Cari

Antara Harapan Digitalisasi dan Ketakutan Kepala Sekolah Miliki IFP Puluhan Juta di Sekolah


Mengkhawatirkan, 288 Ribu IFP Menggantung di Ujung Tanduk: Antara Harapan Digitalisasi dan Ketakutan Kepala Sekolah

Schoolmedia News Bogor  == Di tengah euforia program Digitalisasi Pembelajaran yang digulirkan pemerintah, ratusan ribu unit Interactive Flat Panel (IFP) siap didistribusikan ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Namun, di balik janji manis pemerataan kualitas pendidikan, terselip kegelisahan mendalam yang menghantui para kepala sekolah. Bukan soal teknis pengoperasiannya, melainkan kekhawatiran klasik: kehilangan.

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Pengalaman pahit di masa lalu, ketika laptop atau proyektor bantuan pemerintah raib tak berbekas, kini menjadi hantu yang terus membayangi. "Kami ini cuma mengelola, bukan pemilik," ujar salah seorang kepala sekolah PAUD di Jawa Barat yang enggan disebut namanya. "Kalau barangnya hilang, siapa yang menanggung? Kami takut harus ganti, bisa-bisa rumah kami ikut melayang."

Kisah serupa juga dialami oleh banyak kepala sekolah lain. Mereka merasa berada di posisi dilematis. Di satu sisi, mereka menyambut baik kehadiran teknologi yang dijanjikan mampu membuat pembelajaran lebih interaktif. Namun, di sisi lain, nilai barang yang fantastis membuat mereka waswas. "Ini bukan cuma laptop, ini perangkat mahal. Kalau hilang, kami harus berurusan dengan aparat dan proses hukum," keluhnya. "Belum lagi ancaman denda yang bisa membuat kami kehilangan segalanya."

Keresahan ini semakin diperparah dengan belum adanya kejelasan mengenai protokol keamanan dan pertanggungjawaban. Sejumlah kepala sekolah mempertanyakan, apakah perangkat ini boleh dipinjamkan atau disewakan untuk kegiatan di luar sekolah? Misalnya, untuk kepentingan desa atau kelurahan.

"Kami ingin tahu aturannya jelas. Jangan sampai niat baik membantu malah jadi bumerang," tambah kepala sekolah itu. "Daripada mengambil risiko, lebih baik perangkat ini disimpan di lemari terkunci dan tidak dipakai sama sekali."

Di Tengah Hambatan Fundamental

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menargetkan pendistribusian 288 ribu unit IFP, termasuk 64 ribu di antaranya untuk satuan PAUD. Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Fajar Riza Ul Haq, menegaskan bahwa langkah ini adalah bagian dari komitmen pemerintah untuk mempercepat pemerataan kualitas pendidikan.

"Dengan teknologi ini, anak-anak di seluruh daerah di Indonesia akan bisa mengakses konten pembelajaran yang sama dengan anak-anak di kota besar," ujar Wamendikdasmen Fajar di Surabaya.

Namun, pernyataan tersebut terasa ironis di tengah ketakutan para kepala sekolah. Proyek ambisius ini seolah-olah hanya fokus pada distribusi perangkat keras, tanpa mengindahkan masalah fundamental di lapangan. Pertanyaan-pertanyaan penting seputar keamanan, kepemilikan, dan pertanggungjawaban masih menggantung tanpa jawaban yang memuaskan.

Sebagai contoh, jika sebuah IFP rusak atau hilang akibat bencana alam, apakah sekolah akan menanggung kerugian? Jika terjadi pencurian, apakah ada skema asuransi atau perlindungan hukum yang jelas untuk para kepala sekolah?

Ketiadaan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menciptakan iklim ketakutan yang bisa menghambat tujuan utama program digitalisasi.

 Soal Kepercayaan dan Keberlanjutan

Digitalisasi pembelajaran seharusnya bukan hanya tentang mendatangkan perangkat canggih. Ia adalah sebuah ekosistem yang utuh, yang mencakup teknologi, konten, lingkungan belajar, dan strategi pedagogis. Lebih dari itu, ia juga harus membangun fondasi kepercayaan antara pemerintah dan pelaksana di lapangan, yaitu para kepala sekolah dan guru.

"Jangan sampai perangkat ini hanya jadi hiasan," tegas Wamendikdasmen Fajar. Namun, ketakutan kehilangan justru bisa membuat perangkat-perangkat mahal ini benar-benar menjadi "hiasan" di dalam lemari atau gudang. Kepala sekolah yang diliputi kecemasan mungkin akan memilih untuk tidak menggunakannya sama sekali demi menghindari risiko.

Untuk itu, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ini. Selain bimbingan teknis untuk guru, perlu ada kejelasan regulasi yang melindungi sekolah dan kepala sekolah dari risiko kehilangan atau kerusakan.

Skema asuransi, protokol keamanan yang jelas, dan aturan pinjam-meminjam yang transparan harus menjadi bagian tak terpisahkan dari program ini.

Tanpa adanya kebijakan yang komprehensif, program Digitalisasi Pembelajaran yang digembar-gemborkan ini berpotensi gagal.

Perangkat-perangkat canggih itu mungkin akan berakhir sebagai benda mati yang hanya memperdalam jurang antara janji dan realita. Pemerintah harus memastikan bahwa inovasi ini tidak hanya sebatas menghadirkan teknologi, tetapi juga menghilangkan ketakutan yang menghambatnya.

Tim Schoolmedia 


Berita Selanjutnya
KPAI, IDAI, YLKI, INDEF dan JPPI Desak Moratorium MBG dan Evaluasi Total
Berita Sebelumnya
3,5 Juta Pelaku Bisnis Kunjungi Tokyo Expo 2025 di Osaka, Paviliun Indonesia Dikunjungi Presidenn

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar