Schoolmedia News Jakarta === Pemerintah kembali menegaskan komitmennya dalam mewujudkan ekosistem pendidikan inklusif yang bermutu dan setara bagi seluruh peserta didik, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK).
Melalui kegiatan Advokasi Optimalisasi Fungsi Unit Layanan Disabilitas (ULD) Bidang Pendidikan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menempatkan ULD sebagai motor penggerak utama pendidikan inklusif di tingkat daerah.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Muti, menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah bentuk nyata dari upaya pemerintah menjamin akses pendidikan berkualitas tanpa diskriminasi.
Pendidikan bermutu harus bisa diakses oleh semua kalangan, termasuk anak-anak dengan disabilitas. ULD hadir sebagai penguat layanan agar sekolah tidak sekadar menerima, tetapi juga mampu memberikan pembelajaran yang layak. Tetapi itu semua bagian dari komitmen kita untuk mewujudkan pendidikan bermutu dan setara bagi semua anak,jelas Abdul Muti.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa ULD tidak boleh hanya hadir sebagai struktur administratif semata, melainkan benar-benar menjadi mitra sekolah, guru, dan orang tua.
ââ¬ÅDengan advokasi ini, kita dorong agar ULD hadir nyata dan manfaatnya dirasakan langsung oleh murid, guru, orang tua, dan masyarakat,ââ¬Â tambahnya.
Namun, di balik komitmen besar tersebut, terdapat sederet persoalan mendasar yang masih menghambat terwujudnya pendidikan inklusif yang ideal.
Secara kultural, masih banyak sekolah maupun masyarakat yang menganggap ABK lebih pantas berada di sekolah khusus ketimbang di sekolah reguler. Stigma sosial ini membuat anak-anak dengan disabilitas sering terpinggirkan. Padahal, filosofi pendidikan inklusif menekankan kebersamaan dalam satu ruang belajar untuk menghapus diskriminasi.
Sayangnya, ULD yang seharusnya berperan sebagai pusat edukasi dan advokasi di daerah belum maksimal dalam mengubah cara pandang masyarakat maupun sekolah.
Keterbatasan Anggaran
Kendala lain muncul pada aspek finansial. Program pendidikan inklusif membutuhkan sarana prasarana tambahan mulai dari aksesibilitas fisik sekolah, teknologi asistif, hingga guru pendamping khusus (GPK). Faktanya, banyak daerah mengeluhkan keterbatasan dana untuk mendukung fasilitas tersebut.
Belum lagi, jumlah tenaga pendidik dengan kompetensi pendidikan inklusif sangat terbatas. Banyak sekolah yang akhirnya hanya menempelkan label sekolah inklusi, tetapi tidak benar-benar memiliki sistem pembelajaran yang inklusif.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus (PKPLK), Tatang Muttaqin, menekankan bahwa advokasi ini dilakukan untuk menjamin konsistensi, akuntabilitas, dan kualitas layanan pendidikan inklusif. Menurutnya, masih ada ULD yang belum berfungsi optimal karena keterbatasan program kerja, standar operasional, dan anggaran. Padahal, saat ini sudah terdapat 32 provinsi dan 461 kabupaten/kota yang memiliki SK Pembentukan ULD.
ââ¬ÅDiperlukan strategi advokasi yang sistematis, berbasis data, dan melibatkan berbagai pihak. Melalui forum ini, kita ingin meningkatkan pemahaman, memperkuat komitmen, serta mendorong dukungan kebijakan dari pemerintah daerah,ââ¬Â ujar Tatang.
Advokasi Optimalisasi Fungsi ULD ini secara khusus menyasar koordinator, ketua, dan pengelola ULD agar dapat memperkuat satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif (SPPPI). Dengan dukungan ULD yang prima, satuan pendidikan diharapkan mampu menyediakan akomodasi yang layak (AYL) bagi murid penyandang disabilitas.
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menegaskan bahwa hasil dari kegiatan advokasi ini akan menjadi bahan masukan penting dalam pembahasan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
ââ¬ÅKita harus pastikan ULD berjalan optimal. Saat ini masih ada anak-anak berkebutuhan khusus yang belum bisa mengakses layanan pendidikan. Kehadiran ULD sangat diperlukan dalam memperluas akses pendidikan inklusif di Indonesia,ââ¬Â ujar Hetifah
Kegiatan advokasi ini memang memberi harapan baru bagi optimalisasi ULD, tetapi pekerjaan rumah masih banyak. Tanpa penguatan regulasi, anggaran, dan sumber daya manusia, pendidikan inklusif berisiko hanya menjadi jargon politik.
Pemerintah daerah seharusnya tidak hanya menunggu instruksi pusat, melainkan aktif memperkuat keberadaan ULD di wilayah masing-masing.
Lebih jauh, kolaborasi dengan perguruan tinggi, organisasi disabilitas, dan komunitas lokal mutlak diperlukan agar sekolah-sekolah mampu memberikan layanan inklusi yang lebih kontekstual.
Pada akhirnya, membangun ekosistem pendidikan inklusif bukan sekadar menghadirkan ULD, melainkan memastikan bahwa setiap anak, tanpa terkecuali, bisa belajar dalam lingkungan yang ramah, setara, dan bermutu.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar