Cari

TKA Diklaim sebagai Instrumen Objektif, Benarkah Jadi Jawaban Atas Kebutuhan Pendidikan Nasional?

 

Schoolmedia News == Sabtu (20/9) lalu, SMA Muhammadiyah Cileungsi, Kabupaten Bogor, menjadi saksi lahirnya sebuah narasi baru tentang pentingnya Tes Kemampuan Akademik (TKA). Direktur Jenderal PAUD Dikdasmen, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Gogot Suharwoto, menyebut TKA sebagai instrumen objektif yang mampu memetakan potensi dan kompetensi siswa Indonesia.

Kegiatan sosialisasi ini digelar dengan kolaborasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Kemendikdasmen. Sekitar 700 siswa SMA terlihat antusias mengikuti sosialisasi sekaligus simulasi TKA. Narasi yang dibangun Humas Kemendikdasmen seolah menegaskan TKA sebagai “jawaban” atas hilangnya Ujian Nasional (UN).

“Tes ini bukan sekadar ujian, tetapi sarana untuk mengukur kemampuan siswa secara objektif. Dengan TKA, kita bisa mengetahui keterampilan dan pemahaman siswa sekaligus memetakan bakat serta potensi masa depan mereka,” ujar Gogot.

Namun, di balik retorika optimistis itu, muncul sejumlah catatan kritis. Benarkah TKA benar-benar objektif, netral, dan lebih unggul dibandingkan model tes lain yang selama ini diterapkan?

Kepala BKHM Kemendikdasmen, Anang Ristanto, menambahkan bahwa simulasi TKA bertujuan menumbuhkan kepercayaan diri siswa. Bahkan, IPM melalui ketua umumnya, Riandy Prawita, mengajak pelajar tidak ragu mengikuti TKA.

Tetapi, ajakan penuh semangat ini justru mengundang pertanyaan kritis: apakah TKA benar-benar pilihan bebas, atau justru perlahan diposisikan sebagai kebutuhan wajib meski tidak dinyatakan eksplisit?

Keunggulan TKA

  1. Standar Nasional yang Seragam
    Berbeda dengan asesmen sekolah yang sering timpang kualitasnya, TKA diklaim mampu menyatukan standar penilaian antar daerah. Hal ini memberi kepastian bahwa hasil siswa di kota besar maupun daerah terpencil memiliki tolok ukur yang sama.

  2. Verifikasi Capaian Belajar
    TKA bisa menjadi alat verifikasi untuk memastikan rapor sekolah sesuai dengan kemampuan aktual siswa. Dengan begitu, nilai rapor tidak semata hasil subjektivitas guru.

  3. Relevansi Global
    Dirjen Gogot menekankan, TKA diharapkan mampu mengukur daya saing siswa Indonesia dalam bidang Matematika, Biologi, dan Kimia dengan standar internasional. Hal ini dapat menjadi modal bersaing di era globalisasi.

    Kelemahan TKA 

    1. Objektivitas yang Dipertanyakan
      Meski diklaim objektif, standar soal, distribusi akses, dan kualitas infrastruktur pendidikan di tiap daerah masih jauh berbeda. Hal ini berpotensi membuat hasil TKA tetap bias terhadap siswa di daerah dengan fasilitas minim.

    2. Risiko Menjadi “UN Gaya Baru”
      Kritik publik sebelumnya terhadap Ujian Nasional adalah sifatnya yang seragam dan menekan psikologis siswa. Jika tidak hati-hati, TKA bisa menjadi wajah baru UN dengan beban yang sama, meski dikemas lebih modern.

    3. Minim Akomodasi Keragaman Potensi
      TKA berfokus pada kemampuan akademik. Padahal, profil pelajar Pancasila menekankan kompetensi holistik, termasuk karakter, kreativitas, dan kepemimpinan. Tes berbasis kognitif sulit mengukur aspek-aspek non-akademis tersebut.

    4. Akses dan Kesenjangan Digital
      Dengan sistem berbasis laman resmi dan simulasi digital, TKA berpotensi memperlebar jurang ketidakadilan bagi siswa di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang kesulitan akses internet.

      TKA, dalam praktiknya, memang menawarkan instrumen pengukuran baru yang lebih modern dibanding Ujian Nasional. Namun, tanpa pembenahan mendasar pada pemerataan mutu sekolah, ketersediaan sarana, dan keadilan akses, TKA hanya akan menjadi instrumen “objektif di atas kertas” yang gagal merefleksikan realitas siswa di lapangan.

      Dengan demikian, klaim Humas Kemendikdasmen tentang TKA sebagai jawaban atas kebutuhan pendidikan nasional masih menyisakan ruang kritik: apakah kita sedang membangun sistem asesmen yang benar-benar berpihak pada semua siswa, atau hanya sekadar mengganti bungkus lama dengan wajah baru?

      Tim Schoolmedia 

Artikel Selanjutnya
Lima Ilmuwan PTKIN Masuk Daftar Top 2% Stanford–Elsevier
Artikel Sebelumnya
Dua Ilmuwan Muda Indonesia Temukan Senyawa Baru untuk Diabetes

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar