Pengamat pendidikan Darmaningtyas, Foto: Istimewa
Pengamat pendidikan, Darmaningtyas menilai, wacana yang terlontar dari Sandiaga Uno saat debat Cawapres pada Minggu (17/3) yang akan meliburkan sekolah selama bulan ramadan atau satu bulan penuh itu tidak sesuai dengan undang-undang sistem pendidikan nasional. Wacana tersebut bertentangan dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 51
Dalam undang-undang tersebut tercantum peraturan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
"Kalau berbasis sekolah yang tepatnya menentukan hari libur, berapa jam sehari harus belajar, berapa hari dalam sebinggu harus belajar, itu mestinya domain sekolah. Kegagalan kebijakan pendidikan orde baru yang sentralistik itu jangan dipulihkan lagi. Pemerintah harus tahu mana yang domain pemerintah pusat, mana yang domain (pemerintah) daerah dan sekolah," kata Darmaningtyas kepada Schoolmedianews melalui sambungan teleponnya, pada Selasa, 19 Maret 2019.
Selama ini, Darmaningtyas melanjutkan, sekolah-sekolah sudah mempunyai program yang diterapkan selama bulan puasa, diantaranya perubahan waktu belajar. Ia mencontohkan, kalau hari-hari biasa sekolah menerapkan jam per mata pelajaran untuk SMP dan SMA adalah 45 menit, maka saat bulan puasa, jam belajar dipotong menjadi 35 menit.
"Waktu per jamnya itu dikurangi 10 menit, rata-rata satu kali mata pelajaran. kalau dalam sehari ada 6 pelajaran kan berarti ada 1 jam pengurangan waktu pelajaran. Sisa waktu yang ada itu biasanya sekolah melakukan berbagai kegiatan untuk menunjang pendidikan agamanya, misalnya mengadakan pesantren kilat," kata Darmaningtyas.
Ia mencontohkan, di Aceh, semua sekolah/madrasah sudah menerapkan libur penuh selama bulan puasa. Begitu pula bila hari raya agama lain. Sekolah-sekolah berbasis agama kristen/katolik, kata Darmanintyas, menerapkan hari libur yang diperpanjang pada saat Paskah/Natal.
"Itu kan bagian dari otonomi sekolah, jadi enggak ada masalah juga. Daerah-daerah lain enggak mempersoalkan. Jadi, kalau kebijakan itu (libur penuh saat ramadan) diambil sentralistik ya enggak tepat. Biarkan itu menjadi otonomi sekolah atau daerah masing-masing, enggak harus sentralistik," kata Darmaningtyas.
Ia menghimbau, agar nantinya pemimpin terpilih di masa pemerintahan mendatang tidak melanjutkan wacana itu dan tidak mengintervensi kebijakan tersebut. Ia berharap, pemerintah pusat konsisten menjalankan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Pasal 51.
Darmaningtyas mengingatkan, sebenarnya di dunia pendidikan ada banyak hal yang harus lebih diperhatikan oleh pemerintah, diantaranya distribusi guru yang merata di semua daerah, tersedianya infrastruktur ke sekolah, dan juga peningkatan angka partisipasi pendidikan tinggi.
"Bicara pada yang paling mendasar itu akses pendidikan yang belum merata. Kedua calon itu kan mengusung agar pendidikan wajib belajar 12 tahun itu konsisten diwujudkan, dan juga yang dibangun bukan hanya gedung sekolahnya saja tetapi juga infrastruktur dan transportasi untuk menuju ke sekolah. Sebab, bila gedung dibangun tetapi kalau akses jalannya enggak ada, sarana transportasi engga ada, masyarakat juga belum tentu mau sekolah," katanya.
Tinggalkan Komentar