Cari

Hari Hak untuk Tahu Sedunia: Keterbukaan Informasi sebagai Jalan Menuju Keadilan bagi Perempuan



Schoolmedia News Jakarta == Pada setiap tanggal 28 September, dunia memperingati Hari Hak untuk Tahu Sedunia (International Right to Know Day)—sebuah momen penting yang bukan hanya menandai hak fundamental atas akses informasi, tetapi juga menjadi panggung perjuangan masyarakat sipil untuk mendorong transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan informasi publik.

Di Indonesia, peringatan ini menjadi sangat relevan, terutama ketika dikaitkan dengan pemenuhan hak-hak perempuan. Dalam konteks kekerasan berbasis gender yang masih tinggi, akses terhadap informasi bukan hanya hak, melainkan kebutuhan mendesak bagi perempuan korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.

Gerakan "Hak untuk Tahu" bermula pada 26-28 September 2002, saat perwakilan masyarakat sipil dari 15 negara di Afrika berkumpul untuk menuntut keterbukaan informasi dari pemerintah mereka. Seruan global ini mendapat legitimasi lebih lanjut ketika UNESCO mengadopsi tanggal tersebut sebagai momen internasional melalui Konferensi Umum ke-38 pada 3 November 2015. Tak lama berselang, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi memproklamasikan Hari Hak untuk Tahu Sedunia pada tahun 2019.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 Deklarasi Hak Asasi Manusia 1966 dan Pasal 28F UUD NRI 1945, hak atas informasi merupakan bagian integral dari kebebasan berekspresi. Hak ini meliputi kemampuan untuk mencari, menerima, dan menyebarluaskan informasi, yang esensial untuk membangun kehidupan yang adil dan bermartabat.

Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani, menggarisbawahi bahwa â€œHak atas informasi bukan sekadar hak untuk mengetahui sebuah informasi, namun ada hak untuk mengonstruksi hidup yang bermartabat bagi perempuan.”

Dalam kenyataannya, banyak perempuan korban kekerasan tidak mengetahui harus ke mana melapor, tidak tahu layanan apa saja yang tersedia, dan tidak mengakses kebijakan yang sebenarnya dirancang untuk melindungi mereka. Hal ini memperlihatkan betapa akses informasi bukan sekadar hak, tetapi juga prasyarat bagi keadilan.

Potret Kekerasan terhadap Perempuan: Data Tak Bisa Dibiarkan Bisu

Komnas Perempuan melalui Catatan Tahunan (Catahu) mencatat masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dalam lima tahun terakhir:

  • 2020: 302.300 kasus

  • 2021: 459.094 kasus

  • 2022: 457.895 kasus

  • 2023: 401.975 kasus

  • 2024: 445.502 kasus

Kekerasan ini terjadi di berbagai ranah—personal, publik, hingga negara—yang memperlihatkan betapa kompleks dan meluasnya persoalan ini. Namun, minimnya akses informasi untuk layanan pendampingan, hukum, atau rehabilitasi membuat banyak korban terjebak dalam lingkaran kekerasan tanpa jalan keluar.

Komisioner Irwan Setiawan menyebutkan bahwa keterbukaan informasi merupakan syarat mutlak untuk membangun keadilan dan mendorong kebijakan yang berpihak pada korban: â€œTransparansi informasi sangat krusial untuk memastikan akuntabilitas negara, menguatkan partisipasi masyarakat, mendorong kebijakan yang responsif gender, dan bahkan dapat membantu perempuan korban kekerasan.”

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menambahkan bahwa hambatan akses informasi menjadi tantangan serius bagi perempuan, khususnya mereka yang berada di kelompok rentan seperti perempuan migran, perempuan berhadapan dengan hukum, dan perempuan adat. Dalam banyak kasus, upaya mereka untuk mendapatkan informasi bahkan berujung pada ancaman kriminalisasi.

Dalam rangka memperingati Hari Hak untuk Tahu Sedunia, Komnas Perempuan menyerukan beberapa langkah penting dalam bentuk kampanye dan advokasi yang dapat dijalankan secara berkelanjutan:

  1. Kampanye Edukasi Publik
    Mengedukasi masyarakat, khususnya perempuan, tentang hak mereka atas informasi melalui media sosial, diskusi publik, dan forum komunitas.

  2. Penguatan Layanan Informasi Ramah Perempuan
    Mendorong badan publik untuk menyediakan layanan informasi yang inklusif, ramah gender, serta mudah diakses oleh kelompok rentan.

  3. Membangun Platform Digital Terintegrasi
    Menyediakan portal informasi digital terpusat mengenai layanan hukum, psikologis, kesehatan, dan sosial untuk korban kekerasan.

  4. Pelatihan untuk Aparat dan Pegiat Layanan
    Melatih petugas layanan publik, aparat penegak hukum, serta LSM agar memahami pentingnya keterbukaan informasi bagi perempuan korban.

  5. Pemantauan dan Audit Informasi Publik
    Melakukan pemantauan terhadap kinerja lembaga publik dalam menyediakan informasi yang wajib diumumkan secara berkala.

  6. Advokasi Kebijakan Pro Transparansi dan Responsif Gender
    Mengadvokasi kebijakan nasional dan daerah untuk menjamin keterbukaan informasi yang sensitif terhadap isu kekerasan berbasis gender.

    Di tengah derasnya arus digitalisasi, informasi bukan lagi sekadar data, tetapi menjadi alat pemberdayaan dan perlindungan. Di momen Hari Hak untuk Tahu Sedunia ini, Komnas Perempuan kembali menegaskan bahwa perempuan berhak tahu—tentang haknya, tentang perlindungan yang disediakan negara, dan tentang semua informasi yang dibutuhkan untuk bangkit dari kekerasan.

    Karena dalam setiap informasi yang dibuka, ada harapan untuk hidup yang lebih adil. Dan dalam setiap transparansi yang ditegakkan, ada ruang untuk keberanian perempuan menyuarakan haknya. 

    "Tanpa informasi, tidak ada keadilan. Tanpa transparansi, tidak ada pemulihan."
    — Komnas Perempuan

Berita Selanjutnya
Musala Ambruk di Pesantren Al Khoziny Sidoarjo, Aksi Cepat Tanggap Evakuasi dan Pulihkan Fasilitas
Berita Sebelumnya
Menteri, Gubernur DKI, Rektor dan Guru Besar ITB Berlari di wondr ITB Ultra Marathon 180 KM untuk Dana Lestari

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar