementara anak dari daerah yang fasilitas sekolahnya terbatas terjebak dalam “pemerataan semu”.

Abdul Mu’ti juga menyinggung rencana menjadikan Tes Kompetensi Akademik (TKA) sebagai pertimbangan jalur prestasi mulai tahun 2026/2027. Menurutnya, TKA lebih valid dibandingkan nilai rapor yang rawan inflasi angka.

Meski mendapat sambutan positif dari sebagian anggota DPD RI, rencana ini menyimpan catatan kritis. TKA berpotensi menambah beban psikologis siswa dan biaya tambahan bagi orang tua, terutama mereka yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Jika tidak disertai jaminan akses bimbingan belajar yang adil, maka TKA justru melanggengkan ketidaksetaraan pendidikan.

Kemendikdasmen menyatakan telah melibatkan banyak pihak—kepala dinas pendidikan, BBPMP, BPMP, hingga Ombudsman—untuk mengevaluasi SPMB. Tetapi evaluasi ini kerap hanya berhenti pada aspek teknis administrasi, bukan pada ketidakmerataan kualitas sekolah dan minimnya distribusi guru berkualitas.

Tanpa menyelesaikan akar persoalan tersebut, SPMB hanya akan menjadi instrumen pengatur alur pendaftaran, bukan solusi pemerataan mutu pendidikan.

Anggota Komite III DPD RI dari Sumatra Utara dan Bengkulu memberikan apresiasi pada pemerintah, terutama dalam perubahan zonasi menjadi domisili serta rencana penggunaan TKA.

Namun, apresiasi semacam ini berisiko menjadi “euforia kebijakan” yang menutup mata dari suara publik yang masih kesulitan mengakses sekolah bermutu.

Abdul Mu’ti menutup paparannya dengan permohonan kerja sama lintas lembaga agar SPMB 2026/2027 lebih baik. Pernyataan itu terdengar normatif—sebuah janji klasik pemerintah.

Pertanyaannya, sejauh mana kerja sama ini mampu menjawab persoalan mendasar: jumlah sekolah unggul yang terbatas, distribusi guru tak merata, serta jurang kualitas antara kota dan desa?

Jika permasalahan struktural ini tidak disentuh, semangat inklusi dan pemerataan yang digaungkan Mendikdasmen berpotensi tinggal jargon.

Tim Schoolmedia

Berita Sebelumnya
Juara Dunia MotoGP Marc Marquez dan Dua Pembalap Muda Indonesia Bertemu Presiden Prabowo

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar