
Schoolmedia News Jakarta == Di tengah pagi yang teduh di Jalan Medan Merdeka Barat, langkah-langkah kecil sejumlah advokat dan aktivis HAM terdengar tegas memasuki Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (29/10). Di tangan mereka, setumpuk berkas permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI â simbol perlawanan baru terhadap kembalinya bayang-bayang militerisme di ruang sipil.
Mereka menamakan diri Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan, terdiri dari puluhan organisasi masyarakat sipil, advokat, dan peneliti. Tim ini menjadi kuasa hukum bagi delapan pemohon yang menolak revisi UU TNI, yang mereka nilai sebagai lonceng mundur bagi reformasi militer pasca 1998.
âUndang-undang ini bukan hanya cacat formil karena tanpa partisipasi publik, tapi juga menabrak prinsip supremasi sipil,â ujar Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia, salah satu anggota koalisi.
Para pemohon terdiri dari lima organisasi: Imparsial, YLBHI, KontraS, AJI Indonesia, dan LBH APIK Jakarta, serta tiga individu â Ikhsan Yosarie, peneliti pertahanan dari SETARA Institute, dan dua mahasiswa UGM, M. Adli Wafi serta M. Kevin Setio Haryanto.
Mereka memandang revisi UU TNI 2025 sebagai bentuk rekonsolidasi kekuatan militer melalui mekanisme hukum. âReformasi TNI yang kita perjuangkan dua dekade lalu kini dimanipulasi lewat pasal-pasal yang membuka ruang impunitas dan intervensi militer di ranah sipil,â kata Fatia Maulidiyanti dari KontraS.
Hapus Pasal Bermasalah
Dalam permohonannya, koalisi menyoroti sedikitnya lima pasal kunci.
Pertama, Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 dan 15, yang memberi kewenangan TNI menangani pemogokan dan konflik komunal, serta ancaman siber. Frasa âkonflik komunalâ dan âancaman pertahanan siberâ dinilai multitafsir dan karet, membuka peluang penyalahgunaan kekuatan bersenjata terhadap warga sipil.
Kedua, penghapusan fungsi pengawasan DPR dalam operasi militer selain perang (OMSP) melalui perubahan Pasal 7 ayat (4). Pendelegasian kepada Peraturan Presiden tanpa keputusan politik negara dianggap menghapus mekanisme check and balance antara eksekutif dan legislatif.
Ketiga, Pasal 47 ayat (1) yang melegalkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil â dari Kesekretariatan Presiden hingga Kejaksaan Agung. Koalisi menilai ketentuan ini menghidupkan kembali dwifungsi TNI, bertentangan dengan TAP MPR No. VII/MPR/2000 yang membatasi peran militer dalam urusan sipil.
âDwifungsi dulu lahir dari politik, sekarang dari legislasi,â sindir Muhammad Isnur, Ketua YLBHI.
Keempat, perpanjangan usia pensiun jenderal menjadi 63 tahun. Menurut koalisi, kebijakan ini menciptakan ketimpangan karier dan stagnasi regenerasi internal TNI â memperkuat feodalisme dan menghambat profesionalisme.
Kelima, mandeknya reformasi peradilan militer akibat penundaan Pasal 65 UU TNI. Akibatnya, prajurit masih diadili di bawah sistem internal militer, bahkan untuk kasus pidana umum seperti pembunuhan dan korupsi. âImpunitas masih hidup, dan itu ancaman nyata bagi supremasi hukum,â ujar perwakilan ICJR.
Bagi banyak aktivis, perlawanan di MK ini bukan sekadar soal tafsir undang-undang, melainkan soal arah bangsa. Dua puluh tujuh tahun setelah reformasi, batas sipil-militer yang dulu diperjuangkan dengan darah kini kembali kabur.
UU TNI yang baru, kata mereka, memberi ruang bagi âmiliterisasi yang halus tapi nyataâ â dari ruang birokrasi hingga keamanan siber. âIni bukan sekadar soal pasal, tapi soal ingatan kolektif bangsa terhadap trauma kekuasaan yang dulu berlapis seragam,â kata Wahyu Wagiman dari ELSAM.
Tim Advokasi menegaskan bahwa permohonan ini adalah bagian dari gerakan berkelanjutan masyarakat sipil untuk menjaga reformasi sektor keamanan. Mereka berharap Mahkamah Konstitusi memulihkan prinsip dasar demokrasi: kontrol sipil atas militer.
âKami percaya, reformasi belum mati. Tapi ia butuh penjaga,â kata salah satu mahasiswa pemohon, M. Adli Wafi, menutup konferensi pers dengan suara bergetar.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar