Cari

970 Guru dan 55 Kepala Sekolah Rakyat Mendapat Pembekalan Dari Mensos



Schoolmedia News Jakarta – Menteri Sosial (Mensos) RI Saifullah Yusuf atau Gus Ipul membuka pembekalan bagi 970 guru dan 55 kepala Sekolah Rakyat di Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Profesi (Pusdiklatbangprof) Kemensos RI, Jakarta Selatan, Selasa (19/8/2025). Kegiatan ini digelar secara hybrid, sebagian besar guru mengikuti secara daring.

Dalam arahannya, Gus Ipul menyebut bahwa Sekolah Rakyat merupakan gagasan Presiden Prabowo Subianto untuk memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan, sekaligus menyiapkan Generasi Emas 2045. “Presiden ingin memuliakan mereka, mengafirmasi mereka, membela mereka dengan kebijakan yang membuat mereka lebih berdaya dan berkontribusi dalam Indonesia Emas 2045,” kata Gus Ipul.

Ia menegaskan, Sekolah Rakyat hadir untuk menjangkau kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 3 juta anak Indonesia masih tidak mengenyam pendidikan, baik karena belum pernah sekolah, putus sekolah, maupun terancam putus sekolah.

“Anak-anak dari keluarga miskin sering kali kehilangan harapan. Dengan adanya Sekolah Rakyat, diharapkan mereka kembali berani bermimpi,” ujar Gus Ipul.

Hingga Agustus 2025, tercatat 100 titik Sekolah Rakyat telah beroperasi dan akan bertambah menjadi 165 titik pada akhir tahun, dengan kapasitas 15.895 siswa. Beberapa kepala sekolah menyambut baik program ini. Kepala Sekolah Rakyat Jayapura, Abigael Kelabi, menilai sekolah berbasis asrama ini membentuk kemandirian anak.

Namun di balik semangat besar itu, pertanyaan kritis bermunculan.
Pertama, jumlah 165 sekolah dengan daya tampung 15 ribu siswa masih sangat kecil dibanding angka 3 juta anak yang tidak sekolah. Program ini berisiko hanya menjadi simbolis tanpa menyelesaikan akar masalah akses dan mutu pendidikan di Indonesia.

Kedua, konsep sekolah berbasis asrama juga menimbulkan tanda tanya. Apakah pemerintah siap dengan biaya operasional jangka panjang, mulai dari makan, kesehatan, hingga pengasuhan? Tanpa perhitungan matang, Sekolah Rakyat bisa menjadi “pabrik mimpi” yang justru membebani anggaran negara.

Ketiga, rekruitmen guru dan pembekalan singkat—meski melibatkan 970 guru dan 55 kepala sekolah—dikhawatirkan tidak cukup menjawab persoalan mendasar kualitas pendidikan. Guru Sekolah Rakyat berhadapan dengan anak-anak marginal yang memiliki masalah kompleks, baik ekonomi, psikologis, maupun sosial. Dibutuhkan tenaga pendidik dengan kompetensi khusus, bukan sekadar pelatihan kilat.

Sejumlah pengamat menilai Sekolah Rakyat lebih berfungsi sebagai proyek politik pencitraan ketimbang solusi struktural. Program ini dirancang secara top-down, tanpa cukup melibatkan pemerintah daerah, komunitas lokal, dan lembaga pendidikan nonformal yang selama ini lebih dekat dengan kelompok marginal.

“Kalau pemerintah sungguh ingin menyelesaikan masalah putus sekolah, seharusnya memperkuat sekolah yang sudah ada—sekolah negeri dan swasta—bukan membangun entitas baru yang justru tumpang tindih,” ujar seorang pengamat pendidikan dari Universitas Indonesia.

Selain itu, keberadaan Sekolah Rakyat dinilai rawan menciptakan stigma. Anak-anak miskin seolah ditempatkan dalam “sekolah kelas dua”, terpisah dari sistem pendidikan nasional yang semestinya inklusif.

Presiden Prabowo berharap Sekolah Rakyat menjadi jalan memutus rantai kemiskinan. Namun, tanpa evaluasi kebijakan yang tajam, Sekolah Rakyat bisa berakhir sebagai proyek sesaat yang tidak mampu mengubah realitas jutaan anak Indonesia yang masih terpinggirkan.

Di tengah semangat membangun Generasi Emas 2045, publik menanti: apakah Sekolah Rakyat benar-benar menjadi terobosan pendidikan, atau hanya retorika politik yang menghabiskan anggaran tanpa hasil nyata?

Tim Schoolmedia

Berita Sebelumnya
Peringatan Hari Konstitusi, UUD 1945 Bukan Sekadar Slogan, tapi Rancang Bangun Nyata Bangsa

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar